"Sayang, hari ini aku sangat sibuk. Untuk masalah pemotretan Ana, coba kamu yang handle. Tidak capek, kok. Hanya memberi perintah dan memperhatikan kurangnya saja," kata Ian pada sang istri ketika akan berangkat bekerja."Jam berapa, Mas?" tanya wanita itu membalas perkataan suaminya sambil merapikan dari di leher pria itu."Sorean saja, Sayang. Kalau kamu memang mau, boleh ajak siapa saja. Mama, Papa, siapapun boleh, kok.""Sore?" balas wanita itu bergumam sambil memikirkan jadwal sibuknya hari itu. "Iya, iya, mungkin aku akan ke kantor setelah cek ke dokter nanti.""Oh iya, lupa!" Menepuk jidatnya sendiri. "Hari ini kan jadwal kamu cek. Gimana dong, Sayang? Aku tidak bisa antarin dan temenin kamu sekalian.""Tidak apa-apa, Mas. Kan, alasannya juga sangat jelas. Banyak pekerjaan. Aku bisa ngerti, kok."Ian cukup senang dengan cara wanita itu memberikan perhatian dan pengertian untuknya. Ia tidak lupa menyuapkan sisa makanan di piring ke mulut istrinya. "Biar cepat sembuh," katanya de
Sesaat terdiam mengingat perintah sang ayah. Ana menolak untuk mengikuti perintah itu. Kali ini, ia segera menyuruh beberapa staff untuk menyediakan keperluannya.Ia bahkan tidak peduli dengan usaha mereka yang telah menyiapkan segalanya dari waktu sebelumnya. Tatkala ia mendengar sungutan dari bawahannya, bentakan dan makian segera ia layangkan."Jangan sampai kalian aku pecat!"Begitulah kalimat ancaman yang tak pernah gagal untuk menakuti mereka. Tak satu pun dari mereka yang bahkan berani untuk melapor pada atasan lainnya."Mulai saja sekarang, rias sebaik mungkin!" titahnya.Sebuah benda kecil jatuh ke arah kakinya. Menyadari hal itu, senyuman licik segera ia layangkan. Benda itu ia pungut dengan kakinya, kemudian menyelipkannya di antara jemarinya."Ambillah," titahnya.Semua orang yang ada di ruangan itu saling menatap. Ingin sekali rasanya mereka melawan sikap otoriter yang ditunjukkan oleh Ana, namun lagi mereka benar-benar tidak ada kuasa untuk hal itu."Loh, kenapa malah ben
Noah merasa penasaran dengan putrinya yang tidak ke luar dari kamar sejak tadi malam. Hal itu membuatnya untuk segera memastikan. Tatkala hendak menuju kamar putrinya, ia segera sadar jika Ana telah berada di tepian kolam renang. Gadis itu tampak lesu dan tidak ada semangat."Ehem." Mencoba berdehem. "Ada apa denganmu, Sayang?"Ana tidak segera menjawab. Ia menyeka air matanya lalu meneguk minuman yang ada di dekatnya. "Cerita sama Papa.""Pa, sepertinya perbuatanku sudah sangat salah, ya? Tapi, itu semua terjadi di luar dugaanku, Papa. Aku tidak pernah ingin jika Ian bersama wanita lain. Dia hanya milikku, semua orang pun tau itu. Tapi kenapa dia harus menikah dengan saudara tiriku?"Noah menggelengkan kepalanya, paham jika gadis ini pasti sedang ada masalah dengan Ian. Hal yang dapat ia lakukan sekarang adalah bicara dengan gadis itu secara pelan."Segala sesuatu yang dimulai harus diselesaikan, Ana. Kalau ada awal, pasti ada akhir. Kamu tau itu.""Ya." Menundukkan kepalanya lemas
Ai memperhatikan kertas di tangannya. Kertas yang menyatakan jika dirinya telah sembuh total. Ia telah bebas beraktivitas sekarang. Namun, tampaknya hal itu tak berhasil membuatnya kegirangan seperti reaksi yang diberikan manusia pada umumnya.Amplop yang lain segera ia buka dan mendapati isi yang menyatakan jika dirinya tengah hamil. Ia berlari dan masuk ke dalam toilet. Tangisannya pecah tatkala sadar jika anak itu mungkin akan bertumbuh tanpa ayah kandung atau mungkin tanpa seorang ayah. Mencoba mengingat-ingat, entah kapan lagi mereka melakukannya, ia sangat menyesal sekarang.Hampir sejam berada di sana, ia mencoba mengecek ponselnya dan tak mendapati satu pesan pun dari suaminya. Pria itu sama sekali tidak peduli, tidak mengkhawatirkan dirinya, mungkin juga lupa. Seketika ia benar-benar sadar jika dirinya tidak seberharga itu di mata Ian.Dengan langkahnya yang gontai, ia ke luar dan berjalan sendiri di koridor rumah sakit. Ia tampak berdiri di parkiran dan segera mendapat pang
Keesokan harinya, kabar sudah benar-benar menyebar ke mana-mana. Sebuah foto yang menunjukkan kebersamaan Ana dengan beragam pria. Satu yang paling mengagetkan adalah ketika bersama dengan Ian, beruntungnya wajahnya tidak begitu terekspos.Noah menjadi salah satu orang yang paling marah. Ia tahu jika putrinya memang salah, tapi jika harus dipermalukan seperti itu, ia tidak akan terima.Kini, Rald sudah berada di rumah itu. Ia menyaksikan wajah penuh amarah Noah untuk pertama kalinya. Ia bahkan gemetar ketika mengirim pesan pada ayahnya agar segera datang."Kenapa kamu melakukan itu? Ada masalah apa kamu dengan Ana sampai setega itu pada putriku?" tanya Noah dengan nada menantang.Wajahnya benar-benar berubah seram dan sungguh tidak bersahabat. Pria itu terus menghela napas panjang membuat Rald menjadi kian semakin takut."Aku benci Kak Aja. Kenapa coba, Om, dia harus selalu mengganggu dan menyiksa Kak Ai? Ini masih perbuatan kecil, masih aib kecil. Apa kalian mau aib besar akan semaki
Pertemuan rahasia antara Ian dan Ana pun terjadi di sebuah gedung kosong. Keduanya datang sendirian. Ian memasang wajah datarnya tatkala gadis itu hendak bermanja dengannya. Ia bahkan dengan sengaja menepis tangan Ana.Gadis itu seketika menatap dengan penuh keheranan. Ia tidak paham dengan apa yang tengah dilakukan oleh Ian padanya."Ian, kok kamu menjauh dari aku? Kamu merasa jijik atau apa?""Ya jelas. Kamu mau bermanja di sembarang tempat. Itu menjijikkan sekali."Jawaban itu tentu saja membuat Ana tak habis pikir. Ia seolah dilarang oleh Ian untuk menyentuh. Sontak saja ia segera menjauh lalu duduk di sebuah kursi yang tampak sudah disiapkan sebelumnya.Terdiam cukup lama, Ian tampak menghela napas dengan sangat panjang. Ana segera berpikir negatif dibuatnya. Bagaimana tidak, seolah ada rahasia yang ditup-tutupi darinya atau rencana di luar perencanaan mereka."Ana, sepertinya hubungan kita harus benar-benar berakhir di sini? Kita tidak boleh memaksakan kehendak dan merubah takd
Ai akhirnya kembali bekerja mulai hari ini, walau dirinya hanya akan memimpin proyek yang memang belum ia selesaikan sebelumnya. Semua orang menyambutnya dengan sangat hangat. Tak sedikit dari mereka yang memberikan ucapan selamat, pun bunga kecil yang bahkan sekarang sudah memenuhi meja kerjanya.Ana yang memang selalu usil dengannya, pun mendatangi ruangannya. Gadis itu duduk di kursi pengunjung sambi melihat-lihat sumber bunga-bunga itu. Ai tidak terlalu keberatan dengan kehadiran sang kakak tiri sebab pekerjaannya memang tidak diganggu sama sekali. Ia masih bisa beraktivitas sesukanya.Sampai akhirnya, di satu tangkai bunga hidup yang tampak segar dan indah, Ana terpaku. Ia melihat bunga yang ternyata datang dari seorang Ian. Ia sungguh tidak menyangka."Selamat siang," sapa pria itu bagaikan sebuah kebetulan yang tak diduga-duga.Hal itu membuat panas di hati Ana semakin memuncak. Ia menarik pria itu ke luar dan menyudutkannya di tempat yang memang sepi pengunjung. "Kamu kenapa
Seorang wanita tampak berdiri di depan kediaman Arzi. Hal itu sudah diperhatikan oleh sang pemilik rumah sejak tadi. Setelah sejam berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri orang itu.Entah mengapa, perasaannya campur aduk. Bingung dengan perasaannya sendiri, ia memutuskan untuk berhenti sesaat. Menyadari jika detakan jantungnya sangat kencang. Walau begitu, ia tetap berusaha untuk meminimalisir rasa khawatir itu dan memutuskan untuk segera membuka pagar rumahnya."Ada yang perlu dibantu?" tanyanya."Arzi?" Sebuah suara yang berhasil membuat pria itu merasakan goncangan yang amat besar dalam jiwanya. Jantungnya seolah berhenti untuk selamanya.Suara itu adalah suara yang sudah tak didengarnya selama berpuluh tahun lamanya. Mungkinkah ia telah salah dengar."Maaf, anda siapa?" tanyanya membuat lawan bicara segera membuka kaca mata hitam yang dikenakannya sejak tadi.Hal yang lebih mengejutkan itu, pun terjadi. Orang itu adalah orang yang tak pernah diharapkan Arzi untuk pulang