“Shareefa...,” lirih Nisha.Bulir air matanya menetes begitu saja seusai membaca kalimat terakhir buku diary anak sulungnya itu. Dia sangat tahu kalau Shareefa itu dari gayanya bersikap saja sudah dewasa, sok cuek. Namun, ngga tahu jika pemikirannya juga sedewasa ini.“Ma!” Suara nge-bass Bahri terdengar.Nisha bergegas menghapus air matanya. Jangan sampai ada sisa hingga Bahri memergoki tangis itu.Bahri sudah cukup besar untuk mengetahui emosi yang dirasakan oleh orang di sekitarnya. Nanti dia malah banyak tanya karena rasa ingin tahunya itu.“Mama di kamar Kakak, Bahri!”Sejurus kemudian, sosok Bahri muncul di kamar itu. Kemiripannya dengan almarhum Bakhtiar —sang datuk— kian kentara. Pipi chubby dan sorot mata berwibawa itu.“Wah, Bahri sudah siap?” Nisha cukup terpesona menyaksikan anak bungsunya sudah tampil rapi dengan kemeja dan celana panjang, dilengkapi sepatu keds putih. Mereka memang mau ke acara pernikahan salah satu sepupu jauh. “Sudah. Bunda Anna yang tadi pakaikan baj
“Shareefa! Nanti dijemput sama Mama, ya,” teriak Anna dari atas motor. Usaha pempeknya dengan brand Cuko memang sedang maju-majunya. Namun, gadis berusia dua puluh empat tahun itu lebih memilih membeli rumah daripada mobil. Dia juga merasa lebih nyaman menggunakan motor. Lebih cepat sampai ke tujuan.Shareefa yang biasa dipanggil dengan Efa, sudah bergabung dengan teman-temannya. Namun, disempatkannya menoleh. “Iya, Bun!” Daripada kena omel, kan ya.Setelah disahut keponakannya itu, barulah Anna berlalu.“Fa, elo udah ngerjain tugas belom?” tanya Bianca. Sejak berpas-pasan dengan Efa di jalan tadi, ia sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.Efa mendelikkan bahunya.“Lho, kok nggak tahu?!” tanya Almira. Gadis berambut panjang di sisi kiri Efa itu mengernyitkan keningnya.“Gue nyuruh Aksa ngerjain tugasnya kemarin. Ngga tahu, deh dikerjain sama dia atau ngga. Awas aja kalau ngga," jawab Efa enteng, tapi diakhiri dengan kepalan tangan kiri memukul telapak kanannya.Aksa itu ketua kelas
‘Siapa kira-kira orang itu, ya? Punya hubungan apa dia sama Aksa? Bokapnya? Kayaknya terlalu muda, deh. Seingat gue, bokap Aksa ngga punya motor gede gitu.’Efa berbalik ke kiri, menambah kisut seprainya. Sudah pukul sembilan malam, namun matanya sulit menutup. Sosok lelaki yang menjemput Aksa siang tadi mengganggu tidur malamnya kali ini. Tubuh atletis pria itu ditambah lagi style berpakaiannya yang anak muda banget tapi tetap memberi kesan wibawa.‘Gue tanya ke Aksa aja apa, ya?’Efa baru saja hendak membuka ponselnya, tiba-tiba sosok sang mama muncul di pintu. Layar ponsel yang menyala di gelapnya kamar ini membuat Nisha dengan mudahnya menemukan sosok anak sulungnya itu.“Efa belum tidur?”Efa mau ngga mau harus jujur. Ngga ada tempat untuk menghindar. “Bentar lagi, Ma.”“Lho, kok masih main hape?”“Ini mau matiin, kok, Ma.”“Sini Mama taruh di meja.”Efa menatap nanar ponselnya yang kian menjauh. Sepertinya dia memang harus segera tidur. Ya, tentang siapa sosok lelaki itu, biar b
Raden Aksara mengerjapkan matanya perlahan. Masih sulit baginya menerima apa yang barusan saja terjadi. Sikap kasar yang ngga pernah keluar dari dalam dirinya.Hempasan kata demi kata menyakiti benak Shareefa, pikirnya. Cewek yang ia kagumi sejak lama.Lihat saja Efa mendadak kaku, bola matanya membulat sempurna. Gadis berbulu mata lentik itu pasti juga ngga menduga kalau Aksa akan bersikap seperti ini.“Elo kenapa, sih, Sa marah-marah?!” tanya Efa bingung sekaligus ngga terima. Memang apa kesalahannya sampai harus menerima sikap seperti itu. “Salah gue apa, sih sama elo?!”Aksa mengusap wajahnya kasar sebelum kembali duduk. “Sorry, Fa. Aku agak terganggu karena sikap kamu barusan.”Efa mengernyitkan kening seraya melipat kedua tangan di dada. “Sikap Efa yang mana?” serobot Almira yang duduk di samping Aksa.Efa menelan air ludah. Baru saja dia hendak mengatakan itu, tapi sudah keduluan sama Almira. Dia pun duduk kembali, di hadapan Aksa, karena tempatnya sudah diserobot Almira.“Elo
Raden Aksara adalah anak paling bontot dari empat saudara. Ia memiliki kakak perempuan yang tertua dan dua saudara laki-laki di atasnya.Kedua orang tuanya cukup berada. Rumahnya saja terletak di sebuah perumahan elite, tepatnya Jalan Merak. Rumah peninggalan orang tua dari ibu Aksa ini sudah di renovasi sehingga terlihat lebih minimalis namun terkesan mewah.“Wih, gede juga rumah elo, Sa,” puji Bianca melihat rumah berlantai dua bertema mininalis itu.“Masih gedean rumah kamu, lah,” ucap Aksa malas. Entah apa maksud Bianca memuji rumahnya, padahal cewek itu sendiri tinggal di perumahan yang lebih mewah juga lebih elite dari komplek ini.Bianca pun nyengir menatap kepergian Aksa. Padahal, niatnya menghibur cowok itu supaya mukanya ngga manyun lagi. Tapi, malah nambah maju itu bibir.Aksa berjalan duluan menuju rumah. Mereka baru saja turun dari taksi. Mereka? Iya. Dia, Efa, dan kedua temannya yang ngintilin melulu itu.Padahal, kalau hanya Efa saja yang ikut, dia sudah lumayan terhibur
Efa berjalan keluar rumah Aksa. Bahunya tampak menunduk, lesu, dan gontai. Padahal, dia masih mau menunggu Andreas sedikit lama. Tapi, sang mama memintanya cepat pulang.“Ngapain kamu di rumah cowok lewat waktu Azhar begini?!” omel Nisha di depan Mariya. Kalau dia ngga memarahi anak sulungnya itu, yang ada dia yang dimarahi balik sama Mariya nantinya.“Bentar lagi, ya, Ma,” pinta Efa. Ngga pernah dia memohon seperti ini. “Efa juga perginya sama Bianca dan Almira, kok.” Beruntung kedua sahabatnya itu memang ikut, jadi Efa ngga perlu berbohong dengan Nisha.“Mama bilang pulang artinya pulang, Shareefa Al-Attar!” Ternyata Nisha juga bisa sangar, lho kalau marah.Seraya berdecak pelan, Efa menuruti kemauan ibunya itu. “Ya, deh, Ma. Efa pulang.”“Sekarang!”“Iya, Ma,” sahut Efa pelan nan lesu. Sampai berada di depan pintu rumah Aksa, ia masih menundukkan kepala.“Lesu amat!” Suara laki-laki berseru seolah menuduh namun dalam nada ceria.Sontak Efa menegakkan kepala. Tapi yang ia lihat, laki
Ujung alis Nisha saling terpaut. ‘Pernah bertemu? Kapan? Di mana?’ Dipasatinya wajah lelaki di hadapannya ini. Wajah tampan berahang tegas, dibumbui senyuman renyah ini. Betulkah dirinya pernah bertemu lelaki ini? Wajah yang asing buatnya itu? ‘Ngaku-ngaku aja mungkin, ya?’“Hm, entahlah,” jawab Nisha sambil lalu. Dia berusaha menarik tangannya.Seketika ia terkejut begitu menyadari bahwa jemarinya masih berada dalam genggaman jemari lelaki itu. Buru-buru ditarik tangannya itu dalam hentakan yang lebih kuat.Andreas melepaskan genggaman itu, meskipun enggan. “Tapi, Saya yakin sekali kalau kita pernah bertemu,” gumam Andreas ngga terlalu pelan sebab Nisha bisa mendengarnya cukup jelas, begitu juga Efa dan Aksa.Senyum Efa pun mengerucut. Ah, akan indah sekali cerita ini seandainya kedua orang dewasa itu memang pernah bertemu. Pikirannya saja yang terlalu tinggi. Dibentaknya kakinya pelan.Suara bel terdengar.“Sebaiknya kalian masuk. Nanti terlambat memulai pelajaran,” suruh Nisha. Dike
“Jangan sampai ada yang keselip ya, A’,” pesan Nisha pada kurir langganannya.Setiap hari pesanan untuk dikirimkan selalu ada saja. Terlebih lagi kalau habis open order seperti kemarin, pasti berlimpah paket yang mau dikirimkan kayak hari ini. Kiri kanan tas kurir penuh dengan paket baju dari butiknya.“Tenang aja, Bu Nisha. Insya Allah semuanya sampai ke rumah customernya,” jawab sang kurir tersenyum dari balik kumis tipisnya.Nisha mengangguk pelan. Dia menghela napas seiring motor sang kurir yang menjauh. Namun, tatapannya cemas takut ada paket yang agak lama sampai ke customer. Mending kalau customer-nya pengertian, lah kalau cerewet gimana. Biasanya ada aja kasus yang begitu. Bersamaan dengan toko baju milik Mariya yang mulai laris manis, Nisha beralih menyewa ruko paling depan. Dua pintu sekaligus. Diubahnya dekor lebih elegan, list gypsum, standing mirror dengan led di bagian belakangnya, pokoknya desainnya lebih kekinian dan rapi. Satu yang juga Nisha ubah, yaitu nama toko yan