‘Siapa kira-kira orang itu, ya? Punya hubungan apa dia sama Aksa? Bokapnya? Kayaknya terlalu muda, deh. Seingat gue, bokap Aksa ngga punya motor gede gitu.’Efa berbalik ke kiri, menambah kisut seprainya. Sudah pukul sembilan malam, namun matanya sulit menutup. Sosok lelaki yang menjemput Aksa siang tadi mengganggu tidur malamnya kali ini. Tubuh atletis pria itu ditambah lagi style berpakaiannya yang anak muda banget tapi tetap memberi kesan wibawa.‘Gue tanya ke Aksa aja apa, ya?’Efa baru saja hendak membuka ponselnya, tiba-tiba sosok sang mama muncul di pintu. Layar ponsel yang menyala di gelapnya kamar ini membuat Nisha dengan mudahnya menemukan sosok anak sulungnya itu.“Efa belum tidur?”Efa mau ngga mau harus jujur. Ngga ada tempat untuk menghindar. “Bentar lagi, Ma.”“Lho, kok masih main hape?”“Ini mau matiin, kok, Ma.”“Sini Mama taruh di meja.”Efa menatap nanar ponselnya yang kian menjauh. Sepertinya dia memang harus segera tidur. Ya, tentang siapa sosok lelaki itu, biar b
Raden Aksara mengerjapkan matanya perlahan. Masih sulit baginya menerima apa yang barusan saja terjadi. Sikap kasar yang ngga pernah keluar dari dalam dirinya.Hempasan kata demi kata menyakiti benak Shareefa, pikirnya. Cewek yang ia kagumi sejak lama.Lihat saja Efa mendadak kaku, bola matanya membulat sempurna. Gadis berbulu mata lentik itu pasti juga ngga menduga kalau Aksa akan bersikap seperti ini.“Elo kenapa, sih, Sa marah-marah?!” tanya Efa bingung sekaligus ngga terima. Memang apa kesalahannya sampai harus menerima sikap seperti itu. “Salah gue apa, sih sama elo?!”Aksa mengusap wajahnya kasar sebelum kembali duduk. “Sorry, Fa. Aku agak terganggu karena sikap kamu barusan.”Efa mengernyitkan kening seraya melipat kedua tangan di dada. “Sikap Efa yang mana?” serobot Almira yang duduk di samping Aksa.Efa menelan air ludah. Baru saja dia hendak mengatakan itu, tapi sudah keduluan sama Almira. Dia pun duduk kembali, di hadapan Aksa, karena tempatnya sudah diserobot Almira.“Elo
Raden Aksara adalah anak paling bontot dari empat saudara. Ia memiliki kakak perempuan yang tertua dan dua saudara laki-laki di atasnya.Kedua orang tuanya cukup berada. Rumahnya saja terletak di sebuah perumahan elite, tepatnya Jalan Merak. Rumah peninggalan orang tua dari ibu Aksa ini sudah di renovasi sehingga terlihat lebih minimalis namun terkesan mewah.“Wih, gede juga rumah elo, Sa,” puji Bianca melihat rumah berlantai dua bertema mininalis itu.“Masih gedean rumah kamu, lah,” ucap Aksa malas. Entah apa maksud Bianca memuji rumahnya, padahal cewek itu sendiri tinggal di perumahan yang lebih mewah juga lebih elite dari komplek ini.Bianca pun nyengir menatap kepergian Aksa. Padahal, niatnya menghibur cowok itu supaya mukanya ngga manyun lagi. Tapi, malah nambah maju itu bibir.Aksa berjalan duluan menuju rumah. Mereka baru saja turun dari taksi. Mereka? Iya. Dia, Efa, dan kedua temannya yang ngintilin melulu itu.Padahal, kalau hanya Efa saja yang ikut, dia sudah lumayan terhibur
Efa berjalan keluar rumah Aksa. Bahunya tampak menunduk, lesu, dan gontai. Padahal, dia masih mau menunggu Andreas sedikit lama. Tapi, sang mama memintanya cepat pulang.“Ngapain kamu di rumah cowok lewat waktu Azhar begini?!” omel Nisha di depan Mariya. Kalau dia ngga memarahi anak sulungnya itu, yang ada dia yang dimarahi balik sama Mariya nantinya.“Bentar lagi, ya, Ma,” pinta Efa. Ngga pernah dia memohon seperti ini. “Efa juga perginya sama Bianca dan Almira, kok.” Beruntung kedua sahabatnya itu memang ikut, jadi Efa ngga perlu berbohong dengan Nisha.“Mama bilang pulang artinya pulang, Shareefa Al-Attar!” Ternyata Nisha juga bisa sangar, lho kalau marah.Seraya berdecak pelan, Efa menuruti kemauan ibunya itu. “Ya, deh, Ma. Efa pulang.”“Sekarang!”“Iya, Ma,” sahut Efa pelan nan lesu. Sampai berada di depan pintu rumah Aksa, ia masih menundukkan kepala.“Lesu amat!” Suara laki-laki berseru seolah menuduh namun dalam nada ceria.Sontak Efa menegakkan kepala. Tapi yang ia lihat, laki
Ujung alis Nisha saling terpaut. ‘Pernah bertemu? Kapan? Di mana?’ Dipasatinya wajah lelaki di hadapannya ini. Wajah tampan berahang tegas, dibumbui senyuman renyah ini. Betulkah dirinya pernah bertemu lelaki ini? Wajah yang asing buatnya itu? ‘Ngaku-ngaku aja mungkin, ya?’“Hm, entahlah,” jawab Nisha sambil lalu. Dia berusaha menarik tangannya.Seketika ia terkejut begitu menyadari bahwa jemarinya masih berada dalam genggaman jemari lelaki itu. Buru-buru ditarik tangannya itu dalam hentakan yang lebih kuat.Andreas melepaskan genggaman itu, meskipun enggan. “Tapi, Saya yakin sekali kalau kita pernah bertemu,” gumam Andreas ngga terlalu pelan sebab Nisha bisa mendengarnya cukup jelas, begitu juga Efa dan Aksa.Senyum Efa pun mengerucut. Ah, akan indah sekali cerita ini seandainya kedua orang dewasa itu memang pernah bertemu. Pikirannya saja yang terlalu tinggi. Dibentaknya kakinya pelan.Suara bel terdengar.“Sebaiknya kalian masuk. Nanti terlambat memulai pelajaran,” suruh Nisha. Dike
“Jangan sampai ada yang keselip ya, A’,” pesan Nisha pada kurir langganannya.Setiap hari pesanan untuk dikirimkan selalu ada saja. Terlebih lagi kalau habis open order seperti kemarin, pasti berlimpah paket yang mau dikirimkan kayak hari ini. Kiri kanan tas kurir penuh dengan paket baju dari butiknya.“Tenang aja, Bu Nisha. Insya Allah semuanya sampai ke rumah customernya,” jawab sang kurir tersenyum dari balik kumis tipisnya.Nisha mengangguk pelan. Dia menghela napas seiring motor sang kurir yang menjauh. Namun, tatapannya cemas takut ada paket yang agak lama sampai ke customer. Mending kalau customer-nya pengertian, lah kalau cerewet gimana. Biasanya ada aja kasus yang begitu. Bersamaan dengan toko baju milik Mariya yang mulai laris manis, Nisha beralih menyewa ruko paling depan. Dua pintu sekaligus. Diubahnya dekor lebih elegan, list gypsum, standing mirror dengan led di bagian belakangnya, pokoknya desainnya lebih kekinian dan rapi. Satu yang juga Nisha ubah, yaitu nama toko yan
“Elo suka sama perempuan tadi?” tanya Rahman tanpa kalimat pembuka. Tiba-tiba saja bahkan ketika mereka baru menginjakkan kaki di rumah.Andreas melirik keponakan dan kakak iparnya yang sudah masuk duluan ke rumah. Lantas, merapat ke arah Rahman. “Kenapa dibahas?”“Ya, haruslah. Dia bakal jadi calon keluarga kita.” Entah kenapa Rahman sudah yakin akan niat Andreas kali ini. Sudah lama adik bungsunya betah menyandang status jomlo. Sudah lama dia ngga melihat kedua mata coklat berbinar dan hidungnya kembang-kempis seperti tadi.“Gimana? Cantik, kan?” tanya Andreas seraya menunjukkan deretan giginya.“Dia sudah punya anak. Yakin ngga apa-apa?” tanya Rahman mulai sangsi. Melihat senyuman jahil yang menyebalkan itu lagi, dia teringat masa lalu Andreas.“Yakinlah. Anaknya juga seru begitu.” Andreas tampak bersemangat.“Hati-hati, Ndre. Bisa-bisa kalau kamu menyakiti mama-nya, anaknya juga bisa ikut terluka,” ucap Rahman memperingatkan. Dia hapal betul tingkah adik bungsunya yang ngga pernah
Pak Akbar ngga memiliki ruangan khusus sendiri. Itu hanya gegayaannya saja saat bilang disuruh ke ruangannya. Padahal, hanya meja kerja sepetak seperti milik guru-guru yang lain. Hanya letaknya agak spesial. Di depan sendiri, paling deket sama pendingin ruangan, dan agak berjarak dengan meja yang lain. “Mau apa, Fa?” tanya Bu Fauziah—wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Kebetulan, dia duduk di meja piket. Biasalah, rumpi. Maklum, sudah pada sesepuh ini. “Mau ....”“Efa! Masuk!” Suara Pak Akbar terdengar dari dalam.Bu Fauziah menengok. “Mau ketemu Bapak, ya?” tanyanya setengah berteriak.“Iya, Bu,” sahut Akbar agak kencang.Bu Fauziah menatap gadis bermata tajam itu. “Kamu nakal, ya, Fa?”Efa hanya nyengir. Kalau dia jawab karena ngga mengerjakan tugas, duh bisa dobel kena marahnya ini. Lebih baik kena omel Pak Akbar daripada Bu Fau. Bu Fau kalau sudah berbicara, ngga tahu lagi kapan harus berhentinya, sebelas dua belaslah sama Mak. Efa sampai merinding hanya membayangkannya.“Bu,