"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
"Pak Udin, ada yang menyewa villa?" tanya wanita muda dengan tinggi semampai di depan gerbang The Citra Villa. "Em ... anu, Bu Cintya," jawab pak Udin-sang penjaga vila gelagapan. Dia menggaruk kepalanya bingung, tak tahu apa yang harus dikatakan pada majikannya. "Kenapa tidak konfirmasi saya dulu, kalau ada yang reservasi?" tanya Cintya kurang suka. Selama ini, setiap ada yang reservasi vila, pasti melalui dia, ataupun Bara-suaminya. Tanpa banyak bicara, Cintya lantas melajukan mobilnya melewati gerbang vila yang sudah terbuka. Vila yang terletak di bibir pantai Sabang ini, tampak ramai pengunjung. Padahal, ini bukan hari libur. Beberapa mobil mewah terparkir rapi. Matanya memicing, tatkala melihat mobil Bara juga ada di deretan mobil lain.Pikiran Cintya sudah tidak enak. Hatinya mengatakan, kalau ada yang tidak beres. Pantas saja dia tiba-tiba ingin melihat vilanya. Baru saja kakinya menyentuh tanah, pak Udin tergesa menghampiri."Bu, mari kita berbicara di pondok saya dulu!" aj
Lidah Bara kelu, tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Semua tamu undangan terdiam. Mereka bak menonton drama gratis. "Aku bisa jelaskan, Sayang!" bisik Bara di telinga Cintya. "Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Kamu mau bilang, kalau baru saja ijab qabul, begitu?""Tenang dulu, malu dilihat orang." Bara mencoba membujuk istrinya, agar tidak membuat onar di hari bahagianya. Hari bahagia bersama istri barunya."Siapa dia?""Cintya, tenang dulu!" "Jawab saja, siapa dia?" geram Cintya. "Aku bisa jelaskan.""Semuanya sudah jelas. Kamu menghianati pernikahan kita," raung Cintya. Dia mengusap kasar air mata yang sedari tadi menetes tanpa dimintanya. Hatinya teramat pedih. Bisa-bisanya, lelaki yang selalu dikagumi, kini tiba-tiba mendua. Bara meraup wajahnya kasar. Dia melirik wanita cantik di sebelahnya. Wanita itu tampak sangat ketakutan. Bahkan, riasannya tak mampu menutupi wajah pucatnya. Kini dia bersembunyi di balik punggung suami, yang baru saja menikahinya. "Oh, jadi ini yang
Dia lalu melangkah menuruni panggung dengan dekorasi yang sangat mewah. Tak dipedulikan mata yang memandangnya iba. Dia terus berjalan keluar. Tak ada air mata. Dia juga tidak mau mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang. Dia punya cara tersendiri untuk membalas perbuatan suami dan pelakor itu. "Cintya, maafkan aku." Bara berucap lirih, menatap punggung Cintya yang semakin menjauh. Suasana mendadak riuh oleh kasak-kusuk tamu undangan. Ada yang prihatin, ada pula yang mencibir. Bahkan, beberapa tamu undangan meninggalkan acara yang baru saja akan dimulai. Air matanya kembali lolos saat dirinya baru saja masuk mobil, seakan memberi tahu kalau dia tidak baik-baik saja. Cintya menumpahkan seluruh laranya di tengah kebahagiaan suaminya. "Maaf Bu, apa perlu saya antar pulang?" tawar pak Udin. Rupanya dia daritadi memperhatikan Cintya. Cintya lalu mengusap pipinya yang basah. "Aku bisa sendiri Pak, terimakasih." "Ibu yakin?" Pak Udin mencoba memastikan. Dia khawatir kalau ak
"Assalamualaikum." "Buat apa kamu bawa dia ke sini, Mas?" Cintya memalingkan muka, melihat sepasang pengantin baru yang amat dibencinya. "Setidaknya, izinkan kami masuk dulu, Cintya!" mohon Bara lembut. Cintya langsung meninggalkan mereka, lalu mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu. Bara dan Aisya mengikuti langkah Cintya. Dengan takut, Aisya duduk di dekat Bara. Tanganya memilin baju gamis berwarna merah muda. Jika diperhatikan, Aisya memang gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung. Pantas saja suaminya bisa tergila-gila. Aisya yang merasa diperhatikan seperti itu, menjadi salah tingkah. "Cintya, namanya Aisya. Sekarang, dia adik madumu. Aku membawanya ke sini, agar kita bertiga bisa tinggal satu atap." Cintya langsung mengganti posisi duduknya. Bahkan dia melongo tak percaya, apa yang baru saja suaminya ucapkan. "Apa kamu sudah kehilangan akal, Mas? Kamu menikah lagi tanpa seizinku, sekarang malah membawanya tinggal di sini. Di mana perasaanmu?" Dada