Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
"Pak Udin, ada yang menyewa villa?" tanya wanita muda dengan tinggi semampai di depan gerbang The Citra Villa. "Em ... anu, Bu Cintya," jawab pak Udin-sang penjaga vila gelagapan. Dia menggaruk kepalanya bingung, tak tahu apa yang harus dikatakan pada majikannya. "Kenapa tidak konfirmasi saya dulu, kalau ada yang reservasi?" tanya Cintya kurang suka. Selama ini, setiap ada yang reservasi vila, pasti melalui dia, ataupun Bara-suaminya. Tanpa banyak bicara, Cintya lantas melajukan mobilnya melewati gerbang vila yang sudah terbuka. Vila yang terletak di bibir pantai Sabang ini, tampak ramai pengunjung. Padahal, ini bukan hari libur. Beberapa mobil mewah terparkir rapi. Matanya memicing, tatkala melihat mobil Bara juga ada di deretan mobil lain.Pikiran Cintya sudah tidak enak. Hatinya mengatakan, kalau ada yang tidak beres. Pantas saja dia tiba-tiba ingin melihat vilanya. Baru saja kakinya menyentuh tanah, pak Udin tergesa menghampiri."Bu, mari kita berbicara di pondok saya dulu!" aj
Lidah Bara kelu, tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Semua tamu undangan terdiam. Mereka bak menonton drama gratis. "Aku bisa jelaskan, Sayang!" bisik Bara di telinga Cintya. "Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Kamu mau bilang, kalau baru saja ijab qabul, begitu?""Tenang dulu, malu dilihat orang." Bara mencoba membujuk istrinya, agar tidak membuat onar di hari bahagianya. Hari bahagia bersama istri barunya."Siapa dia?""Cintya, tenang dulu!" "Jawab saja, siapa dia?" geram Cintya. "Aku bisa jelaskan.""Semuanya sudah jelas. Kamu menghianati pernikahan kita," raung Cintya. Dia mengusap kasar air mata yang sedari tadi menetes tanpa dimintanya. Hatinya teramat pedih. Bisa-bisanya, lelaki yang selalu dikagumi, kini tiba-tiba mendua. Bara meraup wajahnya kasar. Dia melirik wanita cantik di sebelahnya. Wanita itu tampak sangat ketakutan. Bahkan, riasannya tak mampu menutupi wajah pucatnya. Kini dia bersembunyi di balik punggung suami, yang baru saja menikahinya. "Oh, jadi ini yang
Dia lalu melangkah menuruni panggung dengan dekorasi yang sangat mewah. Tak dipedulikan mata yang memandangnya iba. Dia terus berjalan keluar. Tak ada air mata. Dia juga tidak mau mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang. Dia punya cara tersendiri untuk membalas perbuatan suami dan pelakor itu. "Cintya, maafkan aku." Bara berucap lirih, menatap punggung Cintya yang semakin menjauh. Suasana mendadak riuh oleh kasak-kusuk tamu undangan. Ada yang prihatin, ada pula yang mencibir. Bahkan, beberapa tamu undangan meninggalkan acara yang baru saja akan dimulai. Air matanya kembali lolos saat dirinya baru saja masuk mobil, seakan memberi tahu kalau dia tidak baik-baik saja. Cintya menumpahkan seluruh laranya di tengah kebahagiaan suaminya. "Maaf Bu, apa perlu saya antar pulang?" tawar pak Udin. Rupanya dia daritadi memperhatikan Cintya. Cintya lalu mengusap pipinya yang basah. "Aku bisa sendiri Pak, terimakasih." "Ibu yakin?" Pak Udin mencoba memastikan. Dia khawatir kalau ak
"Assalamualaikum." "Buat apa kamu bawa dia ke sini, Mas?" Cintya memalingkan muka, melihat sepasang pengantin baru yang amat dibencinya. "Setidaknya, izinkan kami masuk dulu, Cintya!" mohon Bara lembut. Cintya langsung meninggalkan mereka, lalu mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu. Bara dan Aisya mengikuti langkah Cintya. Dengan takut, Aisya duduk di dekat Bara. Tanganya memilin baju gamis berwarna merah muda. Jika diperhatikan, Aisya memang gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung. Pantas saja suaminya bisa tergila-gila. Aisya yang merasa diperhatikan seperti itu, menjadi salah tingkah. "Cintya, namanya Aisya. Sekarang, dia adik madumu. Aku membawanya ke sini, agar kita bertiga bisa tinggal satu atap." Cintya langsung mengganti posisi duduknya. Bahkan dia melongo tak percaya, apa yang baru saja suaminya ucapkan. "Apa kamu sudah kehilangan akal, Mas? Kamu menikah lagi tanpa seizinku, sekarang malah membawanya tinggal di sini. Di mana perasaanmu?" Dada
Tangan kekar Bara memeluk pinggang ramping Cintya. Cintya tak menolak, tak juga merespon. Hatinya sudah mati rasa. Pandangannya menerawang jauh. Dari jendela kamarnya di lantai dua, nampak menara masjid agung Al Mubarok yang kokoh. Di menara itu, terpasang puluhan toa yang setia mengumandangkan adzan. Dari dulu, Cintya selalu mengagumi menara masjid itu. Bahkan, dia rela memandangi menara itu saat adzan berkumandang. Konyol memang, tapi itu membuat Cintya puas. "Apa aku sangat menyakitimu?" Bara membuyarkan lamunannya. Cintya masih tak merespon. Seperti inilah, kalau Cintya sedang marah, dia akan diam seribu bahasa, sampai hatinya benar-benar sembuh. Bara menggandeng tangan istrinya duduk di tepi ranjang. Cintya hanya menurut tanpa berbicara sepatah katapun."Cintya, aku tahu kamu masih kaget dengan keputusanku. Tolong dengarkan baik-baik. Bukankah poligami itu tuntunan Rasul? Waktu itu, kamu juga setuju bukan, saat aku bilang mengutarakan niatku?" tanya Bara lembut, namun terasa m
Bara meremas rambutnya kasar. "Cintya, tenangkan hatimu dulu!"Kenapa kamu tega mendua, Mas? Kenapa?" raung Cintya kehilangan kendali. Dilemparnya bantal ke arah Bara. Bara tak menangkis, dia tahu istrinya sedang emosional. Dilemparkannya barang yang ada di depan matanya"Cintya, aku sudah izin padamu, dan kamu mengizinkan. Apakah aku salah?" Bara mencari pembelaanMemori Cintya kembali ke masa, saat Bara meminta izin menikah lagi. Bodohnya, Cintya mengiyakan, karena pikirnya Bara hanya bercanda. Ternyata, Bara berpikiran lain. Dia benar-benar mencarikannya madu beracun untukny"Cintya, mulai sekarang, kami akan tinggal di sini. Bertiga, agar kamu ada teman di kala aku tinggal keluar kota," alibinya"Bukankah selama ini, aku selalu sendiri, waktu kamu keluar kota?" sinis Cintya"Apa kamu berani melanggar ketetapan Allah?" tanya Bara sok agamis. Cintya memutar bola mata malas"Aku tidak menyangkal, tapi cara kamu yang salah. Poligami itu harus atas seizin istri pertama," lirih Cintya,