Share

Hukum Aku

Tangan kekar Bara memeluk pinggang ramping Cintya. Cintya tak menolak, tak juga merespon. Hatinya sudah mati rasa. Pandangannya menerawang jauh. Dari jendela kamarnya di lantai dua, nampak menara masjid agung Al Mubarok yang kokoh. Di menara itu, terpasang puluhan toa yang setia mengumandangkan adzan. Dari dulu, Cintya selalu mengagumi menara masjid itu. Bahkan, dia rela memandangi menara itu saat adzan berkumandang. Konyol memang, tapi itu membuat Cintya puas. 

"Apa aku sangat menyakitimu?" Bara membuyarkan lamunannya. 

Cintya masih tak merespon. Seperti inilah, kalau Cintya sedang marah, dia akan diam seribu bahasa, sampai hatinya benar-benar sembuh. 

Bara menggandeng tangan istrinya duduk di tepi ranjang. Cintya hanya menurut tanpa berbicara sepatah katapun.

"Cintya, aku tahu kamu masih kaget dengan keputusanku. Tolong dengarkan baik-baik. Bukankah poligami itu tuntunan Rasul? Waktu itu, kamu juga setuju bukan, saat aku bilang mengutarakan niatku?" tanya Bara lembut, namun terasa menusuk di relung hati Cintya. 

Cintya masih bungkam, namun pikirannya berkelana, mengingat apa yang Bara katakan. 

"Cintya, bukankah kamu akan selalu mendukungku, berjalan di jalan Allah? Poligami itu sunnah." Bara belum menyerah, dia masih mencoba meyakinkan Cintya, bahwa dirinya tak bersalah. 

Cintya menatap suaminya tak percaya. Cairan bening kembali lolos dari mata indahnya. Cintya mengerjap, berharap air matanya berhenti keluar. Namun kenyataan berkata lain.

Melihat air mata membasahi pipi istrinya, Bara segera mengusapnya. Tanpa berkata apa-apa, dipeluknya istri yang begitu dicintainya itu. Seketika, tangis Cintya pecah. Bara hanya mampu mengusap punggung dan kepala Cintya, agar tenang. Dibiarkannya Cintya menumpahkan tangis, hingga baju yang Bara kenakan ikut basah oleh air mata istrinya. 

"Pulangkan aku ke Jawa, Mas! Aku ingin cerai." Cintya melepas pelukan, ketika dirasa hatinya sudah mulai nyaman. 

Bara menatap tak percaya. Ditangkupnya wajah mungil istrinya. 

"Cintya, hukumlah aku sesuka hatimu, tapi aku mohon jangan meminta cerai. Aku tidak sanggup."

Cintya memalingkan muka. 

"Cintya."

"Aku mohon, pulangkan aku. Bukankah tanpa aku, kalian lebih bahagia?" sarkas Cintya terbata. Sesekali, air matanya masih lolos. 

"Cintya, aku tidak akan menceraikanmu," ucap Bara tegas. Dia lalu berdiri, mendekat ke jendela. 

"Kalau begitu, cerikan Aisya!" 

"Maaf Cintya, aku juga tidak bisa. Perceraian memang dibolehkan, tapi sangat dibenci Allah," tegas Bara. 

"Kamu jahat, Mas!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status