Selesai menurunkan barang, pak Udin lantas menyelesaikan tugasnya, membersihkan halaman. Sementara itu, Cintya masuk ke dalam kamar. Dibukanya jendela yang langsung menghadap ke pantai. Semilir angin memainkan anak rambutnya. Lama sekali dia termenung. Beberapa kali dia mengembuskan nafas berat. Banyak sekali yang mengganjal di pikirannya. Dipandangnya kasur di mana dia dan Bara sering memadu kasih di situ. Lagi-lagi hatinya nyeri, mengingat kini Bara bukan hanya miliknya. "Permisi Bu, saya antar es kelapa muda." Suara pak Udin membuyarkan angannya. Cintya lantas menyematkan pasminanya. Seperti biasa, tanpa diminta pak Udin selalu menyiapkan es kelapa muda saat ia berkunjung ke sini. Diletakannya satu butir kelapa muda di atas meja. Pohon kelapa memang banyak tumbuh di halaman belakang vila. Jadi tak heran, stok kelapa muda tak pernah habis kalau hanya dinikmati sendiri. Kadang, kalau banyak kelapa yang sudah tua, Pak Udin akan menjualnya di Pasar Sandana. Cintya maupun Bara sudah
"Pak Udin tahu sesuatu tentang Aisya 'kan?" cecar Cintya. Udara pantai mulai terasa panas, sepanas hatinya sekarang. Cintya merasa dimainkan oleh keadaan. Cintya mulai geram. Pak Udin meremas ujung kaos, yang bertuliskan nama partai di punggungnya. Dia tak berani menatap Cintya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Tak mungkin juga harus berkata jujur, karena akan menyakiti perasaan majikannya. Bara juga sudah meminta untuk tidak mengatakan apapun soal ini. "Bapak tahu 'kan, siapa itu Aisya?" Cintya tak sabar, karena pak Udin hanya diam saja. Pak Udin semakin bingung. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. TinAda yang membunyikan klakson mobil. Cintya dan pak Udin kompak menoleh. Ada satu mobil hitam mengkilat berhenti tak jauh dari pintu gerbang. "Saya permisi dulu, Bu." Dengan nafas lega, pak Udin meninggalkan Cintya. Dia bergegas membuka gerbang dan mempersilakannya masuk. Rupanya tamu yang akan menginap datang lebih awal. Untung saja pak Udin selalu membersi
"Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung."Kamu benar Cintya 'kan?" Orang asing tersebut justru bertanya balik. "Iya, saya Cintya. Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung, karena tiba-tiba ada orang sok kenal. "Ya ampun Cintya, kamu enggak ingat aku siapa?"Lelaki di depan Cintya tertawa renyah. Kaos putih dengan celana bergambar pantai sangat pas di tubuhnya yang atletis. Cintya mencoba mengorek memorinya. Namun tak terlintas sedikitpun ingatannya tentang pria di depannya. "Dulu kita satu sekolah saat SMA. Bahkan dulu kita pernah ...." Lelaki itu menggantung ucapannya. Cintya mencoba mengingat masa SMA. Selintas terbersit memori saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu. "Kak Niko?" tebak Cintya ragu. Lelaki yang disebut Niko tersebut matanya berbinar bahagia. Ternyata Cintya masih mengingat dirinya. "Kamu beneran kak Niko?" Kini Cintya balik bertanya. Sementara Niko hanya mengangguk seraya tersenyum. Cintya menggeleng tak percaya. Niko yang dulu kerempeng dan tak ter
Cintya melirik Niko sekilas, lalu dia cepat membuang pandangannya saat mata mereka beradu. Cintya menjadi salah tingkah. Dia pura-pura membetulkan pasminanya yang tertiup angin. Mereka sama-sama salah tingkah. Lama sekali keduanya terdiam. "Kamu apa kabar?" tanya mereka bersamaan. Konyol memang. Dari tadi mereka sudah mengobrol, kenapa baru menanyakan kabar. Sejurus kemudian, mereka berdua menjadi salah tingkah. "Kakiku capek, ayo kita duduk di sana!" Cintya mengajak Niko duduk di salah satu gazebo terdekat. Di samping gazebo, terdapat pohon kelapa kecil, namun buahnya lebat. Orang Tolitoli menyebutnya kelapa Buol. Mereka berjalan ke arah gazebo dengan diam. Entah kenapa suasana menjadi canggung. "Kamu mau es kelapa muda?" tanya Cintya saat keduanya sudah duduk lesehan. Tanpa menunggu persetujuan Niko, dia menghubungi pak Udin dan memesan dua buah kelapa utuh tanpa es. Gazebo kayu dengan cat berwarna coklat tua, ditambah gorden putih yang menjuntai, membuat kesan klasik semakin
"Sakit Mas," rintih Cintya. BrakPintu ditutup kasar. Bara melepaskan cengkramannya. Tercetak jelas jari tangannya di pergelangan Cintya. Cintya mengusap tangannya yang terasa panas. "Jawab aku, siapa dia?" tanya Bara dengan gigi gemeretak."Dia temanku, Mas." Cintya menjawab dengan takut. Tak pernah suaminya bersikap sekasar ini. Cintya beringsut mundur. Dia masih memegang pergelangan tangannya. Sejurus kemudian, air matanya jatuh. Semakin lama semakin deras. Tangan Bara mengepal. Dadanya naik turun menahan emosi. Tak dihiraukan Cintya yang menangis sesenggukan. Dia begitu marah, ketika melihat istrinya dengan pria lain."Jadi ini alasanmu, pergi dari rumah sejak tadi pagi?" tanya Bara sinis. Bara menggeser kursi kayu yang ada di ruang tamu dengan kasar, lalu menjatuhkan bobotnya"Aku tak serendah itu Mas," balas Cintya."Lalu, apa artinya tadi?" sinis Bara. "Kamu salah paham." Cintya berdiri mencoba mendekati suaminya. Tak disangka, Bara justru mengacuhkannya. "Dengarkan aku
Bara tak melanjutkan ucapannya, saat Cintya menempelkan jari telunjuknya di bibir. Cintya berjalan ke arah cermin. Dia mencoba menyumbat darah dengan pasmina putihnya. Dia tak peduli, meskipun pasmina yang ia kenakan baru saja dibelinya kemarin. Lukanya lumayan dalam, sehingga darah masih saja terus menetes.Dilihatnya Bara berjalan ke arahnya. Bara memeluknya dari belakang. Cintya didudukan di ranjang, dan Bara mencoba menekan lukanya agak kuat. Benar saja, darahnya perlahan berhenti. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. Perihnya luka tak lagi ia rasakan. Hatinya terlanjur sakit."Kita harus ke rumah sakit!" ujar Bara panik."Tak perlu." Bara tak menggubris penolakan Cintya. Dia segera mengenakan kemeja yang tersimpan di lemari kecil. Dirogohnya saku celana, mencari keberadaan kunci mobilnya.Cintya melepas pasmina dan pelapis hijabnya. Rambutnya indahnya dibiarkan tergerai. Dia sudah tak menangis. Matanya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. "Ayo Cintya!" "Tak perl
Pak Udin menunggu jawaban dari Niko yang tampak gugup. Sementara itu, Niko bingung harus menjawab bagaimana. Tak mungkin dia katakan yang sejujurnya pada pak Udin. "Jangan-jangan Bapak berniat jahat pada bu Cintya?" Pak Udin mulai curiga dengan gelagat aneh tamunya. "Bapak salah sangka. Saya mengkhawatirkan Cintya. Tolong bantu saya, beri alamat Cintya. Saya janji, Cintya akan aman." Niko berbicara dari dalam lubuk hatinya.Dia benar-benar khawatir terhadap Cintya. Apalagi, tadi Cintya sempat diseret oleh suaminya di depan mata kepalanya sendiri. Dia benar-benar tidak rela, Cintya diperlakukan kasar, kendati itu oleh suaminya. "Tolong saya Pak. Saya temannya dari Jawa. Saya mau meluruskan masalah ini ke suaminya," jelas Niko. Pasti suami Cintya telah salah paham, sampai begitu marah. Dia tak ingin masalah ini sampai berlarut-larut. Pak Udin menghela nafas berat. Dia juga merasa terjadi kesalah pahaman di antara majikannya. Namun dia bingung, apa benar orang di hadapannya bisa dipe
"Habis kecelakaan, Mas?" tanya Aisya polos. Cintya menatap suaminya. Aisya pun melakukan hal yang sama. Dia begitu menantikan jawaban yang keluar dari mulut Bara. "Iya, dia habis kecelakaan. Mas boleh minta tolong Aisya?" Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tentu saja Mas. Mau minta tolong apa?" Aisya begitu antusias. "Kamu enggak apa-apa 'kan, kalau mau mau temani Cintya dulu? Kasihan dia," ucap Bara begitu hati-hati. Seketika mendung bergelayut di pelupuk mata Aisya. Sejurus kemudian, dia tersenyum. Namun senyumnya tak mampu menutupi kesedihan yang tampak tercetak jelas. "Tidurlah bersamanya! Bukankah syarat poligami itu harus adil? Sekarang giliran kamu bersamanya. Jangan libatkan aku dalam dosa, atas ketidak adilanmu membagi waktu," ujar Cintya."Tapi ...," sela Bara. "Ini sudah konsekuensinya, Mas.""Mas Bara sama mbak Cintya saja. Aku bisa tidur sendiri kok." Aisya angkat bicara. Bara berat untuk memilih. Di satu sisi, Cintya membutuhkannya. Bara masih ingin menebys k