"Habis kecelakaan, Mas?" tanya Aisya polos. Cintya menatap suaminya. Aisya pun melakukan hal yang sama. Dia begitu menantikan jawaban yang keluar dari mulut Bara. "Iya, dia habis kecelakaan. Mas boleh minta tolong Aisya?" Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tentu saja Mas. Mau minta tolong apa?" Aisya begitu antusias. "Kamu enggak apa-apa 'kan, kalau mau mau temani Cintya dulu? Kasihan dia," ucap Bara begitu hati-hati. Seketika mendung bergelayut di pelupuk mata Aisya. Sejurus kemudian, dia tersenyum. Namun senyumnya tak mampu menutupi kesedihan yang tampak tercetak jelas. "Tidurlah bersamanya! Bukankah syarat poligami itu harus adil? Sekarang giliran kamu bersamanya. Jangan libatkan aku dalam dosa, atas ketidak adilanmu membagi waktu," ujar Cintya."Tapi ...," sela Bara. "Ini sudah konsekuensinya, Mas.""Mas Bara sama mbak Cintya saja. Aku bisa tidur sendiri kok." Aisya angkat bicara. Bara berat untuk memilih. Di satu sisi, Cintya membutuhkannya. Bara masih ingin menebys k
"Bagaimana perasaanmu saat aku duduk bersama laki-laki lain, Mas?" tanya Cintya sambil tersenyum mengejek. Aisya menatap Cintya bingung. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan Cintya selingkuh? "Ah, aku lupa. Kamu sekarang memang sudah tidak punya perasaan." Cintya masih terus melampiaskan kekesalannya sebelum Bara menjawab."Sekarang kalian pergilah. Kepalaku masih sakit dan aku mau istirahat," usir Cintya. "Ayo Aisya!" Dengan hati dongkol, Bara mengajak istri mudanya pergi. Dia terus berjalan menuruni anak tangga menuju kamar Aisya. Aisya hanya mengekor dari belakang tanpa berani bertanya. Padahal dia begitu penasaran, siapa laki-laki yang Cintya maksud. Hati Bara kembali panas, tatkala mengingat Cintya bersama lelaki lain. "Kamu sudah makan?" tanya Bara setelah mereka sampai kamar. Bara mencoba agar tidak melampiaskan amarahnya pada Aisya. Bagaimanapun juga, Aisya tak bersalah. "Belum Mas. Kamu belum makan juga?" "Aku masih kenyang," sahut Bara. Aisya mengerucutkan bibir kesal.
"Enggak bohong 'kan?" "Enggak Sayang. Kapan sih Mas bohong sama kamu?" bujuk Bara. "Em, pura-pura lupa.""Kamu kalau gemesin kayak gitu, Mas makan nih." "Coba aja kalau bisa." Aisya berlari kecil ke kamarnya. Bara lalu mengikutinya dari belakang. Tak lupa, dia mengunci semua pintu, lalu menyusul istri mudanya ke kamar. "Aisya sudah membuka jilbanya, dan membiarkan rambut panjangnya terurai. "Kamu sengaja menggodaku?" Bara memeluknya dari belakang. Ada desiran aneh di hati Aisya. Meskipun bukan pertama kali bersentuhan dengan Bara, tapi hatinya selalu berdesir saat Bara menyentuhnya. "A ... aku mau tidur." Cintya mendorong pelan Bara. Lalu dia beranjak ke kasur dengan sprei berwarna merah jambu. Ditariknya selimut hingga menutupi wajahnya. "Aku menginginkan hadirnya malaikat kecil di rumah ini. Ayo kita ikhtiar!" ajak Bara sambil membuka selimut yang menutupi wajah istrinya. Wajah Aisya merah merona menahan malu. Sejenak kemudian, dia mengangguk pelan seraya tersenyum. Dan unt
"Mau apa lagi kamu?" Bara masih mengingat jelas wajah pria di depannya. Emosinya seketika tersulut. "Saya hanya akan meluruskan kesalahpahaman di antara kita.""Tidak perlu. Sekarang anda pulanglah. Jangan ganggu Cintya lagi," ketus Bara. "Saya tidak akan pulang, sebelum masalah ini selesai.""Anda tamu di sini. Tidak berhak mengatur saya." Bagai sekam terpercik api, kini emosi Bara langsung tersulut. Cintya yang mendengar keributan di bawah, merasa penasaran. Dia segera melepas mukenanya, lalu turun ke bawah. Pintu depan masih tertutup. Cintya makin heran, kenapa suaminya marah-marah di luar. Dilihatnya kamar Aisya masih tertutup rapat. Cintya semakin penasaran. Dia bergegas menuju pintu depan. Klek"Mas."Terlambat. Cintya sudah membuka pintu. "Cintya.""Kak Niko kenapa bisa di sini?" tanya Cintya bingung. "Masuk Cintya!" perintah Bara. Cintya bengong. Dia bingung harus berbuat apa. "Aku bilang masuk!" sentak Bara. Cintya segera berlalu dan berlari ke kamarnya. Bahkan dia
"Cukup kak Niko," bentak Cintya. "Ck ... ck ..., ternyata kalian telah bermain di belakangku." Bara tersenyum mengejek."Cintya tak serendah itu," bela Niko. Niko tak rela jika Cintya dihina siapapun. Bara tersenyum tak percaya. Dia kembali menatap Cintya. "Apa kamu berniat balas dendam kepadaku Cintya?" sinis Bara. "Aku tak serendah itu. Balas dendam tidak diajarkan dalam agamaku," sanggah Cintya. Dia kembali geram. Padahal tadi malam suaminya baru saja meminta maaf, tapi sekarang kembali menorehkan luka. "Lalu drama apa lagi ini?" Bara terlihat frustasi. "Aku dan kak Niko hanya kebetulan bertemu di vila. Tak lebih dari itu," jelas Cintya. Bara kembali menyunggingkan senyum mengejek. Dia tak lantas percaya seratus person. Hatinya masih tertutupi api cemburu. "Kamu merasa yang paling tersakiti, ketika aku hanya duduk dengan orang lain. Lantas, apa aku tidak boleh cemburu, melihat suamiku bercumbu dengan wanita lain?"Cintya kehabisan kesabaran. Selama ini dia diam, agar Bara s
"Ceraikan Cintya. Aku akan membahagiakannya," ucap Niko membuat semua orang melongo. Cintya yang tadinya menangis langsung terdiam. Niko memang gila. Bagaimana bisa dia meminta istri orang lain di hadapan suaminya langsung. Bara bertepuk tangan sambil tertawa. Niko sangatlah berani. "Lelucon apa lagi ini?" "Saya tidak bercanda. Daripada Cintya tersakiti oleh lelaki bajingan sepertimu, lebih baik lepaskan dia." Bara kembali tersenyum sinis. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikannya. Dia istriku dan kamu tak berhak mengaturku," geram Bara."Tapi kamu menyakitinya," sentak Niko."Ini jalanku dan kamu orang lain, jangan menghalangi ibadah kami!" tegas Bara. Sebagai suami, dia merasa harga dirinya diinjak-injak. "Cintya, ikutlah pulang denganku!" ajak Niko. Cintya terdiam. Jika bercerai membuat masalah selesai, sudah sejak dulu dia menggugat Bara. Namun dia harus menjaga marwah keluarganya. Tak mungkin dia mengumbar aib keluarganya pada orang lain. "Terimakasih Kak, aku mengha
"Andai Mbak tahu, indahnya poligami, pasti akan menerima dengan indah syariat Nabi ini. Saya juga tidak akan masuk ke rumah tangga Mbak dengan Mas Bara, kalau bukan karena takdir Allah," ucap Aisya dengan tenang. Cintya memutar bola mata malas. Memang susah memberi tahu orang yang hatinya belum terbuka. "Aisya, coba kamu pelajari lagi. Nabi itu tidak poligami dengan gadis perawan, tapi sama janda yang suaminya sahid di medan perang. Beliau tidak berlandaskan nafsu, melainkan ingin menolong. Jadi kamu jangan merasa sok benar!" sindir Cintya lalu berdiri dan meninggalkan mereka berdua. "Semoga Allah membukakan pintu hatimu, Mbak," ucap Aisya sebelum Cintya berlalu. "Semoga Allah juga menyadarkan kalian kalau jalan yang kalian ambil salah," balas Cintya. "Kenapa kalian malah debat. Kamu juga Cintya, Mas belum selesai bicara."Bara kehabisan akal menghadapi istrinya. Entah sampai kapan mereka akan akur. Bara meremas rambutnya kuat. Dia pusing, sudah dihadapkan dengan masalah sepagi i
Cintya lalu berdiri dan meninggalkan Bara yang diam membisu. Kesabarannya benar-benar diuji pagi ini. KrukPerutnya sudah berdemo minta diisi. Dia lalu meraih ponselnya dan memesan sarapan. Sambil menunggu pesanan datang, Cintya membereskan kamarnya. Hari Minggu pagi, saatnya dia bersantai. Andai saja kemarin Bara tidak mengacaukan liburannya di vila, pasti sekarang dia sedang bersenang-senang di sana.Tak lama, ada panggilan masuk dari pesanannya. Cintya lantas turun ke lantai bawah dengan dompet di tangannya. "Mau ke mana?" tanya Bara saat mereka berpapasan. "Ke depan sebentar."Setelah membayar, Cintya segera masuk dan langsung menuju dapur. Diraihnya sendok beserta piring. Cintya menuang nasi campur dengan lauk ayam kecap. Aromanya begitu menggugah selera. "Aku sudah membelikanmu nasi kuning, kenapa tidak dimakan?" tanya Bara tak suka karena jerih payahnya tak dihargai. Dia menyusul Cintya saat tahu istrinya memesan makanan. "Aku tidak tahu," bohong Cintya sambil terus mengu