"Cukup kak Niko," bentak Cintya. "Ck ... ck ..., ternyata kalian telah bermain di belakangku." Bara tersenyum mengejek."Cintya tak serendah itu," bela Niko. Niko tak rela jika Cintya dihina siapapun. Bara tersenyum tak percaya. Dia kembali menatap Cintya. "Apa kamu berniat balas dendam kepadaku Cintya?" sinis Bara. "Aku tak serendah itu. Balas dendam tidak diajarkan dalam agamaku," sanggah Cintya. Dia kembali geram. Padahal tadi malam suaminya baru saja meminta maaf, tapi sekarang kembali menorehkan luka. "Lalu drama apa lagi ini?" Bara terlihat frustasi. "Aku dan kak Niko hanya kebetulan bertemu di vila. Tak lebih dari itu," jelas Cintya. Bara kembali menyunggingkan senyum mengejek. Dia tak lantas percaya seratus person. Hatinya masih tertutupi api cemburu. "Kamu merasa yang paling tersakiti, ketika aku hanya duduk dengan orang lain. Lantas, apa aku tidak boleh cemburu, melihat suamiku bercumbu dengan wanita lain?"Cintya kehabisan kesabaran. Selama ini dia diam, agar Bara s
"Ceraikan Cintya. Aku akan membahagiakannya," ucap Niko membuat semua orang melongo. Cintya yang tadinya menangis langsung terdiam. Niko memang gila. Bagaimana bisa dia meminta istri orang lain di hadapan suaminya langsung. Bara bertepuk tangan sambil tertawa. Niko sangatlah berani. "Lelucon apa lagi ini?" "Saya tidak bercanda. Daripada Cintya tersakiti oleh lelaki bajingan sepertimu, lebih baik lepaskan dia." Bara kembali tersenyum sinis. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikannya. Dia istriku dan kamu tak berhak mengaturku," geram Bara."Tapi kamu menyakitinya," sentak Niko."Ini jalanku dan kamu orang lain, jangan menghalangi ibadah kami!" tegas Bara. Sebagai suami, dia merasa harga dirinya diinjak-injak. "Cintya, ikutlah pulang denganku!" ajak Niko. Cintya terdiam. Jika bercerai membuat masalah selesai, sudah sejak dulu dia menggugat Bara. Namun dia harus menjaga marwah keluarganya. Tak mungkin dia mengumbar aib keluarganya pada orang lain. "Terimakasih Kak, aku mengha
"Andai Mbak tahu, indahnya poligami, pasti akan menerima dengan indah syariat Nabi ini. Saya juga tidak akan masuk ke rumah tangga Mbak dengan Mas Bara, kalau bukan karena takdir Allah," ucap Aisya dengan tenang. Cintya memutar bola mata malas. Memang susah memberi tahu orang yang hatinya belum terbuka. "Aisya, coba kamu pelajari lagi. Nabi itu tidak poligami dengan gadis perawan, tapi sama janda yang suaminya sahid di medan perang. Beliau tidak berlandaskan nafsu, melainkan ingin menolong. Jadi kamu jangan merasa sok benar!" sindir Cintya lalu berdiri dan meninggalkan mereka berdua. "Semoga Allah membukakan pintu hatimu, Mbak," ucap Aisya sebelum Cintya berlalu. "Semoga Allah juga menyadarkan kalian kalau jalan yang kalian ambil salah," balas Cintya. "Kenapa kalian malah debat. Kamu juga Cintya, Mas belum selesai bicara."Bara kehabisan akal menghadapi istrinya. Entah sampai kapan mereka akan akur. Bara meremas rambutnya kuat. Dia pusing, sudah dihadapkan dengan masalah sepagi i
Cintya lalu berdiri dan meninggalkan Bara yang diam membisu. Kesabarannya benar-benar diuji pagi ini. KrukPerutnya sudah berdemo minta diisi. Dia lalu meraih ponselnya dan memesan sarapan. Sambil menunggu pesanan datang, Cintya membereskan kamarnya. Hari Minggu pagi, saatnya dia bersantai. Andai saja kemarin Bara tidak mengacaukan liburannya di vila, pasti sekarang dia sedang bersenang-senang di sana.Tak lama, ada panggilan masuk dari pesanannya. Cintya lantas turun ke lantai bawah dengan dompet di tangannya. "Mau ke mana?" tanya Bara saat mereka berpapasan. "Ke depan sebentar."Setelah membayar, Cintya segera masuk dan langsung menuju dapur. Diraihnya sendok beserta piring. Cintya menuang nasi campur dengan lauk ayam kecap. Aromanya begitu menggugah selera. "Aku sudah membelikanmu nasi kuning, kenapa tidak dimakan?" tanya Bara tak suka karena jerih payahnya tak dihargai. Dia menyusul Cintya saat tahu istrinya memesan makanan. "Aku tidak tahu," bohong Cintya sambil terus mengu
Bara tak menjawab. Cintya wanita yang berwatak tegas. Sekali membuat keputusan, dia tak akan membatalkannya. Bara berpikir keras, ke mana akan membawa istri mudanya. Sebenarnya ada satu rumah di daerah Nalu, namun kondisinya sudah tidak layak huni, karena lama ditinggalkan. Tanpa disadari, Cintya sudah meninggalkan dirinya yang tengah merenung. "Mas." Suara Aisya mengagetkannya. Aisya nampak gusar, begitupun dirinya. "Kenapa di sini sendiri?" "Mau minum. Kamu mau ngapain?" tanya Bara. Aisya menggeser kursi di depan Bara. Dia benar-benar gusar memikirkan nasibnya sekarang. Dia enggan meninggalkan rumah mewah ini, tapi Cintya sudah membuat keputusan bulat. "Mas sudah dapat rumahnya?" tanya Aisya hati-hati. "Untuk sementara, tinggal di rumah ibu dulu saja iya? Mas mau renovasi rumah yang di Nalu dulu," jelas Bara. Aisya mengangguk saja. "Apa Mas? Renovasi rumah?"Cintya tiba-tiba berdiri di belakangnya. Bara tak kalah terkejut. Cintya hendak mengambil dompet yang tertinggal di
Cintya tersenyum penuh kemenangan. Dia berjalan ke kamarnya untuk meletakkan dompet. Pagi ini, dia berencana membersihkan taman samping rumah. Biasanya ada mbah Yah yang membantu, tapi sejak beliau pulang kampung, taman itu hanya dibersihkan ala kadarnya. Cintya mengganti baju santai. Dia lalu mengambil gunting besar yang terletak di gudang. Tak lupa, topi pantai ia kenakan. Diperhatikan dengan seksama bunganya yang mulai tak terawat. Sepasang angsa kesayangannya juga mulai kusam. Catnya sudah banyak yang mengelupas. Rencananya, dia akan meminta pak Udin untuk membantu mengecat ulang. Tangan Cintya mulai gesit memotong dahan bunga yang tumbuh tak beraturan. Air kolam yang mulai keruh juga ia ganti. Peluh mulai bercucuran karena matahari mulai tinggi. Cintya lalu duduk di ayunan. Lagi-lagi hatinya mencelos, ketika melihat tempat di sampingnya kosong. Biasanya dia dan Bara akan bercanda setelah sama-sama membersihkan taman. "Bu Cintya ... assalamualaikum."Suara salam di belakangnya
Tak lama, muncul seseorang dari kamar tamu dengan mengenakan mukena Bali bermotif bunga. Dia langsung duduk di salah satu kursi yang kosong."Beli di mana, Mas?" tanya Aisya membuat mbah Yah semakin bingung.Kenapa wanita ini memanggil Bara dengan sebutan itu? Bahkan terlalu mesra kalau hanya sebatas saudara. Dia juga belum pernah melihat wanita ini sebelumnya. "Temannya Bu?" tanya mbah Yah memberanikan diri. Cintya sengaja tak menjawab. Biarlah Bara yang memberi tahu."Dia istri saya, Mbah," ujar Bara sambil menatap wajah manis Aisya. Aisya yang dipandang seperti itu menjadi malu. "Astaghfirullah." Mbah Yah membatin dalam hati sambil memegang dadanya karena kaget. Dipandangnya raut wajah Cintya yang terlihat datar. "Ini mbah Yah, Sayang. Orang yang biasanya bantu-bantu di rumah ini," ujar Bara kembali mengejutkan mbah Yah. Bahkan Bara kini berani memanggil 'Sayang' ke orang lain di depan istrinya. "Saya Aisya, Mbah." Aisya memperkenalkan diri sambil menjabat tangan mbah Yah. Mb
Cintya merasa agak tenang, karena nasihat mbah Yah. Sesekali Cintya masih menenangis, kala menceritakan pedihnya hatinya. Mbah Yah hanya bisa menghibur dengan nasihat-nasihat. "Setiap manusia pasti punya cobaan, Bu. Allah tidak akan memberikan cobaan melampau batas. InsyaAllah ibu kuat," nasihatnya. Cintya mengangguk. Dia mulai menata hati. Mencoba ikhlas dalam setiap langkah kakinya. "Mbah Yah mau langsung pulang?" tanya Cintya. Dia tidak enak kalau mengganggu waktu istirahatnya. Mbah Yah berpikir sejenak. Sebenarnya dia lelah, tapi karena majikannya masih membutuhkan dukungan, akhirnya dia memilih menemani Cintya. "Mau dimasakin Bu?" tanya mbah Yah hati-hati. Selama ini dia memilih untuk memasak sendiri, karena ingin melayani Bara sepenuh hati. Mbah Yah hanya bertugas menyiapkan bahan masakan. "Boleh Mbah. Kita belanja dulu saja, karena di kulkas sudah mulai kosong!" ajak Cintya. Mereka berdua lalu menuju lantai bawah, setelah Cintya mengganti bajunya. Mbah Yah mengambil tas