Share

Bab 7

“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"

Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.

“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.

Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya.

“Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”

Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku.

Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus.

Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.

“Iya, Bu. Aku juga lagi mikirin gimana caranya si Reni pergi dari rumah ini. Gak enak banget ada dia! Nyuruh-nyuruh mulu!” keluh Vera. Ibu Dewi membelai lembut rambut Vera. Perlakuan yang tak pernah aku dapatkan dari Ibu.

“Kalau begitu, Dino harus secepatnya menceraikan si Reni. Kalau si Reni kamu ceraikan, dia gak mungkin tinggal di rumah ini. Iya, kan?”

Aku tersenyum miring, menggelengkan kepala. Sakit sekali hati ini mendengarkan rencana licik ibu mertuaku. Setelah memiliki rumah ini, mereka ingin mengusirku tanpa ingat kalau uang membangun rumah dari keringatku.

Ya Tuhan, tolong hamba-Mu. Tolong aku menghadapi perbuatan jahat mereka.

“Benar tuh, Mas! Aku juga udah muak lihat tingkah si Reni. Sok cantik! Bu, Mas Dino juga sekarang panggil Reni, Sayang-sayang terus! Jijik aku dengarnya!”

Mulut Vera mulai bereaksi. Sahabat laknat! Sahabat pengkhianat! Sekarang kamu boleh sok berkuasa, sebentar lagi, kamu akan menderita.

“Apa benar, Dino?”

Bang Dino tak menjawab, ia justru memalingkan wajah ke arah lain. Seolah tak ingin membalas tatapan ibu dan Vera. Mungkin Bang Dino kecewa karena tadi Ibu telah menamparnya dan membela si Vera.

“Dino, kamu dengar Ibu gak?”

“Dengar, Bu. Sudahlah, aku mau nge-cat lagi!”

Waduh, tadi kenapa pintu kamar aku kunci, ya? Aku harus pura-pura sampai rumah. Hmm ... nah itu, ada jalan! Kayaknya aku sudahi dulu menguping obrolan mereka. Bang Dino harus bisa aku hasut. Harus kubuat dia berada di pihakku terlebih dahulu.

Berjalan mengendap-endap lewat belakang rumah. Lalu, belok kiri, melewati beberapa rumah, memasuki gang kecil dan berjalan cepat menuju gerbang rumah yang belum selesai.

“Assalamualaikum,” ucapku membuka pintu rumah. Bang Dino tengah berusaha membuka pintu kamar.

“Waalaikumsalam. Ren, kamu dari mana? Kok pintu kamarnya dikunci?” tanya Bang Dino.

Aku tersenyum, mengeluarkan kunci kamar.

"Maaf, Bang. Tadi aku ke depan sebentar. Pengen jajan bakso,” jawabku sekenanya. Untung aku ingat, di depan ada kedai bakso.

“Kamu nih ya, beli bakso gak ajak-ajak Abang. Abang gak dibeliin?” Bang Dino melihat kedua tanganku.

“Enggak! Aku pikir, sekarang Abang gak suka bakso!”

Kami pun masuk kamar beriringan. Sengaja, mengunci pintu kamar supaya Ibu dan Vera berpikir macam-macam.

“Sukalah. Tapi gak apa-apa, kalau emang kamu gak beliin Abang.”

Aku tersenyum manis mendengar jawabannya.

“Bang, Ibu masih ada?”

“Masih,” jawab Bang Dino malas. Tangannya mulai mengaduk-aduk cat.

Menghampirinya, pura-pura melihat pipi Bang Dino memerah.

“Pipi Abang kenapa merah begitu? Kayak ... habis ditampar?”

Bang Dino menoleh, memegang pipinya.

“Abang ditampar Ibu.”

“Apa? Kok bisa?”

Bang Dino menghela napas berat.

“Gara-gara si Vera.”

“Maksudnya?” Aku menatap lekat Bang Dino, seolah peduli keadaannya.

“Si Vera ngadu sama Ibu, kalau aku menamparnya. Eh, Ibu malah tampar aku! Katanya, balasan karena aku udah tampar si Vera!”

Manggut-manggut, mendengar cerita Dinosaurus. Aku berjalan menuju tempat tidur, duduk di sisi.

“Aneh banget, kenapa Ibu sampai segitu ya? Padahal kan ... si Vera bukan siapa-siapa Ibu. Bukan anak Ibu, bukan menantu Ibu! Tapi, kok ... sampai segitunya? Rela menampar anaknya sendiri demi si Vera?” selorohku, berusaha membuat suasana hati Bang Dino memanas. Bodo amat, ah! Aku sudah muak dengan mereka. Biarlah, mereka hancur dengan sendirinya.

Bang Dino berpikir, ia tercenung sejenak.

“Kamu benar, Sayang. Tapi ya udah, Abang gak apa-apa. Sayang, bisa gak, kamu buatin Abang jus apa ke? Abang haus!”

Kalau bukan karena rencana yang sudah aku susun, rasanya malas mengabulkan keinginannya.

“Iya, Bang.”

Bang Dino mulai mengecet.

Sebuah ide melintas. Sengaja, membuat rambutku acak-acakkan, lipstik aku hapus berantakan, dan juga membuka dua kancing kemeja bagian atas. Aku yakin, jika Ibu dan Vera melihatku, mereka akan berpikir kalau kami memadu kasih di dalam kamar.

Keluar, berjalan santai menuju dapur.

“Reni!”

Kebetulan sekali, Ibu mertua memanggil. Aku membalikkan badan sambil tersenyum. Kedua mata Ibu dan Vera membulat melihat penampilanku. Mereka menatapku dari atas sampai bawah.

“Ada apa, Bu?”

Kedua tangan Vera mengepal. Aku tahu, dia pasti mulai emosi dan cemburu.

“Kenapa penampilanmu jadi berantakan begitu?” Jari telunjuk Ibu mengarah padaku. Sedangkan Vera, memalingkan wajah, bibirnya mengerucut beberapa centi.

“Memangnya penampilanku kenapa?” Aku pura-pura tak mengerti.

“Masih nanya? Kamu ini ... itu lihat lisptik kamu, sampai blepotan! Kemeja kamu, bukannya dikancingin! Malah dibiarkan terbuka!”

Aku memandang penampilan sendiri.

“Ya ampun, aku gak sadar lho, Bu. Ya ... gimana dong! Bang Dino tadi ... mainnya kayak bringas gitu. Lipstikku belepotan ya, Bu? Gimana gak blepotan kalau tadi ... dah, ah! Jangan dibahas! Aku kan jadi malu!”

Membalikkan badan, berjalan cepat ke dapur.

“Sialan! Mas Dino sialan!”

Samar-samar kudengar Vera mengumpat. Aku hanya tersenyum manis.

Setelah membuatkan jus Mangga, aku hendak kembali masuk kamar, memberikan jus Mangga untuk Bang Dino. Tetapi, di depan pintu kamar, berdiri Ibu dan Vera. Untung saja, tadi aku sempat menguncinya! Aku kunci, supaya rencanaku berhasil.

“Dino, buka pintunya! Buka! Tuh anak, tuli apa? Dari tadi teriak-teriak, bukanya dibukain pintunya! Dinooo ....”

“Bu ... Ibu dan Vera ngapain berdiri di depan kamarku?” tanyaku lembut. Ibu dan Vera mendengkus kesal.

“Ibu mau bicara sama si Dino!”

Aku kembali mengulas senyum. Tetap tenang.

“Maaf, Bu. Kayaknya Bang Dino gak bisa diganggu dulu. Kami kan baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Jadi ... tolong pengertiannya, ya?”

Kulihat raut wajah Vera memerah, seperti menahan amarah.

“Eh, Reni! Kamu ini gak sopan banget, ya? Ibu adalah ibu kandungnya Mas Dino! Kamu jangan sok menguasai dong! Suruh Mas Dino keluar kamar! Cepetan!”

Jujur, aku sangat tersinggung diperintah si Vera. Memangnya dia siapa? Sudah dikasih tempat tinggal, malah ngelunjak. Aku menarik napas panjang, menatap mereka bergantian.

“Vera ... kamu mesti ingat, siapa kamu di sini? Memangnya kamu yang punya rumah ini? Memangnya kamu istri Bang Dino? Bukan ‘kan? Jadi orang tuh mesti tahu diri! Menumpang kok kurang ajar! Ingat, aku adalah pemilik rumah ini! Aku adalah istri sah Bang Dino. Sedangkan kamu? Cuma me-num-pang! Gak berhak memerintahku! Paham? Minggir!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status