"Kamu jangan salah paham dulu, Ren. Aku dari dalam kamar Vera gak ngapa-ngapain. Kita cuma ngobrol aja kok. Sumpah dah." Aku tersenyum miring mendengar alasan Bang Dino. Tidak peduli juga mereka mau ngapain berduaan di dalam kamar. Toh sebentar lagi aku dan Bang Dino akan bercerai. "Bener, Ren. Aku sama Mas Dino cuma ngobrol biasa aja."Halah, si Vera juga ikut-ikutan mengelak. Aku mendekati keduanya. Memandang mereka satu persatu. "Aku ... enggak ... pe-du-li."Membalikkan badan, meninggalkan dua manusia munafik itu. Tak ingin mendengar ucapan atau alasan mereka lagi. Bodo amat. Aku melangkah ke dapur, membuat susu cokelat hangat. Entah mengapa malam ini aku tidak bisa tidur. "Ren, apa kamu gak bisa batalin jual rumah ini?" Tanpa kusadari, Bang Dino sudah berdiri di samping. Menoleh ke belakang, Vera sudah tidak ada. "Enggak bisa," jawabku singkat, mengaduk susu cokelat hangat. "Ren, aku gak mau pisah sama kamu. Kamu jangan ceraikan akulah, Ren. Aku masih cinta kamu, Ren. Masi
"Pindah? Kamu mau pindah sekarang, Ren?"Dari arah belakang, muncul Vera sambil mengelus perut buncitnya."Iya. Aku mau pindah sekarang," jawabku tanpa beban. Aku sudah tidak sabar hidup seorang diri tanpa bayang-bayang mereka berdua. Sepasang manusia yang udah putus urat malunya. "Terus kami gimana, Ren? Kamu ini kalau jual rumah kok gak mikirin nasib kami sih?"Astaghfirullah ... kok ada manusia gak tau diri seperti si Vera? Amit-amit nauzubillahiminzalik. Aku menggelengkan kepala, mendekati Vera. "Asal kalian tau, aku emang gak pernah mikirin nasib kalian. Ih, amit-amit. Kamu kok Ver, gak punya malu banget. Emang waktu kalian selingkuh, mikirin nasib aku yang bekerja di luar negeri sana? Enggak kan?"Kupelototi dua makhluk yang sifatnya melebih makhluk astral itu. Mereka benar-benar membuatku kesal dan emosi. Kalau si Vera lagi gak hamil besar, ingin sekali tangan ini menjambak rambutnya yang jarang sekali dikeramas. Aku sih bukan menghina, tapi si Vera hamil itu gak cantik sama
"Barang-barang furniture di rumah kamu gak dibawa semua? Kamu cuma bawa ini doang?" Tiba-tiba Angga bicara. Aku menoleh, menapat lelaki yang berdiri di dekat ruang tamu tanpa ada sofa atau televisi. Apartemen ini memang masih kosong. Belum ada barang-barang rumah tangga lainnya. "Iya. Ribet bawanya. Lagian aku kan cuma hidup sendirian. Paling nanti mau beli alat-alat dapur. Kalau sofa, gampang nyusul," jawabku membuka pintu kamar.Kalau tempat tidur aku sudah membelinya kemarin. Menyuruh penjaga apartemen untuk mengangkat ke atas. Begitu pula lemari pakaian. Selesai memasukkan kedua koper, aku keluar, ke dapur. Di sana baru ada dispenser, kompor dan magicom. "Silakan diminum," ucapku meletakkan kedua gelas di depan Angga dan Windy yang duduk di atas karpet. "Padahal bawa aja, Ren. Barang-barang di rumah sebelumnya kan milikmu," kata Angga sambil menegak air yang aku suguhkan. "Males, Ga.""Dia mah emang begitu, Angga. Orangnya gak mau ribet. Aku juga sempat mengingatkannya, bara
"Vera? Kamu ngapain malam-malam ada di rumahku?"Wanita yang baru saja membukakan pintu adalah Vera, sahabat yang selama ini aku percaya.Setelah hampir empat tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita atau TKW di luar negeri, akhirnya aku bisa pulang. Memang kepulanganku ke tanah air tanpa sepengetahun suami.Niat hati ingin memberi kejutan pada sang suami, yang terkejut justru aku sendiri. Bagaimana tidak, jam sebelas malam ada wanita lain di rumah yang kubangun dari hasil aku bekerja di negeri orang. Apa mungkin benar, gosip yang aku dengar belakangan ini kalau Bang Dino berselingkuh dengan Vera?“Siapa, Sayang?” Suara itu ... Suara Bang Dino Saturus! Ternyata mereka benar-benar telah menusukku dari belakang. Gosip yang aku dengar ternyata benar! Ya Allah, tolong kuatkan aku, tolong tenangkan aku. Aku tidak boleh marah, tidak boleh curiga kalau mereka memiliki hubungan khusus. Harus berpikir jernih. Kalau marah-marah sekarang, aku bisa diusir mereka. Rumah ini, rumah yang dibangun dengan
Pukul tujuh pagi, aku baru keluar kamar. Perjalanan yang jauh membuatku kelelahan. Ditambah mengetahui fakta kalau suamiku berselingkuh. Parahnya selingkuhannya adalah orang yang selama ini kuanggap sebagai sahabat. Semakin bertambah lelah yang kurasakan. Lelah hati, lelah pikiran, lelah badan. Melewati ruang tamu, samar-samar kudengar suara orang yang tengah berbincang. “Tapi, Mas ... sampai kapan kita kayak gini? Aku gak mau, aku gak mau terus menerus pisah denganmu! Aku ingin satu rumah sama kamu! Kamu lihat, Mas ... aku lagi mengandung anakmu! Apa kamu tidak cemasin aku, heuh?” Kupejamkan kedua mata mendengar pengakuan Vera, yang tak lain sahabatku sendiri. Sahabat yang kini berubah menjadi pengkhianat. Menghela napas panjang, berusaha menetralisir perasaan kecewa dan sakit hati. Aku harus kuat, harus kuat menghadapi dua manusia tidak berguna itu. Kalau memang Vera ingin satu rumah dengan Bang Dino, aku akan mengabulkannya. Memundurkan badan, agar terkesan tidak mendengar perca
“Ren, ini minumannya.” Vera meletakkan segelas jus. “Terima kasih. Vera, kamu gak pulang dulu ambil pakaian?” “Nanti saja. Aku mau istirahat dulu. Semalam gak bisa tidur nyenyak. Di kontrakan banyak nyamuk.” Hem, banyak gaya! Banyak nyamuk jadi keluhan. “Oh ya, Ver. Kamu masak gih! Nih, uangnya. Kamu beli sayuran di warung. Di seberang sana, tadi aku lihat ada warung sayur.” Kuberikan uang lima puluh ribu. Vera melihat selembar uang itu dengan lekat. “Gak salah, duitnya cuma segini?” “Ya gak lah ... udah, pokoknya kamu cukup-cukupin aja.” Bibir Vera mengerucut. Dia pasti kesal aku kasih uang segitu. Ah, bodo amat. Aku yakin, selama ini Vera juga menikmati uang hasil keringatku yang dikirim ke rekening Bang Dino. Sekarang saatnya aku balaskan semua perbuatan kalian berdua. “Pelit banget sih kamu, Ren!” Menoleh cepat, memicingkan kedua mata. Aku berdiri, mensejajari tubuhnya. “Kamu bilang apa? Aku pelit?" tantangku, menatapnya lekat. Wanita tidak tahu diri! Tidak tahu terima k
Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu! “Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!” Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto. “Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.” Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat. “Bang?” Panggilku, duduk di sofa. “Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus. “Nama suaminya si Vera siapa, Bang?” Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir. “Su-suami Vera?” “Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?” Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasara
“Reni, masakannya sudah siap tuh!”Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!” Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan. “Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan jug