"Vera? Kamu ngapain malam-malam ada di rumahku?"
Wanita yang baru saja membukakan pintu adalah Vera, sahabat yang selama ini aku percaya.Setelah hampir empat tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita atau TKW di luar negeri, akhirnya aku bisa pulang. Memang kepulanganku ke tanah air tanpa sepengetahun suami.Niat hati ingin memberi kejutan pada sang suami, yang terkejut justru aku sendiri. Bagaimana tidak, jam sebelas malam ada wanita lain di rumah yang kubangun dari hasil aku bekerja di negeri orang. Apa mungkin benar, gosip yang aku dengar belakangan ini kalau Bang Dino berselingkuh dengan Vera?“Siapa, Sayang?”Suara itu ... Suara Bang Dino Saturus! Ternyata mereka benar-benar telah menusukku dari belakang. Gosip yang aku dengar ternyata benar!Ya Allah, tolong kuatkan aku, tolong tenangkan aku. Aku tidak boleh marah, tidak boleh curiga kalau mereka memiliki hubungan khusus. Harus berpikir jernih. Kalau marah-marah sekarang, aku bisa diusir mereka. Rumah ini, rumah yang dibangun dengan jerih payahku selama bekerja di luar negeri, harus menjadi milikku. Sekarang lebih baik pura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu. Menarik napas panjang, menetralisir kemarahan agar tidak meluap.“Re-Reni ....” Kulihat Bang Dino terkejut setengah mati. Kedua matanya melebar, menelan air liur sendiri.Kutunjukkan senyuman yang menawan, seraya memandang Bang Dino dan Vera bergantian.“Hai, Bang ... Aku kangen banget sama kamu, Bang ....” Kuhampiri Bang Dino yang berdiri terpaku tak jauh dari Vera. Membiarkan Vera tanpa ingin menyapa.“Kamu ... kamu pulang ke-kenapa gak ... gak bilang dulu, Ren?” Melihat keringat Bang Dino bercucuran di pelipisnya, aku tersenyum.“Kan biar surprise! Bang, Abang lagi ada tamu, ya?” kataku melirik Vera yang masih berdiri di dekat pintu. Bang Dino terlihat sekali canggung. Meskipun aku dan Bang Dino berdekatan, tapi seujung kuku pun tak ingin menyentuhnya.“I-Iya. Memangnya kamu lupa dia siapa? Dia kan Ver –““Verek?” Aku menyela ucapan Bang Dino, sengaja.“Eh, jaga bicaramu, Reni! Aku ini Vera, sahabatmu!”Aku mengulum senyum, berhasil menghinanya. Memasang ekspresi terkejut, menutup mulut.“Hah? Kamu ... kamu Ver-Verek? Eh, maksudku ... Vera? Tapi kok beda banget ya? Perutmu kenapa ... Kenapa melendung? Apa kamu terkena busung lapar?” tanyaku menyindir sekaligus menghina. Bodo amat!Harusnya tak perlu dipertanyakan lagi, penyebab perutnya melendung? Pasti dia sedang hamil? Lalu, siapa yang menghamili pengkhianat ini. Apa mungkin si Dinosaurus? Ya Tuhan ... Tenangkan aku ... Tenangkaaan ....Mereka boleh mengkhianatiku, tetapi aku? Aku tidak boleh terlihat bersedih, tidak boleh terlihat menderita apalagi membiarkan mereka hidup bahagia. Lihat saja, aku akan membalas kejahatan kalian dengan cara cantik!“Enak saja busung lapar? Reni, kamu ini datang dari luar negeri, mulutmu makin tidak bermoral!”“Ya kamu benar, Ver ... tapi untungnya Cuma mulutku yang tidak bermoral tapi sikapku tetap bermoral, tidak merebut suami orang! Tidak mengkhianati sahabat sendiri!”“Hah? Kamu ... Kamu---“ Vera semakin meradang. Harusnya bukan dia yang meradang, tapi aku tak mau membuang energi sia-sia. Berulang kali dalam hati aku berdoa, agar Allah memberiku ketenangan menghadapi dua manusia busuk ini.“Vera, Vera ... baiknya kamu pulang dulu. Ini sudah malam lho, nanti gak enak kalau dilihat tetangga. Mereka pikir, kita ada macam-macam!” Bang Dino mengajak Vera keluar rumah.“Lho, Mas ... Kita kan emang ....”Ternyata mereka benar-benar memiliki hubungan khusus. Entah sudah menikah atau hanya kumpul kebo. Awas saja, kalau kalian berani melakukan zina di rumah hasil jeri payahku, aku akan mempermalukan kalian berdua!“Sudah, Vera ... Sekarang kamu pulang dulu, sudah malam. Apalagi kamu sedang hamil. Kamu tenang saja ya, besok aku suruh suamimu pulang. Supaya dia bisa menemanimu,” seloroh Dinosaurus alias Dino Satorus. Dia menggiring Vera, menyuruhnya pergi sambil bisik-bisik. Vera terlihat mengelak, tapi si Dinosaurus terus saja mendorong Vera keluar dari rumah.Bang Dino menutup dan mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku sambil tersenyum. Kedua tangannya membentang hendak memeluk, namun aku mengelak. Tak sudi, tubuh ini disentuh laki-laki pembohong, tukang selingkuh macam dia.“Kenapa kamu gak mau Abang peluk, Sayang? Katanya kangeeen ....?" Ck, menjijikan! Menyebalkan! Tanganku rasanya sudah gatal ingin menampar mulutnya! Tapi, aku harus tenang ... Harus tahan emosi ....“Maaf, Bang. Badanku bau, lengket, bau keringat. Ya maklum, habis perjalanan jauh. Aku mau mandi dulu. Bang, tolong bawa barang-barangku, ya? Sekalian rapikan.”Mungkin sudah saatnya sekarang aku menjadi Ratu. Dulu, sebelum menjadi TKW, Bang Dino aku perlakuan bak seorang Raja. Segala titahnya selalu aku jalankan.Namun kini, Perselingkuhan Bang Dino dan Vera membuatku terluka dan kecewa. Biarlah, mungkin lelaki sampah macam dia, pantas mendapatkan wanita sampah macam si Vera. Apa jangan-jangan, gosip yang dulu pernah aku dengar memang benar adanya? Astaghfirullahalazhiim ....“Siap, Sayang.” Bang Dino langsung sumringah. Kalau dulu, disuruh ngambil sesuatu, dia tidak akan mau.“Oh ya, Bang. Kamar kita yang mana?”“Itu, Sayang. Itu kamar kita.” Melirik pintu yang berada tepat di depanku. Sejujurnya, aku tidak mau ada di kamar ini. Pastinya, salah satu kamar di rumah ini menjadi kamar Bang Dino dan Vera. Sebaiknya aku lihat-lihat dulu.Membuka pintu kamar, mengitari sekeliling. Selimut acak-acakan, ada dua cangkir kopi dan juga asbak, di dalamnya banyak puntung rokok, ada juga bra yang tergeletak di atas lantai. Aku memalingkan muka. Sudah dapat ditebak kalau ini adalah kamar si Dinosaurus dan Verek.“Bang, aku mau di kamar depan aja!” Bang Dino yang sudah berada di depan pintu membawa koper menatapku lekat.“Kalau ... kamar depan, kamar tamu, Sayang.”Bodoh atau sengaja ingin menyakitiku? Di dalam kamar itu sudah ada bukti kalau pernah dihuni wanita lain.“Ya gak apa-apa. Besok aku mau kamar tamu di-cat ulang sesuai warna kesukaanku!”“Siap, Sayang. Besok Abang akan suruh tukang bangunan buat nge-cat kamarmu!”“Gak mau! Kalau orang lain yang nge-cat gak bagus nantinya. Aku mau kamu yang nge-cat, Sayang ....”Dinosaurus berpikir kemudian mengangguk. Aku tersenyum bahagia. Satu persatu akan kubuat kalian menderita.“Bang, tolong bawain barang-barangku ke sini!”Berjalan cepat, menuju kamar paling depan. Membuka pintu, terlihat masih sangat lengang. Hanya ada ranjang ukuran king size dan juga lemari yang ukurannya lebih kecil dari kamar sebelumnya.“Sayang, kamu yakin mau tidur di sini? Kamar Abang kan di sana,” tanya Bang Dino saat masuk ke dalam kamar. Aku menoleh sekilas.“Kalau Abang ingin kamar itu, silakan saja. Aku mau di sini. Oh ya, Bang. Malam ini aku ingin tidur sendirian.”Wajah Bang Dino terlihat bersedih. Najis! Amit-amit aku tidur sama dia!“Abang tidur sendirian dong ....”“Kan ada bantal guling, Bang! Oh ya, ATM mana?”Bang Dino terkejut. Aku tersenyum manis.“ATM apa, Sayang?”“ATM, Abang lah ... Mana sini? Selama ini kan aku selalu mentransfer uang ke rekening Abang!”“Tapi kan itu, tabungan kita, Sayang ....”“Ya aku tahu. Makanya cepat kasihin ke aku! Sekarang aku udah di sini! Ayo dong, Sayang ....”Bang Dino garuk-garuk kepala.“Ada di kamar. Sebentar, ya?”Bang Dino keluar kamar. Kedua tanganku mengepal kuat. Menahan emosi ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Dari tadi ingin rasanya aku maki-maki lelaki tak tahu diri itu!Bang Dino kembali masuk kamar, membawa dompet. Aku langsung merebutnya. Kedua mataku membeliak, melihat isi dompet Bang Dino. Ternyata uangnya cukup banyak.Mengeluarkan semua uang yang ada di dalam dompetnya beserta dua ATM yang terselip.“Sayang, uang Abang kenapa diambil semua? Itu ATM nya juga. Jangan dong, Sayang ....”Meletakkan dompet kosong ke atas meja rias, tersenyum manis.“Abang tenang saja, ya. Mulai saat ini, keuangan aku yang pegang. Hampir empat tahun aku menafkahi Abang, sekarang giliran Abang yang menafkahiku! Oke, Sayang? Dah sana keluar! Aku mau mandi!”Pukul tujuh pagi, aku baru keluar kamar. Perjalanan yang jauh membuatku kelelahan. Ditambah mengetahui fakta kalau suamiku berselingkuh. Parahnya selingkuhannya adalah orang yang selama ini kuanggap sebagai sahabat. Semakin bertambah lelah yang kurasakan. Lelah hati, lelah pikiran, lelah badan. Melewati ruang tamu, samar-samar kudengar suara orang yang tengah berbincang. “Tapi, Mas ... sampai kapan kita kayak gini? Aku gak mau, aku gak mau terus menerus pisah denganmu! Aku ingin satu rumah sama kamu! Kamu lihat, Mas ... aku lagi mengandung anakmu! Apa kamu tidak cemasin aku, heuh?” Kupejamkan kedua mata mendengar pengakuan Vera, yang tak lain sahabatku sendiri. Sahabat yang kini berubah menjadi pengkhianat. Menghela napas panjang, berusaha menetralisir perasaan kecewa dan sakit hati. Aku harus kuat, harus kuat menghadapi dua manusia tidak berguna itu. Kalau memang Vera ingin satu rumah dengan Bang Dino, aku akan mengabulkannya. Memundurkan badan, agar terkesan tidak mendengar perca
“Ren, ini minumannya.” Vera meletakkan segelas jus. “Terima kasih. Vera, kamu gak pulang dulu ambil pakaian?” “Nanti saja. Aku mau istirahat dulu. Semalam gak bisa tidur nyenyak. Di kontrakan banyak nyamuk.” Hem, banyak gaya! Banyak nyamuk jadi keluhan. “Oh ya, Ver. Kamu masak gih! Nih, uangnya. Kamu beli sayuran di warung. Di seberang sana, tadi aku lihat ada warung sayur.” Kuberikan uang lima puluh ribu. Vera melihat selembar uang itu dengan lekat. “Gak salah, duitnya cuma segini?” “Ya gak lah ... udah, pokoknya kamu cukup-cukupin aja.” Bibir Vera mengerucut. Dia pasti kesal aku kasih uang segitu. Ah, bodo amat. Aku yakin, selama ini Vera juga menikmati uang hasil keringatku yang dikirim ke rekening Bang Dino. Sekarang saatnya aku balaskan semua perbuatan kalian berdua. “Pelit banget sih kamu, Ren!” Menoleh cepat, memicingkan kedua mata. Aku berdiri, mensejajari tubuhnya. “Kamu bilang apa? Aku pelit?" tantangku, menatapnya lekat. Wanita tidak tahu diri! Tidak tahu terima k
Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu! “Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!” Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto. “Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.” Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat. “Bang?” Panggilku, duduk di sofa. “Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus. “Nama suaminya si Vera siapa, Bang?” Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir. “Su-suami Vera?” “Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?” Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasara
“Reni, masakannya sudah siap tuh!”Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!” Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan. “Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan jug
“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera. “Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.“Minum dulu.”“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan. Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.
“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya. “Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku. Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus. Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.“Iya, Bu
Kudorong bahu Vera agar menjauh dari depan pintu kamar. “Eh, kamu jangan kurang ajar, Reni! Jaga sikapmu!” Beuh, lagi-lagi Ibu mertua membela Vera. Mungkin bagi Ibu Dewi, Vera adalah menantu idaman. Aku sudah terbiasa diabaikan, apalagi jika berkumpul dengan kedua kakak Bang Dino, Bang Doni dan Bang Dodi, keberadaanku sangat tidak dianggap. Ibu lebih senang mengajak dua menantunya yakni Mbak Sarah dan Mbak Tina untuk berbincang. Tak kuhiraukan bentakan Ibu Dewi, memilih masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, menguncinya.“Astaga, Sayang! Abang sampe kaget. Kamu kenapa?” tanya Bang Dino menoleh ke belakang. Bajuku yang agak basah karena sewaktu di dapur membasuh wajah, langsung mengambil pakaian ganti setelah meletakkan segelas jus Mangga. “Aku kesal sama Ibu dan si Vera, Bang! Masa dia bentak-bentak aku gak jelas! ngatain Bang Dino gak punya sopan santun karena ninggalin mereka dan memilih diam di kamar bersamaku!” Lebih baik aku adukan saja sikap Ibu dan Vera. Bang Dino menat
“Kurang ajar!!”“Stop, Vera!” Wow, Bang Dino mencekal pergelangan tangan Vera. Tangan Vera yang hendak menamparku. Cekalan yang kuat membuat si Vera meringis kesakitan. “Lepasin, Bang! Lepasin! Dia sudah keterlaluan! Dia nuduh aku punya suami dua! Padahal suami aku cuma ka---“Mulut Vera langsung dibekap Bang Dino. Kedua matanya melotot.“Aku dan Reni gak peduli siapa suami kamu! Lebih baik kamu diam saja! Jangan mencoba menampar istriku!” Bang Dino terlihat sangat geram. Melihat pembelaan Bang Dino, hatiku tak lantas tersentuh. Mungkin Bang Dino bersikap demikian karena dia sudah dihina Vera. Aku tahu betul sikapnya, Bang Dino paling tak suka ada wanita yang merendahkannya apalagi wanita itu adalah istri sendiri."Dino, lepaskan Vera! Dia lagi hamil besar, Dino! Lepaskan!”Ibu Dewi berusaha melepaskan tangan Bang Dino dari mulut Vera. “Sudahlah, aku malas menghadapi kalian. Bang, berangkat yuk! Jangan lupa, kamar Abang dikunci soalnya ... aku gak mau, ada barang berharga yang hila