Share

Bab 4

Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu!

“Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!”

Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto.

“Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.”

Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat.

“Bang?” Panggilku, duduk di sofa.

“Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus.

“Nama suaminya si Vera siapa, Bang?”

Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir.

“Su-suami Vera?”

“Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?”

Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasaran, menunggu jawaban dari lelaki yang dulu amat aku cintai.

“Tahu, tahu ... Abang tahu nama suami si Vera,” katanya cepat.

“Siapa?”

“Fe ... Ferry! Ya, Ferry!”

Aku tersenyum miring mendengar jawaban Dinosaurus. Menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Melihat Bang Dino kembali mengaduk-aduk cat.

“Memangnya si Vera nikah bulan apa, Bang?”

Kalau jawaban pertanyaan ini pasti dijawab jujur.

“Kalau nikahnya mah masih baru. Bulan Mei tahun ini,” jawab Bang Dino tanpa beban, tanpa menatapku.

Hah? Mei? Kandungannya si Vera sudah besar banget. Ternyata hamil di luar nikah.

“Berarti hamil di luar nikah ya, Bang?”

Lagi, Bang Dino menghentikkan gerakan tangannya. Ia berdiri, menghela napas panjang. Memandangku dan menganggukkan kepala.

“Kayaknya gitu. Sayang, Abang mau nge-cat sekarang. Abang tinggal dulu!”

“Aku temani, Bang! Sekalian aku pengen ngobrol-ngobrol. Kita kan udah lama gak ngobrol!” ucapku berjalan di samping Bang Dino yang tersenyum.

“Iya, Sayang. Kalau kamu mau temani Abang, Abang senang sekali.”

Aku dan Bang Dino masuk ke dalam kamar. Pintu kamar tidak aku tutup. Lau, dengan cekatan, ia mendorong lemari pakaian. Terlihat agak kesulitan, tapi sedikit pun aku enggan membantu.

“Kenapa ya, Bang? Badanku masih pegal-pegal? Apa karena perjalanan jauh kemarin?”

Kutahu, Bang Dino ingin memintaku untuk membantunya. Sebelum mulut dia bicara, aku menyela lebih dulu.

“Oh, badanmu masih pegal? Diurut aja, Sayang ... Bi Rum kan jago ngurut. Kalau kamu diurut, nanti Abang juga pengen diurut. Nih kaki, sakit banget bekas jatuh dari motor tadi.”

Enak saja sekalian. Ogah banget.

“Gak usahlah, Bang! Nanti aku minum obat saja. Hmm ... Bang, aku masih pengen tanya-tanya soal si Vera.”

Bang Dino tampak acuh tak acuh. Tapi aku gak peduli. Aku cuma ingin menguji sejauh mana kejujuran lelaki itu.

“Tanya apalagi, Sayang?”

“Si Vera suaminya emang kerja apaan sih, Bang? Kok tega banget ya, ninggalin istrinya yang lagi hamil besar gitu,” kataku pura-pura bersimpati akan kondisi Vera. Padahal aslinya, sama sekali tidak peduli.

“Hmm ... Bukan tega, Sayang ... Suaminya itu kerja ninggalin dia supaya ... Anu ... Supaya pas si Vera lahiran punya uang! Kalau suaminya gak kerja, nanti si Vera makan sama apa? Makanya suami si Vera itu bela-belain jadi TKI!”

Rasanya ingin sekali aku tertawa. Jadi TKI? Kalau memang Bang Dino ada niat ingin pergi jadi TKI, aku akan kabulkan!

“Wah, jadi TKI? TKI mana, Bang?” Lagi-lagi aku berpura antusias menanggapi cerita Bang Dino. Lelaki yang tengah meng-cat kamar tampak berpikir.

“Malaysia.”

“Berapa lama prosesnya, Bang? Abang pasti tahu kan?” Aku terus mendesak Bang Dino agar bercerita lebih banyak tentang si Vera dan suaminya versi Bang Dino.

Suami Vera versi Bang Dino namanya Ferry. Suami Vera versi Vera sendiri namanya Dito.

Hahahah ... lucu sekali mereka ini. Biarkan saja mereka anggap aku bodoh. Menganggapku mudah dibodohi dan dibohongi, tidak masalah.

Terpenting bagiku, segala aset rumah dan tanah harus atas namaku! Ternyata terlambatnya aku punya anak, ada hikmahnya juga. Andai ada anak, pasti aku tidak punya pikiran dan rencana seperti ini karena fokus pada anak. Benar, Tuhan lebih tahu yang terbaik untukku.

“Gak lama kok. Gak sampe dua Mingguan. Makanya, Sayang ... kamu jangan cemburu sama si Vera. Kasihan dia, ditinggal sama suaminya apalagi itu ... apa namanya? Lagi hamil. Kita harus peduli sama dia, Sayang ....”

Cuih, najis! Harus peduli sama si Verek? Ogah! Aku mengizinkan dia tinggal di rumah bukan karena aku peduli, tapi karena aku ingin tahu kelakuan merek berdua sekaligus memanfaatkan keberadaannya.

“Memangnya aku kurang peduli apa sih, Bang? Aku kan udah nyuruh dia tinggal di rumah ini!” ucapku ketus. Dasar tukang selingkuh? Wanitanya dibela terus.

“Ya, kamu memang sangat baik, Sayang.”

“Ngomong-ngomong suaminya hebat ya, mau jauhan sama istrinya. Bang, kayaknya Abang juga harus kayak dia. Kayak suaminya si Vera! Pergi kerja jadi TKI. Ya dari pada jadi tukang ojek! Kapan kebeli mobil dan tanah? Gantianlah, Bang ....” kataku setengah merengek. Gerakan tangan Bang Dino melambat. Sukurin, menelan omongan sendiri.

“Maksudmu ... kamu nyuruh aku kerja di luar negeri?” tanya Bang Dino memastikan. Tubuhnya kini menghadapku. Kening lelaki yang memegang koas cat mengkerut.

“Iya, Bang. Dulu, Abang sama Vera bilang, kalau laki-laki yang kerja ke luar negeri, sulit lolosnya. Lebih mudah wanita. Itu sih, suaminya Vera, bisa. Aku sangat yakin, Abang pasti bisa! Ya, Bang ya? Enak kok kerja di luar negeri! Beneran!” kataku, mencoba menyemangati Dinosaurus.

Sepertinya memang harus Bang Dino keluar negeri. Kalau dia keluar negeri, aku tidak akan menggunggat cerai. Aku akan memanfaatkan uang hasil kiriman kerjanya. Tidak peduli, nantinya dia selingkuh di sana atau tidak.

Dinosaurus menarik napas panjang, hendak menghapiriku namun aku cegah.

“Bang, ngobrolnya sambil nge-cat aja. Jangan duduk di sini. Kapan kelarnya?” Aku tidak mau kalau malam nanti, kamar ini masih bau cat.

“Iya, Sayang.”

“Terus bagaimana, Bang? Abang mau kan? Nanti aku coba hubungi Bang Yanto deh! Orang yang dulu bantu aku jadi TKW,” ujarku semangat empat lima. Dari pada lihat mereka berdua di sini terus, sangat memuakkan.

“Kamu yakin, mau Abang kerja di luar negeri jadi TKI?”

Ya elah ... Pake nanya segala!

“Yakin, Bang! Seratus persen yakin!” kataku tegas.

“Kalau Abang kerja di luar negeri, kamu di sini bagaimana?” Aku tahu, dia pasti tidak mau. Dinosaurus sedang mencari alasan. Aku akan terus mendesaknya agar mau jadi TKI supaya dia tahu rasanya menjadi babu di negeri orang.

“Gak gimana-gimana. Abang juga waktu aku tinggal gak gimana-gimana. Buktinya, sampai aku pulang lagi, keadaan Abang sehat, malah badannya tambah gemuk, tambah ganteng lagi!”

Puji aja dulu! Paling gak, sampai dia setuju kerja jadi TKI.

“Kalau aku ganteng, kamu gak takut ... kalau banyak cewek sana yang godain Abang?”

Idih ... amit-amit. Jadi nyesel memujinya! Percaya diri amat.

“Nih, Bang ... kalau Abang dasarnya setia, mau digoda seribu wanita juga gak bakalan selingkuh! Beda cerita, kalau Abang dasarnya tukang selingkuh, gak setia! Digoda wanita yang jauh lebih jelek dari aku juga, pasti selingkuh! Digodain si Vera sedikit juga pasti selingkuh. Ya 'kan?”

Aku sengaja menyindirnya. Ingin tahu, Bang Dino mau berkata apa.

“Enggak dong, Sayang ... Abang gak mungkin tergoda sama si Vera. Dia sekarang jelek. Jadi, gak mungkin banget Abang selingkuh sama si Vera."

Belum sempat aku menimpali ucapan Bang Dino. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang berdehem.

"Ehm!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status