Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu!
“Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!”Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto.“Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.”Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat.“Bang?” Panggilku, duduk di sofa.“Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus.“Nama suaminya si Vera siapa, Bang?”Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir.“Su-suami Vera?”“Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?”Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasaran, menunggu jawaban dari lelaki yang dulu amat aku cintai.“Tahu, tahu ... Abang tahu nama suami si Vera,” katanya cepat.“Siapa?”“Fe ... Ferry! Ya, Ferry!”Aku tersenyum miring mendengar jawaban Dinosaurus. Menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Melihat Bang Dino kembali mengaduk-aduk cat.“Memangnya si Vera nikah bulan apa, Bang?”Kalau jawaban pertanyaan ini pasti dijawab jujur.“Kalau nikahnya mah masih baru. Bulan Mei tahun ini,” jawab Bang Dino tanpa beban, tanpa menatapku.Hah? Mei? Kandungannya si Vera sudah besar banget. Ternyata hamil di luar nikah.“Berarti hamil di luar nikah ya, Bang?”Lagi, Bang Dino menghentikkan gerakan tangannya. Ia berdiri, menghela napas panjang. Memandangku dan menganggukkan kepala.“Kayaknya gitu. Sayang, Abang mau nge-cat sekarang. Abang tinggal dulu!”“Aku temani, Bang! Sekalian aku pengen ngobrol-ngobrol. Kita kan udah lama gak ngobrol!” ucapku berjalan di samping Bang Dino yang tersenyum.“Iya, Sayang. Kalau kamu mau temani Abang, Abang senang sekali.”Aku dan Bang Dino masuk ke dalam kamar. Pintu kamar tidak aku tutup. Lau, dengan cekatan, ia mendorong lemari pakaian. Terlihat agak kesulitan, tapi sedikit pun aku enggan membantu.“Kenapa ya, Bang? Badanku masih pegal-pegal? Apa karena perjalanan jauh kemarin?”Kutahu, Bang Dino ingin memintaku untuk membantunya. Sebelum mulut dia bicara, aku menyela lebih dulu.“Oh, badanmu masih pegal? Diurut aja, Sayang ... Bi Rum kan jago ngurut. Kalau kamu diurut, nanti Abang juga pengen diurut. Nih kaki, sakit banget bekas jatuh dari motor tadi.”Enak saja sekalian. Ogah banget.“Gak usahlah, Bang! Nanti aku minum obat saja. Hmm ... Bang, aku masih pengen tanya-tanya soal si Vera.”Bang Dino tampak acuh tak acuh. Tapi aku gak peduli. Aku cuma ingin menguji sejauh mana kejujuran lelaki itu.“Tanya apalagi, Sayang?”“Si Vera suaminya emang kerja apaan sih, Bang? Kok tega banget ya, ninggalin istrinya yang lagi hamil besar gitu,” kataku pura-pura bersimpati akan kondisi Vera. Padahal aslinya, sama sekali tidak peduli.“Hmm ... Bukan tega, Sayang ... Suaminya itu kerja ninggalin dia supaya ... Anu ... Supaya pas si Vera lahiran punya uang! Kalau suaminya gak kerja, nanti si Vera makan sama apa? Makanya suami si Vera itu bela-belain jadi TKI!”Rasanya ingin sekali aku tertawa. Jadi TKI? Kalau memang Bang Dino ada niat ingin pergi jadi TKI, aku akan kabulkan!“Wah, jadi TKI? TKI mana, Bang?” Lagi-lagi aku berpura antusias menanggapi cerita Bang Dino. Lelaki yang tengah meng-cat kamar tampak berpikir.“Malaysia.”“Berapa lama prosesnya, Bang? Abang pasti tahu kan?” Aku terus mendesak Bang Dino agar bercerita lebih banyak tentang si Vera dan suaminya versi Bang Dino.Suami Vera versi Bang Dino namanya Ferry. Suami Vera versi Vera sendiri namanya Dito. Hahahah ... lucu sekali mereka ini. Biarkan saja mereka anggap aku bodoh. Menganggapku mudah dibodohi dan dibohongi, tidak masalah.Terpenting bagiku, segala aset rumah dan tanah harus atas namaku! Ternyata terlambatnya aku punya anak, ada hikmahnya juga. Andai ada anak, pasti aku tidak punya pikiran dan rencana seperti ini karena fokus pada anak. Benar, Tuhan lebih tahu yang terbaik untukku.“Gak lama kok. Gak sampe dua Mingguan. Makanya, Sayang ... kamu jangan cemburu sama si Vera. Kasihan dia, ditinggal sama suaminya apalagi itu ... apa namanya? Lagi hamil. Kita harus peduli sama dia, Sayang ....”Cuih, najis! Harus peduli sama si Verek? Ogah! Aku mengizinkan dia tinggal di rumah bukan karena aku peduli, tapi karena aku ingin tahu kelakuan merek berdua sekaligus memanfaatkan keberadaannya.“Memangnya aku kurang peduli apa sih, Bang? Aku kan udah nyuruh dia tinggal di rumah ini!” ucapku ketus. Dasar tukang selingkuh? Wanitanya dibela terus.“Ya, kamu memang sangat baik, Sayang.”“Ngomong-ngomong suaminya hebat ya, mau jauhan sama istrinya. Bang, kayaknya Abang juga harus kayak dia. Kayak suaminya si Vera! Pergi kerja jadi TKI. Ya dari pada jadi tukang ojek! Kapan kebeli mobil dan tanah? Gantianlah, Bang ....” kataku setengah merengek. Gerakan tangan Bang Dino melambat. Sukurin, menelan omongan sendiri.“Maksudmu ... kamu nyuruh aku kerja di luar negeri?” tanya Bang Dino memastikan. Tubuhnya kini menghadapku. Kening lelaki yang memegang koas cat mengkerut.“Iya, Bang. Dulu, Abang sama Vera bilang, kalau laki-laki yang kerja ke luar negeri, sulit lolosnya. Lebih mudah wanita. Itu sih, suaminya Vera, bisa. Aku sangat yakin, Abang pasti bisa! Ya, Bang ya? Enak kok kerja di luar negeri! Beneran!” kataku, mencoba menyemangati Dinosaurus.Sepertinya memang harus Bang Dino keluar negeri. Kalau dia keluar negeri, aku tidak akan menggunggat cerai. Aku akan memanfaatkan uang hasil kiriman kerjanya. Tidak peduli, nantinya dia selingkuh di sana atau tidak.Dinosaurus menarik napas panjang, hendak menghapiriku namun aku cegah.“Bang, ngobrolnya sambil nge-cat aja. Jangan duduk di sini. Kapan kelarnya?” Aku tidak mau kalau malam nanti, kamar ini masih bau cat.“Iya, Sayang.”“Terus bagaimana, Bang? Abang mau kan? Nanti aku coba hubungi Bang Yanto deh! Orang yang dulu bantu aku jadi TKW,” ujarku semangat empat lima. Dari pada lihat mereka berdua di sini terus, sangat memuakkan.“Kamu yakin, mau Abang kerja di luar negeri jadi TKI?” Ya elah ... Pake nanya segala!“Yakin, Bang! Seratus persen yakin!” kataku tegas.“Kalau Abang kerja di luar negeri, kamu di sini bagaimana?” Aku tahu, dia pasti tidak mau. Dinosaurus sedang mencari alasan. Aku akan terus mendesaknya agar mau jadi TKI supaya dia tahu rasanya menjadi babu di negeri orang.“Gak gimana-gimana. Abang juga waktu aku tinggal gak gimana-gimana. Buktinya, sampai aku pulang lagi, keadaan Abang sehat, malah badannya tambah gemuk, tambah ganteng lagi!”Puji aja dulu! Paling gak, sampai dia setuju kerja jadi TKI.“Kalau aku ganteng, kamu gak takut ... kalau banyak cewek sana yang godain Abang?”Idih ... amit-amit. Jadi nyesel memujinya! Percaya diri amat.“Nih, Bang ... kalau Abang dasarnya setia, mau digoda seribu wanita juga gak bakalan selingkuh! Beda cerita, kalau Abang dasarnya tukang selingkuh, gak setia! Digoda wanita yang jauh lebih jelek dari aku juga, pasti selingkuh! Digodain si Vera sedikit juga pasti selingkuh. Ya 'kan?”Aku sengaja menyindirnya. Ingin tahu, Bang Dino mau berkata apa.“Enggak dong, Sayang ... Abang gak mungkin tergoda sama si Vera. Dia sekarang jelek. Jadi, gak mungkin banget Abang selingkuh sama si Vera."Belum sempat aku menimpali ucapan Bang Dino. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang berdehem."Ehm!"“Reni, masakannya sudah siap tuh!”Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!” Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan. “Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan jug
“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera. “Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.“Minum dulu.”“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan. Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.
“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya. “Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku. Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus. Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.“Iya, Bu
Kudorong bahu Vera agar menjauh dari depan pintu kamar. “Eh, kamu jangan kurang ajar, Reni! Jaga sikapmu!” Beuh, lagi-lagi Ibu mertua membela Vera. Mungkin bagi Ibu Dewi, Vera adalah menantu idaman. Aku sudah terbiasa diabaikan, apalagi jika berkumpul dengan kedua kakak Bang Dino, Bang Doni dan Bang Dodi, keberadaanku sangat tidak dianggap. Ibu lebih senang mengajak dua menantunya yakni Mbak Sarah dan Mbak Tina untuk berbincang. Tak kuhiraukan bentakan Ibu Dewi, memilih masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, menguncinya.“Astaga, Sayang! Abang sampe kaget. Kamu kenapa?” tanya Bang Dino menoleh ke belakang. Bajuku yang agak basah karena sewaktu di dapur membasuh wajah, langsung mengambil pakaian ganti setelah meletakkan segelas jus Mangga. “Aku kesal sama Ibu dan si Vera, Bang! Masa dia bentak-bentak aku gak jelas! ngatain Bang Dino gak punya sopan santun karena ninggalin mereka dan memilih diam di kamar bersamaku!” Lebih baik aku adukan saja sikap Ibu dan Vera. Bang Dino menat
“Kurang ajar!!”“Stop, Vera!” Wow, Bang Dino mencekal pergelangan tangan Vera. Tangan Vera yang hendak menamparku. Cekalan yang kuat membuat si Vera meringis kesakitan. “Lepasin, Bang! Lepasin! Dia sudah keterlaluan! Dia nuduh aku punya suami dua! Padahal suami aku cuma ka---“Mulut Vera langsung dibekap Bang Dino. Kedua matanya melotot.“Aku dan Reni gak peduli siapa suami kamu! Lebih baik kamu diam saja! Jangan mencoba menampar istriku!” Bang Dino terlihat sangat geram. Melihat pembelaan Bang Dino, hatiku tak lantas tersentuh. Mungkin Bang Dino bersikap demikian karena dia sudah dihina Vera. Aku tahu betul sikapnya, Bang Dino paling tak suka ada wanita yang merendahkannya apalagi wanita itu adalah istri sendiri."Dino, lepaskan Vera! Dia lagi hamil besar, Dino! Lepaskan!”Ibu Dewi berusaha melepaskan tangan Bang Dino dari mulut Vera. “Sudahlah, aku malas menghadapi kalian. Bang, berangkat yuk! Jangan lupa, kamar Abang dikunci soalnya ... aku gak mau, ada barang berharga yang hila
“Dino, Reni! Dari mana saja kalian? Jam segini baru pulang!”Lho kok, Ibu mertuaku masih ada di rumah? Duh, pasti karena belum dapat jatah bulanan, makanya Ibu masih ada di rumahku. Wanita itu berjalan ke arah kami.“Mereka habis belanja, Bu.” Vera menjawab, menoleh sinis padaku.“Belanja? Kalian habis belanja?” Kedua mata Ibu Dewi melotot padaku dan Bang Dino. Aku menghela napas berat, membalas tatapannya.“Kalau aku habis belanja memangnya kenapa? belanja juga pake uang aku!” tandasku hendak beranjak, malas meladeni ocehan Ibu.“Eh, kamu mau kemana? Ibu belum selesai bicara!” tukas Ibu. Aku kembali duduk, ibu duduk di sofa satunya bersama Vera. “Kamu dibeliin apa itu, Ver?” tanya Ibu melongok ke dalam isi goodie bag yang dipegang Vera.“Daster doang, Bu! Cuma dua!” jawab Vera acuh tak acuh.“Reni, kamu beliin si Vera daster, ibu mertua sendiri gak dibeliin apa-apa? Gimana sih? Dasar menantu pelit!”Belum apa-apa udah menghakimi.“Memangnya aku tahu kalau Ibu belum pulang? Kalau Ibu
“Gak mau! Enak saja aku disuruh bantuin bikin cilok. Ibu aja yang bantu, kan Ibu yang dapat tiga puluh persen dari hasil penjualan rumah ini!” Aku tersenyum mendengar jawaban Vera. Cerdas juga dia. Tapi, aku harus lebih cerdas. Gak boleh kalah sama mereka. Aku harus mencari tahu keberadaan surat-surat itu sekarang. Pembicaraan mereka tampaknya masih lama. Pintu dapur kukunci. Membiarkan mereka ada di halaman belakang. Paling tidak sampai sore nanti. Tak lupa, mengunci jendela supaya mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah. Setelahnya masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Bang Dino. Mencari surat-surat tersebut. Seingatku, Bang Dino selalu menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga di bawah tempat tidur. Tidak berpikir lama, mtersebu ke kolong ranjang. Benar, ada tas kantor yang berada di sana. Merayap masuk ke dalam kolong ranjang, mengambil tas tersebut. Tas ini harus dipindahkan ke dalam kamarku. Setelah itu, mengunci pintu kamar. Bergegas keluar rumah, mengunci pintu de
“Aku juga gak tahu, Ren. Berarti selama ini suami kamu udah dijebak sama si Vera. Ih, aku gak nyangka kalau Vera sejahat itu.”Sepemikiran denganku. Aku juga gak nyangka kalau Vera tega berbohong pada Bang Dino. “Kalau Bang Dino sudah mau tanggung jawab apalagi sampai menikahinya, ya berarti dia sudah melakukan hubungan suami istri. Makanya Bang Dino merasa menghamili si Vera.”Meskipun ingin menggugat cerai Bang Dino, tetapi jujur saja masih ada rasa cemburu. Ah, aku ini apa? Sudah disakiti masih saja bucin. Aku harus berpikir jernih. Lelaki yang telah mengkhianati cintaku tak sepantasnya dipertahankan.“Sabar, Ren. Suatu saat kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu. Terus, rencana kamu selanjutnya bagaimana?”Windy mengelus punggungku, aku menganggukkan kepala.“Ya itu, Win. Aku ingin mencari pengacara yang mau membantuku mengubah nama kepemilikan sertifikat rumah dan tanah. Paling gak, kalau aku sudah resmi jadi janda nanti, aku masih punya aset yang nantinya bisa dijual buat modal