Share

Bab 3

“Ren, ini minumannya.” Vera meletakkan segelas jus.

“Terima kasih. Vera, kamu gak pulang dulu ambil pakaian?”

“Nanti saja. Aku mau istirahat dulu. Semalam gak bisa tidur nyenyak. Di kontrakan banyak nyamuk.”

Hem, banyak gaya! Banyak nyamuk jadi keluhan.

“Oh ya, Ver. Kamu masak gih! Nih, uangnya. Kamu beli sayuran di warung. Di seberang sana, tadi aku lihat ada warung sayur.” Kuberikan uang lima puluh ribu. Vera melihat selembar uang itu dengan lekat.

“Gak salah, duitnya cuma segini?”

“Ya gak lah ... udah, pokoknya kamu cukup-cukupin aja.”

Bibir Vera mengerucut. Dia pasti kesal aku kasih uang segitu. Ah, bodo amat. Aku yakin, selama ini Vera juga menikmati uang hasil keringatku yang dikirim ke rekening Bang Dino. Sekarang saatnya aku balaskan semua perbuatan kalian berdua.

“Pelit banget sih kamu, Ren!”

Menoleh cepat, memicingkan kedua mata. Aku berdiri, mensejajari tubuhnya.

“Kamu bilang apa? Aku pelit?" tantangku, menatapnya lekat.

Wanita tidak tahu diri! Tidak tahu terima kasih! Sudah bagus, aku kasih tempat tinggal di sini, masih saja bilang aku pelit.

“Ya habisnya, kamu cuma kasih aku duit segini? Mana cukup lah ....” segera, kuambil kembali uang lima puluh ribuan itu dari tangannya. Vera terkejut, kedua matanya membeliak.

“Kalau kamu gak mau terima uang ini, gak apa-apa. Gak usah kamu masak! Aku bisa kok makan di luar. Misalnya ... di restoran. Minggir kamu!”

Sengaja, aku ancam wanita yang telah merebut suamiku. dia pikir, aku akan mengikuti segala maunya? oh, tidaaak ... aku bukanlah Reni yang dulu! Reni sekarang tidak sebodoh dulu yang terlalu percaya pada Vera dan Bang Dino.

“Ren, Reni! Aku ikut, ya? Aku juga lapar. Kasihan calon bayiku dari semalam belum makan apa-apa.”

Ck, pembohong! Vera pikir aku akan kasihan padanya? Dia pikir aku akan mengajaknya makan di restoran? Cuih, tidak sudi!

“Tadi aku suruh masak gak mau. Katanya duit lima puluh ribu kurang! Memangnya kamu mau makan sama daging Sapi? Daging Ayam? Aku cuma minta kamu beli sayuran. Duit lima puluh ribu pasti cukup kok! Sudahlah, aku mau pergi sendiri. Nanti, kalau Bang Dino sudah balik, suruh dia langsung nge-cat kamarku!" perintahku tegas. Vera menggelengkan kepala, menarik lenganku.

"Eeehh ... jangan pegang-pegang aku! Apa sih maumu?” Aku semakin kesal dengan sikap Vera yang agak kasar. Kalau dia tidak hamil, aku akan membalasnya.

“Oke, oke. Aku mau belanja, aku mau masak. Mana uang tadi?” sebelah tangan Vera menengadah, aku menghela napas panjang. akhirnya si Vera mau juga aku suruh masak.

“Yakin, kamu mau belanja dengan uang segini? Yakin, mau masakin aku?”

“Iya! Bawel banget. Cepet, ke siniin uangnya!”

“Dari tadi ke! Nih, uangnya!”

Vera langsung melesat keluar rumah. Aku tersenyum puas sudah membalas rasa sakit yang mereka torehkan padaku. Baru saja hendak brjalan, suara Bang Dino terdengar. Rupanya laki-laki itu sudah membeli beberapa ember cat dan juga koas. Aku berjalan menghampiri lelaki yang tengah mengangkat dua ember kecil cat.

“Sayang, Abang udah beli cat-nya nih! Tolong, buatin Abang kopi dulu, ya?”

“Iya, Bang. Sebentar ya, aku mau lihat-lihat warna cat-nya dulu. Takutnya salah.”

Walaupun Bang Dino sudah menyakitiku, mengkhianati pernikahan kami, aku harus tetap menuruti keingianannya tapi kalau urusan tempat tidur, aku tak mau. Entahlah, mengingat perselingkuhan mereka aku jadi jijik. Setelah memastikan warna cat-nya benar, aku membuatkan kopi.

“Bang, kopinya.” Meletakkan kopi di atas meja, duduk di sofa bersebrangan dengan Bang Dino.

“Terima kasih, Sayang.”

Bang Dino langsung meminum kopi yang aku hidangkan.

“Sayang, kayaknya kita harus beli mobil. Abang tadi jatuh dari motor gara-gara menghindari Nenek-nenek yang nyebrang jalan,” kata Bang Dino pilu. Belum apa-apa azab mulai kamu terima, Bang.

“Motornya gak kenapa-napa, Bang? Motornya gak ada yang lecet ‘kan? Aduh, Abang ... bukannya hati-hati bawa motornya. Kalau masuk bengkel, nyervisnya pasti mahal.” tanyaku panik, berjingkat keluar rumah, memeriksa sepeda motor.

Aku tahu, harusnya lebih mengkhawatirkan kondisi Bang Dino dari pada motor. Mungkin, kalau dia masih suami yang setia, tidak berkhianat, aku akan mencemaskannya. Sekarang? Jangankan cemas, justru aku bahagia karena Bang Dino kena musibah. kalau begini, aku merasa jadi orang yang jahat. astaghfirullah ....

“Sayang, motornya gak kenapa-napa. Yang lecet kaki Abang. Tuh lihat!” Bang Dino menunjukkan lututnya yang lecet.

“Coba aku lihat, Bang.” Memegang luka di lutut Bang Dino.

“Ini, Bang?”

“Iya.”

“Sakit gak?” Kutekan pelan.

“Enggak.”

“Kalau gini?”

“Awww! Aw, Aw ... Ren, kenapa kamu tekan? Sakit tahu!” Bang Dino membentakku.

"Tadi katanya gak sakit? Ya udah, nanti aku suruh si Vera beli obat. Dikasih betadine juga pasti sembuh!”

“Ada apa, Mas?” Vera tiba-tiba datang membawa sayuran. Berdiri di samping Bang Dino. Pasti akan terjadi adegan yang lebay.

“Aku tadi jatuh dari motor, Ver.”

“Apa? Jatuh dari motor?” Vera terkejut, aku bersidekap, memutar bola mata malas.

“Iya. Nih, kakiku sampai lecet-lecet. Sakit bangeeet ....”

Cuih, memuakkan. Muka Dinosaurus memuakkan!

Vera membungkukkan badan.

“Eh, jangan dipegang! Sakit tahu!” sentak Bang Dino saat Vera mau pegang luka itu.

“Orang mau lihat doang, Mas! Lagian cuma lecet begitu, pake ngejerit segala. Aku pikir, kena pisau atau dibacok orang!”

Astaga, ternyata omongan si Vera lebih pedas. Aku menahan tawa, memalingkan muka agar mereka tidak melihat.

“Kamu ini, Ver. Tega sekali ngomong kayak gitu. Memangnya kamu mau kalau aku dibacok orang?” Kedua mata Bang Dino kayak mau loncat. Aku pergi, meninggalkan perseteruan mereka. Bodo amat ah, mau berantem sampai kiamat juga, aku tidak peduli.

Tiba-tiba teringat sesuatu. Vera kan harus memasak. Kalau mereka masih berantem, kapan masaknya. Sudah masuk ke dalam rumah, aku segera membalikkan badan. Berjalan keluar.

“Vera, cepet masak!”

“Iya, Ren! Sebentar!”

Vera tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Lalu, Bang Dino berjalan menghampiriku.

“Bang, cepat obatin lukanya. Malam ini, aku ingin kamar itu selesai di cat!” kataku tegas. Bang Dino melongo, mulutnya menganga lebar.

“Apa? Malam ini? Jangan malam ini selesainya dong, Sayang. Kasih Abang waktu dua hari!”

“Ck, ya udah!”

Kutinggalkan Bang Dino yang meringis kesakitan. Berjalan cepat menuju dapur, melihat Vera memasak.

“Vera, kamu bikin sayur apa sih? Aromanya sedap banget!" Vera menoleh, tersenyum.

“Sop jamur. Kamu pasti suka, Ren. Soalnya ... Mas Di ... Mas Di-to suka banget sama sop jamur buatanku,” katanya yang aku duga adalah dusta. Aku yakin, sebenarnya si Vera mau sebut Mas Dino. Halah, Mas-Mas-Mas ... dulu aja, sebelum aku jadi TKW, dia panggilnya Dino doang. Sekarang jadi Mas?

“Oh, nama suami kamu Dito? Kok agak mirip nama Bang Dino, ya? Beda di huruf ketiganya doang. Apa jangan-jangan ... suamimu, suamiku juga. Hahahaha ....”

Kulihat wajah Vera cemas. Dia jadi salah tingkah. Dasar sahabat pengkhianat.

“Hm ... Ver, kamu sejak kapan panggil Bang Dino jadi Mas Dino? Perasaan dulu, kamu panggilnya Dino doang! Malah kan ... usiamu setahun lebih tua dari dia.”

Vera semakin salah tingkah. Pasti bingung mau jawab apa. Aku dengan sabar menunggu jawabnya sambil menatapnya lekat.

“Oh ... itu ... i-itu gara-gara ... hmm ... disuruh suamiku! Ya, disuruh suamiku supaya panggil suamimu Mas Dino. Katanya biar sopan. Begitu.”

Aku tersenyum miring mendengar jawaban Vera. Jawabanya boleh juga.

“Aku jadi penasaran deh, sama suami kamu. Kamu punya handphone ‘kan?”

“Punya.”

“Boleh gak, aku lihat? Bukan pengen lihat apa-apa. Cuma pengen lihat foto Mas Dino ... eh, maksudku Mas Dito. Pasti ada foto dia di hapemu ‘kan? Katamu ... Kalian sering LDR. Coba dong lihat?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status