“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.
Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera.“Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.“Minum dulu.”“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan.Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.“Aku gak tahu, bisa maafin dia atau tidak. Ren, aku ... aku mau istirahat dulu.” Aku mengangguk, membiarkan Vera pergi ke kamarnya.Dari pada bengong, lebih baik aku hampiri Bang Dino.Masuk kamar, ternyata lelaki itu meneruskan mengecat kamarku.“Bang?”“Iya, Sayang?”Duduk di sisi ranjang, memerhatikan Bang Dino.“Abang kok berani banget sih, menampar istri orang? Kalau si Vera laporan sama suaminya bagaimana? Kalau suaminya Vera gak terima sama perbuatan Abang, terus Abang dilaporkan polisi, terus Abang di penjara, bagaimana?”Kutunjukkan kekhawatiran selayak seorang istri terhadap suaminya. Bang Dino menghentikan gerakannya beberapa menit, kemudian melanjutkannya lagi.“Abang gak peduli, Sayang. Tapi, Abang yakin, dia gak akan berani lapor sama suaminya! Misalnya si Vera laporan, suami dia pasti gak percaya kalau Abang menamparnya tanpa alasan. Lagian, gak sopan sekali dia menghina Abang!” Suara Bang Dino terdengar masih kesal. Aku menghela napas berat.“Ya sudah kalau begitu.”Baru saja hendak beranjak, suara bel terdengar.“Kayaknya ada tamu, Bang. Siapa ya?”“Coba kamu lihat dulu. Tapi, kalau orang yang minta sumbangan, jangan dibukain pintu!”Ternyata penyakit Bang Dino masih ada. Penyakit pelit!“Iya, Bang.”Keluar kamar, menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, menyingkap gorden. Kedua mataku memicing melihat siapa yang datang.Ternyata ... ibu mertuaku, ibu Dewi.Astaghfirullah ... bagaimana ini? Mau apa Ibu ke sini? Apa jangan-jangan ... Ibu sudah tahu kalau aku sudah pulang ke tanah air?Aku tak langsung membuka pintu, kembali masuk kamar.“Bang, Abang!”“Siapa yang datang, Sayang?”“Ibumu, Bang. Abang bilang ya, kalau aku sudah pulang dari Taiwan?”Bang Dino menoleh, menggelengkan kepala.“Enggak. Abang gak bilang. Abang belum sempat telepon Ibu."Sejenak, aku dan Bang Dino terdiam.“Oh, Abang baru ingat,” seru Bang Dino seraya tersenyum.“Ingat apa, Bang?” tanyaku penasaran. Apa mungkin selama aku bekerja menjadi TKW, Ibu mertua sering datang ke sini?“Tiap tanggal delapan, Ibu emang suka ke sini. Biasa ... minta jatah bulanan. Ya udah, kamu kasih gih! Ibu cuma minta dua juta kok.”Dia bilang cuma minta dua juta? Bagiku, dua juta perbulan sangat banyak. Keterlaluan! Mereka ternyata menjadikanku sapi perah.“Abang ngasih uang ke Ibu pake uang hasil kirimanku?” tanyaku memastikan.“Iya. Pake uang dari mana lagi, Sayang? Kamu tahu gak, semenjak Abang kasih Ibu uang, Ibu jadi baik sama Abang. Udah gak ngehina Abang lagi.”Ya ampun, pantas saja rumah ini belum sepenuhnya rampung. Gerbang rumah saja belum selesai. Ternyata uang yang aku kirim diberikan juga buat Ibu mertua. Bukan aku pelit, harusnya jangan dikasih segitu.“Oh, jadi begitu. Berarti gak usah aku bukain pintu,” kataku kesal. Meski aku tahu tidak sopan, tapi biarlah, sudah terlanjur."Kok gak dibukain pintu? Kenapa?”“Tadi kan Abang bilang, kalau ada orang yang minta sumbangan jangan dibukain pintu. Kalau emang kedatangan ibu mau minta jatah uang, sama juga minta sumbangan. Ya udah jangan dibukain pintu!”Mereka keterlaluan! Menyuruhku kerja di luar negeri, aku banting tulang dari jam empat subuh sampai jam delapan malam demi memperbaiki perekonomian rumah tangga kami, sedangkan mereka? Enak-enakan menghamburkan uang yang aku kirim. Aku gak mau! Aku bukan orang yang kebanyakan uang! Aku mendapatkan uang banyak, karena kerja keras! Sangat kerja keras!“Sayang ... kamu kok gitu sih? Kasihan Ibu ... jauh-jauh datang ke sini, masa gak dikasih uang?” Bang Dino berusaha memegang kedua bahuku, tapi aku tepis.“Ya udah, aku temuin Ibu. Abang lanjut nge-cat aja!”Bang Dino tersenyum mendengar jawabanku. Tapi, aku tidak akan memberikan uang sebesar yang biasa Bang Dino berikan sebelumnya.Keluar kamar, berjalan ke depan, membuka pintu.“Reni? Kamu kok ... sudah pulang? Ah, jangan-jangan kamu buat masalah di sana ya? Dasar ... istri dan menantu gak berguna!”Begitulah ibu mertuaku! Tidak ingat kalau uang yang diambil dari Bang Dino adalah hasil jerih payahku. Tetapi, lihat gayanya!“Kalau aku Istri dan menantu gak berguna, lalu Ibu mau ngapain ke sini?”“Lho, kamu lupa? Ibu ke sini mau menemui Dino! Dino itu anak Ibu! Mana dia? Minggir kamu!”Kubiarkan Ibu mertua masuk ke dalam rumah. Menggelengkan kepala, tak habis pikir melihat tingkah polah ibu. Duh, rasanya aku sudah tidak sabar ingin secepatnya bercerai dengan Bang Dino.“Dino ... Dino ... di mana kamu? Dinooo ....” suara ibu membahana ke sudut ruangan. Menit berikutnya, Bang Dino keluar dari kamar. Tergopoh-gopoh menemui ibu.“Ibu? Ibu datang ke sini kok gak bilang aku dulu?”Vera? Ternyata Vera cukup dekat dengan Ibu. Aku harus tahu apa yang mereka rencanakan.“Bang, aku mau keluar dulu!” teriakku tanpa ingin menghampiri Ibu, Bang Dino dan Vera.“Iya, Sayang. Hati-hati.”Bergegas, Mengunci pintu kamar yang dicat bang Dino, lalu keluar rumah. Aku harus bisa meyakinkan mereka kalau aku tidak ada di rumah supaya pembicaraan ketiganya tidak bisik-bisik.Mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Aku keluar rumah, berjalan ke arah samping rumah. Di samping rumah sebelah kanan, ada teras dan juga kolam ikan yang belum selesai. Merapatkan tubuh, mengintip mereka dari jendela kaca berukuran panjang minimalis. Dari sini, tanpa diketahui dapat kudengar obrolan mereka bertiga. Tak lupa, mengeluarkan handphone, memvideokan percakapan antara Dinosaurus, Vera dan Bu Dewi.“Bu, kayaknya si Reni sudah pergi.” Bang Dino mengawali pembicaraan. Untung saja, posisi jendela kaca ini cukup strategis untuk menguping obrolan mereka.“Baguslah. Dino, Vera, kenapa kalian gak kasih tahu Ibu kalau Reni sudah pulang? Itu dia, kenapa pulang sekarang sih?”Dari dulu, Ibu mertua memang tidak pernah suka padaku.“Aku dan Vera juga kaget waktu dia tiba-tiba pulang.”“Dia tahu dong, kalau kalian ... sudah nikah?”Aku memejamkan kedua mata mendengar fakta selanjutnya. Tidak kusangka ternyata menantu idaman Ibu wanita seperti Vera.“Enggak, Bu! Si Reni kan bodoh, dia itu ... mudah sekali kami bodohi. Ya kan, Mas?”Kulihat Bang Dino tak menanggapi ucapan Vera. Lelaki itu melengoskan wajah ke arah lain.“Dino, kamu kenapa? Kayak lagi marah sama istrimu?”“Iya, Bu. Mas Dino memang lagi marah sama aku. Bahkan tadi, di depan si Reni, Mas Dino tega menamparku, Bu.” Vera memasang wajah sedih.“Aku menampar karena kamu berani menghinaku, verek!”PLAAAK!Aku terhenyak melihat Ibu menampar keras pipi Bang Dino.“Ibu kenapa menamparku?”“Tamparan itu balasan karena kamu sudah berani menampar Vera!”Lho kok? Ibu jadi lebih membela Vera dari pada anaknya sendiri?“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya. “Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku. Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus. Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.“Iya, Bu
Kudorong bahu Vera agar menjauh dari depan pintu kamar. “Eh, kamu jangan kurang ajar, Reni! Jaga sikapmu!” Beuh, lagi-lagi Ibu mertua membela Vera. Mungkin bagi Ibu Dewi, Vera adalah menantu idaman. Aku sudah terbiasa diabaikan, apalagi jika berkumpul dengan kedua kakak Bang Dino, Bang Doni dan Bang Dodi, keberadaanku sangat tidak dianggap. Ibu lebih senang mengajak dua menantunya yakni Mbak Sarah dan Mbak Tina untuk berbincang. Tak kuhiraukan bentakan Ibu Dewi, memilih masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, menguncinya.“Astaga, Sayang! Abang sampe kaget. Kamu kenapa?” tanya Bang Dino menoleh ke belakang. Bajuku yang agak basah karena sewaktu di dapur membasuh wajah, langsung mengambil pakaian ganti setelah meletakkan segelas jus Mangga. “Aku kesal sama Ibu dan si Vera, Bang! Masa dia bentak-bentak aku gak jelas! ngatain Bang Dino gak punya sopan santun karena ninggalin mereka dan memilih diam di kamar bersamaku!” Lebih baik aku adukan saja sikap Ibu dan Vera. Bang Dino menat
“Kurang ajar!!”“Stop, Vera!” Wow, Bang Dino mencekal pergelangan tangan Vera. Tangan Vera yang hendak menamparku. Cekalan yang kuat membuat si Vera meringis kesakitan. “Lepasin, Bang! Lepasin! Dia sudah keterlaluan! Dia nuduh aku punya suami dua! Padahal suami aku cuma ka---“Mulut Vera langsung dibekap Bang Dino. Kedua matanya melotot.“Aku dan Reni gak peduli siapa suami kamu! Lebih baik kamu diam saja! Jangan mencoba menampar istriku!” Bang Dino terlihat sangat geram. Melihat pembelaan Bang Dino, hatiku tak lantas tersentuh. Mungkin Bang Dino bersikap demikian karena dia sudah dihina Vera. Aku tahu betul sikapnya, Bang Dino paling tak suka ada wanita yang merendahkannya apalagi wanita itu adalah istri sendiri."Dino, lepaskan Vera! Dia lagi hamil besar, Dino! Lepaskan!”Ibu Dewi berusaha melepaskan tangan Bang Dino dari mulut Vera. “Sudahlah, aku malas menghadapi kalian. Bang, berangkat yuk! Jangan lupa, kamar Abang dikunci soalnya ... aku gak mau, ada barang berharga yang hila
“Dino, Reni! Dari mana saja kalian? Jam segini baru pulang!”Lho kok, Ibu mertuaku masih ada di rumah? Duh, pasti karena belum dapat jatah bulanan, makanya Ibu masih ada di rumahku. Wanita itu berjalan ke arah kami.“Mereka habis belanja, Bu.” Vera menjawab, menoleh sinis padaku.“Belanja? Kalian habis belanja?” Kedua mata Ibu Dewi melotot padaku dan Bang Dino. Aku menghela napas berat, membalas tatapannya.“Kalau aku habis belanja memangnya kenapa? belanja juga pake uang aku!” tandasku hendak beranjak, malas meladeni ocehan Ibu.“Eh, kamu mau kemana? Ibu belum selesai bicara!” tukas Ibu. Aku kembali duduk, ibu duduk di sofa satunya bersama Vera. “Kamu dibeliin apa itu, Ver?” tanya Ibu melongok ke dalam isi goodie bag yang dipegang Vera.“Daster doang, Bu! Cuma dua!” jawab Vera acuh tak acuh.“Reni, kamu beliin si Vera daster, ibu mertua sendiri gak dibeliin apa-apa? Gimana sih? Dasar menantu pelit!”Belum apa-apa udah menghakimi.“Memangnya aku tahu kalau Ibu belum pulang? Kalau Ibu
“Gak mau! Enak saja aku disuruh bantuin bikin cilok. Ibu aja yang bantu, kan Ibu yang dapat tiga puluh persen dari hasil penjualan rumah ini!” Aku tersenyum mendengar jawaban Vera. Cerdas juga dia. Tapi, aku harus lebih cerdas. Gak boleh kalah sama mereka. Aku harus mencari tahu keberadaan surat-surat itu sekarang. Pembicaraan mereka tampaknya masih lama. Pintu dapur kukunci. Membiarkan mereka ada di halaman belakang. Paling tidak sampai sore nanti. Tak lupa, mengunci jendela supaya mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah. Setelahnya masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Bang Dino. Mencari surat-surat tersebut. Seingatku, Bang Dino selalu menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga di bawah tempat tidur. Tidak berpikir lama, mtersebu ke kolong ranjang. Benar, ada tas kantor yang berada di sana. Merayap masuk ke dalam kolong ranjang, mengambil tas tersebut. Tas ini harus dipindahkan ke dalam kamarku. Setelah itu, mengunci pintu kamar. Bergegas keluar rumah, mengunci pintu de
“Aku juga gak tahu, Ren. Berarti selama ini suami kamu udah dijebak sama si Vera. Ih, aku gak nyangka kalau Vera sejahat itu.”Sepemikiran denganku. Aku juga gak nyangka kalau Vera tega berbohong pada Bang Dino. “Kalau Bang Dino sudah mau tanggung jawab apalagi sampai menikahinya, ya berarti dia sudah melakukan hubungan suami istri. Makanya Bang Dino merasa menghamili si Vera.”Meskipun ingin menggugat cerai Bang Dino, tetapi jujur saja masih ada rasa cemburu. Ah, aku ini apa? Sudah disakiti masih saja bucin. Aku harus berpikir jernih. Lelaki yang telah mengkhianati cintaku tak sepantasnya dipertahankan.“Sabar, Ren. Suatu saat kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu. Terus, rencana kamu selanjutnya bagaimana?”Windy mengelus punggungku, aku menganggukkan kepala.“Ya itu, Win. Aku ingin mencari pengacara yang mau membantuku mengubah nama kepemilikan sertifikat rumah dan tanah. Paling gak, kalau aku sudah resmi jadi janda nanti, aku masih punya aset yang nantinya bisa dijual buat modal
“Kamu jahat banget sih, Ren? Masa aku tinggal di kontrakan petak? Aku kan lagi hamil ....” Idih, memangnya aku peduli? Mengingat kehamilan Vera, aku jadi penasaran sebenarnya siapa laki-laki yang menghamilinya? Bang Dino jelas bukan! karena ia sudah divonis mandul. Kalau begitu, kemungkinan besar lelaki lain, Bang Dino hanya jadi tumbalnya saja. Kasihan .... “Itu urusanmu! Bukan urusanku!” kataku membuka pintu rumah, masuk lebih dulu dari mereka.“Sayang, memangnya kamu mau beli apartemen di mana? Nanti kalau uangnya masih ada sisa, kita beli mobil, ya?” Percaya diri sekali si Dinosaurus. Dia pikir, aku masih mau menjadi istrinya? Oh tidak. Aku tak Sudi menjalani rumah tangga yang dipenuhi kebohongan.“Gimana nanti aja, Bang!” jawabku sambil membuka kunci pintu kamar, lalu menutupnya kembali.Brukh!Aku menghela napas berat, melihat ketiga manusia tak tahu diri itu masih ada di rumah ini. Aku pikir, Ibu akan pulang. Ternyata ....Sudahlah, lebih baik sekarang aku mandi, lalu memerik
“Gak mungkin, Sayang ... gak mungkin Abang melakukan itu. Cinta Abang Cuma buat kamu, sayang Abang Cuma buat kamu, istri Abang ya Cuma kamu, Sayang ....”Ck, dasar buaya! Pembohong! Mulut ini rasanya sudah sangat gatal ingin memberitahu mereka kalau aku sudah tahu pengkhianatan Dinosaurus dan si Vera.“Sorry, Bang. Aku gak percaya. Oh ya, Bu ... Ibu malam ini mau nginap di sini? Mau tidur di mana? Mau tidur di kamar pembantu bareng si Vera?” Kedua tangan Vera mengepal kuat. Sorot matanya dipenuhi kemarahan. Aku tahu, dia pasti sangat marah mendengar gombalan cinta Dinosaurus. Ditambah aku yang sengaja menyindirnya.“Ibu gak akan pulang kalau kamu belum memberikan jatah bulanan ibu tiga juta!” tandas ibu tanpa tahu malu. Aku mencebik, memalingkan muka."Tiga juta? Tiga ratus ribu saja gak akan aku berikan! Kalau Ibu mau minta uang, minta saja sama Bang Dino!”“Sayang, Abang uang dari mana? Uang dan ATM Abang kan udah diambil kamu.”Aku memutar bola mata malas, mendengar alasan yang dik