Share

Bab 6

“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.

Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.

“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”

Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera.

“Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.

“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”

Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.

“Minum dulu.”

“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan.

Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.

“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.

“Aku gak tahu, bisa maafin dia atau tidak. Ren, aku ... aku mau istirahat dulu.” Aku mengangguk, membiarkan Vera pergi ke kamarnya.

Dari pada bengong, lebih baik aku hampiri Bang Dino.

Masuk kamar, ternyata lelaki itu meneruskan mengecat kamarku.

“Bang?”

“Iya, Sayang?”

Duduk di sisi ranjang, memerhatikan Bang Dino.

“Abang kok berani banget sih, menampar istri orang? Kalau si Vera laporan sama suaminya bagaimana? Kalau suaminya Vera gak terima sama perbuatan Abang, terus Abang dilaporkan polisi, terus Abang di penjara, bagaimana?”

Kutunjukkan kekhawatiran selayak seorang istri terhadap suaminya. Bang Dino menghentikan gerakannya beberapa menit, kemudian melanjutkannya lagi.

“Abang gak peduli, Sayang. Tapi, Abang yakin, dia gak akan berani lapor sama suaminya! Misalnya si Vera laporan, suami dia pasti gak percaya kalau Abang menamparnya tanpa alasan. Lagian, gak sopan sekali dia menghina Abang!” Suara Bang Dino terdengar masih kesal. Aku menghela napas berat.

“Ya sudah kalau begitu.”

Baru saja hendak beranjak, suara bel terdengar.

“Kayaknya ada tamu, Bang. Siapa ya?”

“Coba kamu lihat dulu. Tapi, kalau orang yang minta sumbangan, jangan dibukain pintu!”

Ternyata penyakit Bang Dino masih ada. Penyakit pelit!

“Iya, Bang.”

Keluar kamar, menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, menyingkap gorden. Kedua mataku memicing melihat siapa yang datang.

Ternyata ... ibu mertuaku, ibu Dewi.

Astaghfirullah ... bagaimana ini? Mau apa Ibu ke sini? Apa jangan-jangan ... Ibu sudah tahu kalau aku sudah pulang ke tanah air?

Aku tak langsung membuka pintu, kembali masuk kamar.

“Bang, Abang!”

“Siapa yang datang, Sayang?”

“Ibumu, Bang. Abang bilang ya, kalau aku sudah pulang dari Taiwan?”

Bang Dino menoleh, menggelengkan kepala.

“Enggak. Abang gak bilang. Abang belum sempat telepon Ibu."

Sejenak, aku dan Bang Dino terdiam.

“Oh, Abang baru ingat,” seru Bang Dino seraya tersenyum.

“Ingat apa, Bang?” tanyaku penasaran. Apa mungkin selama aku bekerja menjadi TKW, Ibu mertua sering datang ke sini?

“Tiap tanggal delapan, Ibu emang suka ke sini. Biasa ... minta jatah bulanan. Ya udah, kamu kasih gih! Ibu cuma minta dua juta kok.”

Dia bilang cuma minta dua juta? Bagiku, dua juta perbulan sangat banyak. Keterlaluan! Mereka ternyata menjadikanku sapi perah.

“Abang ngasih uang ke Ibu pake uang hasil kirimanku?” tanyaku memastikan.

“Iya. Pake uang dari mana lagi, Sayang? Kamu tahu gak, semenjak Abang kasih Ibu uang, Ibu jadi baik sama Abang. Udah gak ngehina Abang lagi.”

Ya ampun, pantas saja rumah ini belum sepenuhnya rampung. Gerbang rumah saja belum selesai. Ternyata uang yang aku kirim diberikan juga buat Ibu mertua. Bukan aku pelit, harusnya jangan dikasih segitu.

“Oh, jadi begitu. Berarti gak usah aku bukain pintu,” kataku kesal. Meski aku tahu tidak sopan, tapi biarlah, sudah terlanjur.

"Kok gak dibukain pintu? Kenapa?”

“Tadi kan Abang bilang, kalau ada orang yang minta sumbangan jangan dibukain pintu. Kalau emang kedatangan ibu mau minta jatah uang, sama juga minta sumbangan. Ya udah jangan dibukain pintu!”

Mereka keterlaluan! Menyuruhku kerja di luar negeri, aku banting tulang dari jam empat subuh sampai jam delapan malam demi memperbaiki perekonomian rumah tangga kami, sedangkan mereka? Enak-enakan menghamburkan uang yang aku kirim.

Aku gak mau! Aku bukan orang yang kebanyakan uang! Aku mendapatkan uang banyak, karena kerja keras! Sangat kerja keras!

“Sayang ... kamu kok gitu sih? Kasihan Ibu ... jauh-jauh datang ke sini, masa gak dikasih uang?” Bang Dino berusaha memegang kedua bahuku, tapi aku tepis.

“Ya udah, aku temuin Ibu. Abang lanjut nge-cat aja!”

Bang Dino tersenyum mendengar jawabanku. Tapi, aku tidak akan memberikan uang sebesar yang biasa Bang Dino berikan sebelumnya.

Keluar kamar, berjalan ke depan, membuka pintu.

“Reni? Kamu kok ... sudah pulang? Ah, jangan-jangan kamu buat masalah di sana ya? Dasar ... istri dan menantu gak berguna!”

Begitulah ibu mertuaku! Tidak ingat kalau uang yang diambil dari Bang Dino adalah hasil jerih payahku. Tetapi, lihat gayanya!

“Kalau aku Istri dan menantu gak berguna, lalu Ibu mau ngapain ke sini?”

“Lho, kamu lupa? Ibu ke sini mau menemui Dino! Dino itu anak Ibu! Mana dia? Minggir kamu!”

Kubiarkan Ibu mertua masuk ke dalam rumah. Menggelengkan kepala, tak habis pikir melihat tingkah polah ibu. Duh, rasanya aku sudah tidak sabar ingin secepatnya bercerai dengan Bang Dino.

“Dino ... Dino ... di mana kamu? Dinooo ....” suara ibu membahana ke sudut ruangan. Menit berikutnya, Bang Dino keluar dari kamar. Tergopoh-gopoh menemui ibu.

“Ibu? Ibu datang ke sini kok gak bilang aku dulu?”

Vera? Ternyata Vera cukup dekat dengan Ibu. Aku harus tahu apa yang mereka rencanakan.

“Bang, aku mau keluar dulu!” teriakku tanpa ingin menghampiri Ibu, Bang Dino dan Vera.

“Iya, Sayang. Hati-hati.”

Bergegas, Mengunci pintu kamar yang dicat bang Dino, lalu keluar rumah. Aku harus bisa meyakinkan mereka kalau aku tidak ada di rumah supaya pembicaraan ketiganya tidak bisik-bisik.

Mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Aku keluar rumah, berjalan ke arah samping rumah. Di samping rumah sebelah kanan, ada teras dan juga kolam ikan yang belum selesai. Merapatkan tubuh, mengintip mereka dari jendela kaca berukuran panjang minimalis. Dari sini, tanpa diketahui dapat kudengar obrolan mereka bertiga. Tak lupa, mengeluarkan handphone, memvideokan percakapan antara Dinosaurus, Vera dan Bu Dewi.

“Bu, kayaknya si Reni sudah pergi.” Bang Dino mengawali pembicaraan. Untung saja, posisi jendela kaca ini cukup strategis untuk menguping obrolan mereka.

“Baguslah. Dino, Vera, kenapa kalian gak kasih tahu Ibu kalau Reni sudah pulang? Itu dia, kenapa pulang sekarang sih?”

Dari dulu, Ibu mertua memang tidak pernah suka padaku.

“Aku dan Vera juga kaget waktu dia tiba-tiba pulang.”

“Dia tahu dong, kalau kalian ... sudah nikah?”

Aku memejamkan kedua mata mendengar fakta selanjutnya. Tidak kusangka ternyata menantu idaman Ibu wanita seperti Vera.

“Enggak, Bu! Si Reni kan bodoh, dia itu ... mudah sekali kami bodohi. Ya kan, Mas?”

Kulihat Bang Dino tak menanggapi ucapan Vera. Lelaki itu melengoskan wajah ke arah lain.

“Dino, kamu kenapa? Kayak lagi marah sama istrimu?”

“Iya, Bu. Mas Dino memang lagi marah sama aku. Bahkan tadi, di depan si Reni, Mas Dino tega menamparku, Bu.” Vera memasang wajah sedih.

“Aku menampar karena kamu berani menghinaku, verek!”

PLAAAK!

Aku terhenyak melihat Ibu menampar keras pipi Bang Dino.

“Ibu kenapa menamparku?”

“Tamparan itu balasan karena kamu sudah berani menampar Vera!”

Lho kok? Ibu jadi lebih membela Vera dari pada anaknya sendiri?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status