Di meja makan kediaman keluarga Hermanto, terlihat Aditama, Vania dan sang kakek sedang duduk di kursi masing-masing. Mereka bertiga tengah makan malam bersama. Akan tetapi, bagi Vania dan Aditama, terlihat seperti bukan makan malam biasa. Pasalnya, hidangan di atas meja adalah hidangan spesial. Hal tersebut terlalu berlebihan jika hanya untuk menjamu mereka berdua. Sudah dipastikan jika keluarga Hermanto memang sengaja memasak khusus untuk mereka berdua. Di sisi lain, hal tersebut membuat Aditama dan Vania sedikit heran. Tak pernah sekali pun mereka berdua dijamu sedemikian rupa seperti saat ini.Biasanya, keluarga Hermanto akan menjamu seperti itu jika sedang ada acara atau ada tamu penting saja. Mereka berdua pun menjadi bertanya-tanya. Malam ini, Aditama dan Vania mengunjungi kediaman keluarga Hermanto untuk memenuhi undangan makan malam sang kakek.Di perjalanan tadi, mereka berdua saling berdiskusi, kira-kira, apa yang akan sang kakek bicarakan? Tidak mungkin kan ... s
Melihat hal itu, Vania seketika merasa cemas.Bagimana jika sang kakek marah? Tidak mengabulkan permintaanya? Akan tetapi, ia menggeleng, berharap sang kakek tidak bersikap demikian. Selagi sang kakek terdiam kaget, Vania angkat suara. "Kek ... kalau bukan karena Aditama ... kalau bukan karena teman dekatnya Aditama ... perusahaan kita tidak akan bisa bekerja sama dengan Gandara corporation!" Dia kemudian menambahkan. "Jadi ... bisa dibilang ... Aditama juga memiliki peranan dan andil yang besar dalam terjalinnya kerja sama ini." Vania mencoba meyakinkan sang kakek. Mendengar hal tersebut, Hermanto mengerjap—tersadar—kemudian balik menatap Vania."Kakek ada pertanyaan untukmu Van," ucap Hermanto pada akhirnya sambil memperbaiki posisi duduk. Kemudian, ia menatap sang cucu dengan lekat. "Apakah ... kamu benar-benar telah mencintai Aditama sepenuhnya?" tanya Hermanto dengan hati-hati, sesekali menatap ke arah Aditama. Tanpa pikir panjang, Vania mengangguk cepat. Kentara jika tid
Mendengar suara ibunya menyapa di sebrang sana, Aditama menutup mata seiring helaan napas lega pun berhembus keluar. Akhirnya ... sang ibu mengangkat teleponya juga.Selama sesaat, Aditama mempersiapkan diri untuk berbicara dengan sang ibu mengenai kondisi sang Ayah. Lalu, Aditama membuka mata dan berkata. "Kenapa mama tidak menghubungiku lagi? Mama ... baik-baik saja 'kan di sana?" tanya Aditama begitu panggilan terhubung. Dia kemudian menambahkan. "Padahal ... mama sudah janji kepadaku jika akan mengabari—""Maafkan, mama, Tama." potong Sophia mendadak yang membuat Aditama terdiam. Belum sempat Aditama menimpali, suara Sophia sudah terdengar lagi. "Ada banyak hal yang harus mama urus di sini ... mama ... mendadak sibuk sekali, Tam ... termasuk ... mengurus papamu." Mendengar sang Ayah disebut, Aditama seketika tertegun.Rasa-rasanya ia ingin langsung mencecar sang ibu dengan pertanyaan mengenai kondisi sang Ayah.Akan tetapi, ego dan gengsi masih menguasai dirinya sepenuhnya
Aditama melangkah masuk ke dalam kamar milik kedua orang tuanya diikuti Sophia dan Vania. Tiba di dalam sana, terlihat di atas tempat tidur, terbaring tubuh sang Ayah tanpa suara dan dengan keadaan mata terpejam. Melihat hal itu, Aditama langsung merasa tidak karu-karu an. Ternyata benar ... jika sang Ayah sakit parah! Seketika ia diliputi rasa bersalah karena tidak mempercayai ucapan Panji sebelumnya. Aditama lalu memberanikan diri berjalan pelan mendekati tempat tidur.Ia duduk di tepi tempat tidur ayahnya berbaring selagi mengamati kondisi sang Ayah. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, pria yang dulu begitu gagah, energik dan gesit, bisa terbaring tak berdaya seperti itu.Laksana Gandara baru melewati masa kritisnya dan dua hari yang lalu ia mulai siuman. Sesekali ia akan terjaga dan membuka mata, meski tubuh itu tetap kaku seperti papan.Hanya nama Aditama yang keluar dari mulut pria itu—setiap saat.Stroke yang menyerangnya kali ini jauh lebih kuat dibandingkan serangan p
Vania tidak lagi memanggil Sophia dengan panggilan 'ibu', melainkan 'mama' setelah mengetahui identitas asli sang ibu mertua yang ternyata adalah istri dari Tuan Besar Laksana Gandara.Hingga saat ini, Vania masih tidak menyangka saja jika selama ini ia memiliki ibu mertua yang identitasnya bukan main-main. Ia kira, ibu mertuanya itu hanya lah seorang ibu biasa. Tapi ternyata ... adalah seorang nyonya besar keluarga Gandara. Mendadak, Vania merasa merinding kala memikirkan hal itu. Vania juga dibuat pangling dengan penampilan sang ibu mertua kali ini yang berubah drastis setelah kembali ke keluarganya. Aura nyonya besarnya terpancar jelas dari dalam dirinya. Berbeda sekali pada saat dia masih tinggal di kontrakan kecil. Bahkan, mereka seperti dua orang yang berbeda.Di saat ini, Vania tiba-tiba teringat dengan sikapnya dulu kepada Aditama. Sebagai istri, ia tidak pernah sepenuhnya memperlakukan Aditama sebagai suami. Bahkan, ia memperingati Aditama untuk menjaga jarak!
"Aku telah mencintai Aditama sebelum aku mengetahui identitas aslinya, Ma." ucap Vania sambil mengusap air matanya. Ia merasa harus mengatakan hal itu kepada sang mertua supaya ia tidak dikata sebagai wanita gila harta! Kalau pun Aditama adalah orang miskin, itu tidak masalah baginya karena ia jatuh cinta kepada Aditama dari sifat dan perlakuan sang suami kepadanya. Bukan semata-mata Aditama adalah anak dari keluarga kaya raya. Bukan karena hartanya. Sama sekali bukan! Sophia tersenyum. "Mama sudah tahu hal itu, Van." Vania seketika mendongak, menatap Sophia untuk beberapa saat, kemudian menautkan alis. "Mama ... sudah tahu?" Vania mengulangi perkataan sang ibu mertua dengan hati-hati. "Apakah ... Aditama sudah bercerita kepada mama?" Sophia mengangguk.Selama sesaat, Vania agak gelagapan, lalu lanjut berkata. "Perasaan itu tumbuh dengan sendirinya di dalam hatiku, Ma ... saat Aditama menolak tawaran uang sebesar 2 miliar dari kakekku karena dia tidak mau bercerai denganku,"
Setelah sebelumnya meletakan secangkir teh hangat di atas meja. Lalu, ia duduk di samping Bastian, menatap sang suami dengan rasa penasaran. Bastian menatap Susan sekilas setelah ditanya sang istri. Tapi, bukannya langsung menjawab, ia malah kembali menatap lurus ke depan. Giginya bergemeretak. "Semua orang menggosipkan aku di kantor, Ma. Mereka meragukan posisiku sebagai Presdir perusahaan hanya karena aku tidak berhasil membuat perusahaan kita bekerja sama dengan Gandara corporation!" seru Bastian dengan emosi menggebu. Bastian menghentikan kalimatnya sejenak, dadanya kembang kempis, kentara jika pria itu sedang emosi bukan main. Kemudian, ia mendengus dingin. "Ini semua gara-gara Vania yang malah bisa mewujudkan impian keluarga kita sejak lama dan jadinya, semua orang memandangku sebelah mata, Ma!" "Berita itu cepat sekali menyebar di kantor dan Vania, mendadak dibicarakan oleh para jajaran penting di perusahaan dan juga para karyawan, Ma! Dia juga dipuji habis-habis san
Mendengar hal itu, Vania menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ternyata sang ibu menentang keputusannya. Sang ibu saja menentang ... apalagi anggota keluarga Hermanto yang lain? Sudah pasti akan menentang juga! Akan tetapi, Vania sama sekali tidak mempedulikannya. Ia tidak takut sedikit pun karena suaminya adalah seseorang yang berkuasa. Namun tiba-tiba Vania mengerutkan kening.Aku tidak mungkin memberitahu identitas Aditama yang sebenarnya kepada mama sekarang. Pikir Vania. Setelah tersadar, Vania buru-buru menatap sang ibu. Dia kemudian berkata. "Ma. Sekarang Aditama sudah banyak berubah loh. Sudah tidak seperti dulu lagi. Ternyata ... dia juga memiliki kenalan-kenalan orang hebat 'kan?" Vania mencoba menghasut pikiran ibunya, supaya sang ibu mau menerima Aditama. "Dan Aditama memiliki kenalan seseorang yang bekerja di Gandara corporation ... Aditama berperan penting dalam terjalinnya kerja sama itu, Ma!" Lanjut Vania. Stephanie mendecakan lidahnya sam