Alhasil, Aditama harus mendapat cercaan pertanyaan dari Vania setelah sang istri tersadar. "Kamu meminjam uang kepada kenalanmu lagi cuma untuk membeli kalung mewah ini, Tam?!" seru Vania tertahan. Ia langsung berpikir demikian.Kemudian, ia menggeleng dengan perasaan tak karu-karuan. Jika hal itu benar, bukannya malah senang karena mendapat hadiah kalung mahal dan mewah. Akan tetapi, ia akan mengatai suaminya bodoh dan memarahinya habis-habis san.Kenapa demikian? Dengan keadaan mereka berdua saat ini yang sedang kesusahan ... seharusnya uang 31 miliar bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting lagi!Vania lanjut berkata. "Tam ... kamu tau, 'kan? Kalau kamu sendiri juga masih mempunyai hutang yang begitu banyak dan kita sama-sama sudah tidak beker --""Aku baru saja mendapatkan warisan, Van." Aditama langsung memotong perkataan Vania yang membuat wanita itu terdiam. Sontak, Vania langsung mendelik ke arah sang suami mendengar hal itu, mencerna perkataan sang suami dal
Vania tengah mencerna dan mencoba mempercayai apa yang terjadi dengan ; menepuk-nepuk pipi, mencubit kulit, hendak memastikan ia sedang bermimpi atau tidak.Dan ... ouch! rasanya sakit! Itu berarti ... ia sedang tidak bermimpi!Melihat Vania bersikap demikian, Aditama pun mengulas senyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Selagi Vania mematung kembali setelah mendapatkan jawaban jika apa yang terjadi itu adalah nyata, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk yang membuatnya tersadar. Begitu pula dengan Aditama, ia pun melirik ke arah ponsel milik sang istri. Dengan masih setengah tak sadar, Vania menarik punggung dari sandaran sofa dan meraih ponsel dari atas meja untuk mengecek siapa yang menghubunginya. Nama Bella terpampang jelas di layar ponsel. Kak Bella? Ada apa Kak Bella menghubunginya? Bertanya-tanya. Vania lalu menoleh ke arah Aditama sebentar sambil berujar. "Kak Bella, Tam yang menelfon ..." Setelah berkata, tanpa menunggu sang suami menjawab, pandanga
"Bagaimana mungkin menantu tak berguna sepertimu bisa tinggal di apartemen elit ini?!" tanya Haryadi Bintoro dengan menautkan alis sambil berkacak pinggang yang langsung diangguki oleh Edward setelahnya. Edward dan Haryadi Bintoro begitu terkejut setelah mengetahui jika Aditama dan Vania tinggal di apartemen khusus para konglomerat dan pembisnis yang harga sewa setiap bulannya bisa mencapai jutaan dan harga satu unit apartemennya mencapai miliar an. Sebelumnya, mereka mengira jika Aditama tinggal di apartemen biasa. "Unit apartemen yang kami tinggali ini adalah milik kenalannya suamiku dan dia meminjamkannya kepada kami dengan harga sewa yang murah." Vania lah menjawab yang membuat dua orang itu pindah menatap Vania. Setelah mengatakan hal itu, ia menatap sang suami, seakan meminta pendapat atas apa yang barusan dikatakannya. Aditama balas mengangguk pelan seraya tersenyum. Menandakan kalau tak mempermasalahkan jawaban sang istri.Mendengar hal itu, Edward dan sang Ayah terdiam,
Ucapan Aditama membuat Edward geram bukan main.Alhasil, emosi Edwad pun seketika membuncah. Edward menatap Aditama tajam dengan wajah mengeras dan tangan yang terkepal kuat. "Pa ... ini tidak boleh dibiarkan ... Aditama benar-benar telah merendahkanku ... aku tidak bisa tinggal diam saja ... aku tak bisa menahan diri untuk tidak merobek mulut bajingan ini!!!" seru Edward penuh emosi menggebu. Mendengar hal itu, Haryadi Bintoro langsung mendelik. "Jangan gegabah kau, Ed. Kita harus menjaga sikap kepada semua orang supaya kita tidak mendapatkan masalah lagi!" Haryadi Bintoro buru-buru memperingati sang anak. Dia kemudian menambahkan. "Memangnya kau mau kita mendapat masalah lagi?! Pemutusan kerja sama secara sepihak dari Gandara corporation itu ... adalah hal terburuk di dalam hidup kita! Mengerti kamu?!" Mendengar hal itu, membuat Edward jadi mendecakan lidahnya. Kemudian, ia menjadi semakin kesal bukan main karena ia tidak bisa memberi pelajaran kepada Aditama saat itu juga.Mel
Keesokan paginya, selagi menunggu Vania selesai berdandan, Aditama menghubungi seseorang bernama Ricard. Ricard adalah anaknya Panji yang akan ia perintahkan untuk berpura-pura menjadi kenalannya yang telah meminjamkan unit apartemen dan uang kepadanya. Kebetulan sekali, ia bekerja di Gandara corporation yang pasti akan membuat Vania menjadi lebih percaya diri setelah mengetahuinya.Hari ini, Aditama akan mempertemukan Vania dengan Ricard seperti janjinya tadi malam.Selain karena hendak membahas masalah kerja sama, Vania juga akan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ricard atas kebaikannya. "Kau sudah paham dengan tugasmu, 'kan Chard?" tanya Aditama, hendak memastikan sebelum mereka bertemu. "Saya sudah paham, Tuan Muda dan saya akan melakukannya dengan sebaik mungkin!" ucap Ricard di sebrang sana penuh keyakinan.Mendengar hal itu, Aditama pun mangguk-mangguk. "Bagus." ujar Aditama dengan rahang mengeras. Dia kemudian menambahkan. "Yasudah ... kalau begitu sampai bertemu na
"Ngomong-ngomong ... kenapa uang yang kau pinjam cepat sekali dikembalikan, Tam?" tanya Ricard, mengganti topik pembicaraan. Mendengar hal tersebut, Aditama dan Vania saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi sebelum kemudian kembali menatap Ricard. "Kebetulan kami baru saja mendapatkan uang yang datangnya dari arah tak disangka-sangka, Chard dan jumlahnya ... lumayan besar ... jadi bisa langsung untuk melunasi semua hutang-hutangku kepadamu." Jawab Aditama pada akhirnya setelah terdiam sebentar yang langsung dibenarkan oleh Vania setelahnya. Ricard mengerutkan kening mendengar hal itu. "Kau ... tak berjudi, 'kan, Tam?" tanyanya dengan penuh selidik. Sontak, Aditama dan Vania melebarkan matanya. Mencerna perkataan Ricard dalam sepersekian detik. Kemudian, Aditama mendengus dingin. Tahu jika Ricard sedang mengajaknya bergurau. Sedangkan Vania terpelongo. "Sialan! Ya tidak mungkin lah aku berjudi!" ucap Aditama sambil berdecak. Dia kemudian menambahkan
Akan tetapi, Vania tidak tersinggung mendengar jawaban dingin dari sang Kakek. Ia sadar jika kedatangannya itu tak diharapkan sama sekali dan dianggap hanya akan menyebabkan kondisi kesehatan sang Kakek tambah semakin buruk.Namun, ia benar-benar tak bisa mengacuhkan sang Kakek begitu saja. Ia harus memastikan kondisinya secara langsung.Di sisi lain, ia berharap dengan sang suami membayarkan biaya operasi dan rumah sakit, sang Kakek akan luluh dan bisa menerima Aditama.Setelah bertemu dengan Ricard, Aditama dan Vania memutuskan pergi ke rumah sakit Siola untuk menjenguk Hermanto. Sekarang Hermanto telah selesai dioperasi. 2 atau 3 hari lagi sudah diizinkan pulang dan akan dilanjut dengan rawat jalan setelahnya.Hermanto lalu menatap Vania dan Aditama bergantian untuk beberapa saat. Dia kemudian berkata. "Mau apa kalian berdua ke sini?!" tanya Hermanto dengan nada dingin dan ekspresi wajah datar. Mendengar hal itu, Vania yang tengah menundukan kepala seketika mendongak. "Menjeng
Apa jangan-jangan ... Evan ada kaitannya dengan menghilangnya ... Vania saat ini? Seketika Aditama merasa tidak karu-karuan kala teringat dengan ancaman Evan yang katanya akan membuat hidupnya menderita!Aditama pun menautkan alis, kemudian rahangnya mengeras. Apakah hal ini ... termasuk salah satu upaya ia untuk melakukan hal demikian kepadanya? Akan tetapi, Aditama buru-buru bersikap tenang. Seakan tidak terpengaruh oleh pertanyaan Evan barusan. "Ada apa kau menghubungiku?!" tanya Aditama dengan nada dingin setelah terdiam sebentar. "Kau masih ingat ... dengan ancamanku beberapa hari yang lalu 'kan, Tam?" Evan balik bertanya lagi. Mendengar hal itu, rahang Aditama mengeras. "Kau tak akan bisa melakukan hal itu padaku!" seru Aditama sambil berdecih. "Heh! sadar kau Aditama! bangun kau! jangan sering bermimpi kau! Kenapa juga aku tak bisa melakukan hal itu padamu?!" Dia kemudian menambahkan. "Kau berhasil membuat kami dipecat itu karena kau sedang beruntung saja waktu itu, Tam