Malam yang dingin disertai hujan adalah saksi dari rasa sakit yang Shera rasakan sekarang. Ia bersimpuh di depan makam ayahnya, menatap gundukan tanah yang sudah hampir rata. Semua kenangan masa lalu terus menggerogoti pikiran, bercampur baur dengan ucapan Lewin siang tadi. Tangan kecilnya merayap di atas gundungan makam sang ayah, mencakar dan meremas tanah itu di dalam genggaman."Ayah, kau tak pernah mengajarkanku membenci dan dendam. Kau selalu mengatakan agar aku melupakan ibu, yang pergi meninggalkan kita saat aku masih sangat kecil. Kau juga yang berkata aku adalah cinta suci, yang tak boleh membalas kejahatan seseorang." Ia mengenang masa kecilnya saat sang ayah masih hidup, pria itu adalah teladan yang sangat Shera dengarkan pesan-pesannya."Aku sudah melakukannya, Ayah. Aku membuang kebencian itu dari hatiku, meski tak pernah benar-benar menghilang. Aku menyalahkan diriku lah yang tak bisa menjaga kehormatan, membuat malu Ayah hingga memutuskan mengakhiri hidup. Aku menghuku
Tak butuh waktu lama Shera menunggunya. Tiga puluh menit sejak Albi berkata pulang, lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu utama. Matanya menatap Shera lekat, sangat lekat dan terpana. Mata itu bahkan tidak bergerak beberapa saat, sampai Shera menggerakkan tangan menunjuknya. Jari telunjuk gadis itu digerakkan lamban, memberi isyarat agar Albian datang."She...ra," panggil Albi, suaranya tercekat melihat penampilan Shera malam ini. Lingeri seksi yang menunjukkan lekuk tubuh Shera, bahan transparan itu membuat pemandangan Albi semakin terpikat. Shera sangat seksi, mengundang rasa birahi yang langsung menyambar Albian."Kau akan tetap berdiri di sana?" kata Shera berbisik pelan, sebelah kakinya diangkat dari kaki yang lain, membuka pahanya sedikit. Sungguh, pemandangan itu membuat Albi semakin tak kuasa. Belahan paha Shera sangat indah dari kejauhan."Ke mari. Sekarang!" perintah Shera masih dengan isyarat jari.Albian yang terpana pun tak mampu menahan kakinya untuk bergerak maju.
Sepasang manusia tanpa sehelai pakaian itu, terkejut oleh suara Vivia. Albi melepaskan tubuh kekasihnya, menatap Vivia yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sorot mata wanita itu sangat tajam bagaikan belati yang siap mencabik seluruh tubuhnya. Albian yang tadi dirasuki birahi, perlahan kembali kesadarannya.“Vi?”“Ya! Jika matamu belum buta, kau tengah melihatku sekarang. Benar. Aku, perempuan yang masih sah sebagai istrimu, tengah melihat kau bersetubuh dengan pelacurmu!” sentak Vivia, kemarahan tak bisa ia tanggung melihat perbuatan dua manusia yang tak punya rasa malu.Cemburu tentu saja. Munafik jika Vivia mengatakan dirinya tidak cemburu melihat suami yang ia cintai, justru menginginkan gadis lain. Marah sudah pasti. Meski ia berkata dirinya akan merelakan Albi pada Shera, sebagai wanita yang menemani Albian selama tujuh tahun ini, ia tentu marah melihat suaminya bersetubuh dengan wanita lain. Bahkan, mereka melakukannya di rumah milik Vivia, di depan matanya.Tubuh Vivia sampai
Setelah kejadian malam itu, Albi menjadi banyak termenung. Shera berusaha menggoda dan menghiburnya, tapi semua yang dilakukan bagaikan hambar di hati Albi. Jika biasanya ia sangat senang melihat Shera bermanja padanya, sekarang semua seperti tidak berarti. Albian terus memikirkan Vivia, merasa sangat bersalah padanya.“Bi, makananmu akan dingin,” peringat Shera menunjuk makanan di depan Albi, membuat lelaki itu tersadar dari pikiran. “Sampai kapan kau akan seperti ini? Aku sudah memilih diam sejak tadi malam, tapi sampai kita makan siang pun kau masih termenung seperti ini? Apa sebenarnya yang kau pikirkan?”“Entah lah, She...” sahut Albi, menyuap makanan ke dalam mulutnya. Tapi, makanan itu terasa serat di tenggorokan, tak mampu ditelannya. “Aku tidak bisa makan.”“Kau serius? Kau bahkan tidak sarapan pagi tadi, dan sampai sekarang tidak merasa lapar?” Shera mengerutkan kening tidak senang. “Jangan bilang kau terus merasa bersalah padanya, Albi, aku tidak suka!”Apakah ini bentuk ra
“Ibu Vivia, suamiku ketahuan berselingkuh berkali-kali, tapi dia selalu meminta maaf dan meminta kesempatan. Terkadang aku ingin menyerah, tapi anak-anak... aku tidak tega memisahkan mereka dari ayahnya. Menurut Ibu, apa yang harus kulakukan?”Sesi tanya jawab kali ini membuat Vivia terdiam beberapa saat. Wanita yang mendapat kesempatan bertanya padanya, menanyakan tentang perselingkuhan suaminya yang sudah berulang-ulang. Vivia seperti berkaca pada dirinya sendiri, atas prahara rumah tangganya belakangan ini.Ia masih terdiam akan memberi jawaban untuk wanita yang menunggu di sana, juga para penonton yang tentu saja mengharapkan jawaban memuaskan dari Vivia. Haruskah ia katakan agar wanita itu meninggalkan suaminya yang berselingkuh? Apakah Vivi harus berkata, tak ada kesempatan untuk seorang lelaki yang berselingkuh? Bisakah Vivi berkata, anak akan lebih menderita jika melihat ibunya tersiksa dalam pernikahan? Seperti yang selama ini ia keluar dari mulutnya dengan tegas.Sedangkan j
Kesabaran Albi sudah di ambang batas. Kedua tangan mengepal di bawah sana, menunjukkan betapa ia sangat marah mendengar perkataan Shera, bahwa semua ini adalah ulah Vivia. Sungguh menyulut bara emosi di dadanya. Dia harus menemui Vivia sekarang juga. “She, kau pulanglah duluan. Aku akan mengurus masalah ini dengan Vivi,” katanya. Jika kedua mata itu bisa menyalakan api, tentu tempat itu sudah terbakar oleh sorot mata Albi. “Tapi, Bi.” “Menurutlah, Shera... aku harus menuntaskan masalah ini, sebelum Vivia lebih berani!” Meski tidak membentaknya, Shera tetap merasa takut oleh nada suara Albi yang begitu tegas dan... kelam. “Oke, aku akan pulang lebih dulu. Tapi, Bi, aku akan pulang ke rumahku. Kau juga pulanglah ke rumahku setelahnya, kita tak mungkin tinggal di rumah Vivia lagi. Kita tak tahu dia akan melakukan hal yang lebih gila.” Tangan Shera menyentuh dada bidang Albian, mengelusnya lembut. “Ingat, jangan membuat hal yang merugikan kita, saat kau marah,” imbuhnya berpesan. O
Albi tak sudah tak mau terkecoh oleh kepolosan yang Vivia tunjukkan. Vivia adalah dalang dari hancurnya hubungan Albi dan Shera. Vivi begitu liciknya mengambil kesempatan oleh kuasa orang tuanya, sehingga keluarga Albi harus memaksa dirinya menikahi gadis ini. Jika Albi pikirkan kembali ke belakang, Albi adalah korban atas ketamakan Vivia. Ia harus meninggalkan Shera, dengan imbalan karier yang ia dapatkan selama ini. Andaikan Vivi tidak melakukan hal licik itu, Albi rasa dia tak harus berpisah dengan Shera, sehingga segalanya menjadi rumit seperti sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Albian mengeluarkan sebuah flashdisk dari saku celana kain yang dikenakannya. Flashdisk itu berisi foto-foto dirinya dan Shera saat bercinta, yang dikirimkan Vivia melalui kurir. Ia letakkan flashdisk itu secara kasar di atas meja rias tepat di depan Vivia. “Apa ini, Vivia?” tanya Albi dengan tangan gemetar menahan amarah. “Kau ingin menghancurkan aku dengan ini? Tapi sebelumnya, aku yang akan menghan
Vivia melangkah pelan menaiki anak tangga. Kakinya berhenti tepat di tempat Albi menggauli Shera malam itu. Masih teringat jelas di matanya, ekspresi kedua manusia itu yang tengah dipenuhi nafsu. Albi sangat berhasrat, itu yang selalu terngiang di kepalanya. Kembali ia melangkah, kemudian berhenti di pintu kamar tidurnya. Kamar yang dahulu ia tempati dengan Albi, sebelum Shera masuk ke dalam kehidupan mereka lagi. Dulunya, meski Albi tidak selalu bersikap hangat, Vivi ingat sangat banyak kenangan yang ia lalui dengan Albi di kamar itu. Di atas ranjang beralas kain putih itulah Vivia menyerahkan kesuciannya pada Albi. Kenangan itu pun kembali berputar di ingatan.“Kita sudah menikah satu minggu,” kata Vivia saat itu, ketika Albi merebahkan diri di sisinya. “Tapi selama itu juga kita seperti orang asing. Jika kamu tidak nyaman dengan pernikahan ini, kenapa tidak menolak lamaran papaku?” Albi yang tadinya membelakangi Vivia, perlahan berbalik menatap Vivia. “Aku tahu kamu menikah buk