Lima menit kemudian Suratmin sampai di rumah kontrakannya dengan selamat, walaupun sedikit ada luka di tangannya tetapi tidak begitu parah.“Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam, loh Mas kenapa, ini kok tangannya luka, ada apa Mas, tetapi Mas nggak apa-apa kan?” tanya Susi saat melihat tangan suaminya terluka.“Alhamdulillah Mas nggak apa-apa, tadi tersenggol mobil dan kamu tahu siapa yang bawa mobil itu?”“Alah sudah pasti Suratman saudara kembar Mas itu!” rutuknya kesal.“Kok kamu tahu sih, siapa yang menabrak Mas?” tanyanya lagi.“Ya iyalah bahkan sudah mendarah daging di otakku Mas,” jawabnya spontan dengan canda tawanya.Susi lalu ke dapur mengambilkan segelas air putih dan tidak lupa membawa kotak p3k untuk mengobati luka di tangan suaminya itu.“Augh pelan-pelan Dek, sakit!” ucapnya manja.“Ih manja banget sih, lukanya nggak apa-apa ini,” sahut Susi dengam telaten membersihkan lukanya dengan sabar.“Sayang aku sudah bicara masalah rumah itu dengan Suratman, dan kamu tahu apa jaw
“Mas, saudaramu itu memang dari dulu nyebelin atau bagaimana sih?” tanya Susi yang masih penasaran dengannya.“Kami sebenarnya dari keluarga yang tidak begitu kaya tetapi tidak juga dibilang sangat miskin, karena walaupun Bapak hanya bekerja sebagai pelayan toko sembako, tetapi beliau masih bisa menyekolahkan kami.”“Makan pun kami tidak kekurangan, rumah milik sendiri, sampai suatu ketika setelah terjadi kecelakaan itu uang ditabungan Bapak mulai menipis dan tidak mungkin hanya mengandalkan tabungan itu.”“Ibu mulai membuka warung nasi kuning di depan rumah dan alhamdulillah laris manis. Mas selalu menyempatkan untuk membantu Ibu bangun di jam empat subuh.”“Awalnya sangat capek dan melelahkan tetapi kami selalu mengesampingkan hal itu karena yang ada dipikiran waktu itu hanya untuk bisa mendapatkan uang. Lambat laun dagangan Ibu laris manis dan bisa mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.”“Keceriaan Ibu kembali terlihat dari pagi sampai menjelang sore, tetapi setelah malam tiba Ibun
“Oh ya Mas, bagaimana bisa Mas membeli rumah semewah itu?” tanya Susi yang masih penasaran dengan rumah yang di tempati oleh saudaranya itu.“Ibu sebenarnya telah menyisihkan buat Mas sebuah buku tabungan yang telah beliau simpan selama ini.”“Ibu ternyata tahu setiap uang yang Mas berikan buat Ibu dari Mas bekerja sehabis pulang sekolah.“Ibu tidak memakai uang yang sering Mas berikan kepadanya, malahan ditabungkan sedikit demi sedikit.”“Sebentar Mas, ambilkan!” Suratmin bergegas membuka sebuah koper di kamar, dia lalu membukanya dan ada sebuah kota kecil didalamya.“Apa ini, Mas?”“Wasiat dari Ibu!” Suratmin membuka isi surat yang ditulis oleh tangan ibunya sendiri.“Ini adaalah surat terakhir dari Ibu, ternyata Ibu sudah menyiapkannya sebelum meninggal dan hal ini Suratman tidak tahu sama sekali,” ujarnya lagi.Susi membuka surat itu dan lalu membacanya. Tulisannya begitu rapi walaupun dalam tulisan latin.Assalamu’alaikum, Nak.Mungkin kamu akan menemukan surat ini Ibu sudah ngga
“Aku nggak salah dengar?” “Buat apa kamu berhenti kerja toh nanti kita akan mencari baby sitter buat anak kita,” jelasnya yang tidak ingin Siska keluar dari pekerjaannya.“Loh kenapa Mas, Kenapa aku nggak boleh berhenti kerja, toh kekayaan kita sudah banyak, buat apa kita masih mencari uang, aku ingin mau fokus seperti Susi mengurus anak, aku ingin bisa melihat perkembangan Kirana setiap saat, Mas!” Siska ingin belajar mengurus anak mereka tetapi suaminya tidak mengizinkannya.“Hahaha ... kamu mau seperti Susi, kamu bilang ... bangun dong Sayang!”“Sampai tua juga kamu itu tidak bisa mengurus rumah tangga, megang sapu saja jarang, jangan sok-sok an deh, nggak bisa bersih-bersih, nggak bisa masak, apalagi mengurus anak!”“Nggak usah yang aneh-aneh, lebih baik kamu kerja saja, biar urusan anak aku akan mencarikan baby siter yang profesional sekalipun,” jelasnya dengan nada sedikit tinggi.“Mas, kenapa kamu keberatan kalau aku berhenti kerja, atau jangan-jangan kamu menikahiku bukan kar
Akhirnya Wulan berpikir untuk membuatkan tabungan sendiri untuk anaknya, dia pun meminta sang majikan untuk menabungkan uangnya sebagian untuk anaknya sendiri.Sangat beruntung Pak Agus dan Wulan mendapatkan majikan seperti mereka yang mau mengerti keadannya.Sudah sepuluh tahun lamanya mereka bekerja dan mengabdi dengan keluarga asing di sana, saat lebaran saja Bu Wulan pulang, tetapi hanya dia sayab yang yang pulang karwna Pak Agus tetap di Taiwan, selain menghemat biaya dan juga Pak Agus tidak inhin menyusahkan keluarga di sana apalagi dengan Pakde Karso yang merupakan kakak kandungnya sendiri.***Namun, ujian datang kembali di saat malam hari tiba-tiba terjadi perampokan di rumah sang majikan itu. Pak Agus dan Bu Wulan saat itu ingin menyelamatkan keluarga majikan itu berakhir dengan terbunuhnya mereka berdua.Sang majikan sangat berduka tidak bisa berkata-kata, karena untuk ketiga kalinya Pak Agus menolongnya dari kejahatan tetapi dibayar mahal oleh tewasnya mereka berdua.Sa
“Ya sudah terserah Mas saja, tetapi nanti kita memakai seragam ya, seperti artsi-artis gitu,” ucap Siska yang juga bersemangat menggelar acara aqiqah untuk putrinya itu.“Pokoknya kamu tenang saja, kita akan membuatnya meriah dan mewah, dan pastinya Suratmin itu tidak bisa menyaingi kita dalam acara nanti.”“Undang saja Suratmin dan Susi ke acara kita, Mas, biar sekali-kali mereka bisa makan enak di rumah kita, kapan lagi coba bisa merasakan dan makan gratis nggak bayar sedikit pun,” celetuk Siska masih bisa menyombongkan dirinya.“Kamu benar juga, Sayang, belum tentu juga dia buat acara aqiqah, beli kambing satu ekor saja mungkin ngutang sana sini, atau nggak ada acara begituan, uang dari mana juga kecuali dia main pesugihan atau mencuri, orang kalau lagi butuh uang dengan jalan pintas bisa menggunakan dua cara itu saja yang lebih cepat,” lanjutnya lagi.“Ya itu kalau orang lain, tetapi sangat berbeda dengan saudaramu itu. Mereka itu biar miskin pantang berbuat seperti itu, Mas!”“
“Loh kenapa memangnya Man, itu wajar kok lagian Surti ini kan sangat telaten ngurus anak, kamu lihat saja dua anak gadisnya semuanya gemuk-gemuk nggak kurus kering,” timpa Bude Asri membela Surti.“Kalian kan orang kaya masa uang segitu nggak punya sih, katanya tajir melintir malu dong nggak bisa gaji pengasuh segitu,” lanjutnya lagi.“Iya Man, anggap saja kamu sedekah lah sama keluarga, kata orang bersedekahlah kepada yang terdekat dulu seperti saudara atau keluarga baru ke orang lain,” cearamah Pakde. Karso dengan penuh percaya diri.“Iya Pakde, aku juga pernah dengar malahan kata Pak Uztad bersedekahlah kepada yang terdekat dulu jika saudara atau keluargamu memang betul-betul membutuhkan pertolongaan, tetapi kalau keluarga Pakde kan mampu mencari nafkah sendiri, penampilan kalian saja seperti orang kaya, walaupun KW tetap saja dibeli pakai uang,” jelas Suratman tak mau kalah.Seketika raut wajah Pakde Karso terlihat kesal dan tidak ingin lagi berdebat dengan Suratman. Dia tahu kala
Pakde Karso terkejut melihat Surti yang berpenampilan seperti itu.“Bu, cepat bawa anakmu bersihkan itu wajahnya, Bapak jadi takut lihatnya,” ucap Pakde karso melihat wajah Surti yang menyeramkan.“Surti nggak mau Pak, biar saja begini, aku malu Pak kalau aku cuci wajahku, ntar wajah asliku kelihatan jelas, toh,” sahutnya kesal.“Nggak apa-apa toh daripada menyeramkan begitu, ya wajar saja Suratman takut lihat kamu,”protes Pakde Karso.“Jadi beli makan nggak nih?” desak Suratman yang mulai jengah.“Memang berapa sih kalau beli nasi bungkus?” tanya Bude Asri ikut bersuara.“Kasih saja tiga puluh tibu, cukup itu,” sahut Pakde Karso.“Surti lalu mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna ungu tetapi sudah sedikit pudar dan memberikannya kepda Pakde Karso.“Ini Pak uangnya,” ucap Surti memberikan uang lecek itu.“Ini Man, cukup-cukupin yang penting bisa makan.”Suratman lalu mengambilnya dan sedkit bingung dengan penampakan uang kertas itu yang berubah warna dan sudah lecek.“Ini uan