Akhirnya Wulan berpikir untuk membuatkan tabungan sendiri untuk anaknya, dia pun meminta sang majikan untuk menabungkan uangnya sebagian untuk anaknya sendiri.Sangat beruntung Pak Agus dan Wulan mendapatkan majikan seperti mereka yang mau mengerti keadannya.Sudah sepuluh tahun lamanya mereka bekerja dan mengabdi dengan keluarga asing di sana, saat lebaran saja Bu Wulan pulang, tetapi hanya dia sayab yang yang pulang karwna Pak Agus tetap di Taiwan, selain menghemat biaya dan juga Pak Agus tidak inhin menyusahkan keluarga di sana apalagi dengan Pakde Karso yang merupakan kakak kandungnya sendiri.***Namun, ujian datang kembali di saat malam hari tiba-tiba terjadi perampokan di rumah sang majikan itu. Pak Agus dan Bu Wulan saat itu ingin menyelamatkan keluarga majikan itu berakhir dengan terbunuhnya mereka berdua.Sang majikan sangat berduka tidak bisa berkata-kata, karena untuk ketiga kalinya Pak Agus menolongnya dari kejahatan tetapi dibayar mahal oleh tewasnya mereka berdua.Sa
“Ya sudah terserah Mas saja, tetapi nanti kita memakai seragam ya, seperti artsi-artis gitu,” ucap Siska yang juga bersemangat menggelar acara aqiqah untuk putrinya itu.“Pokoknya kamu tenang saja, kita akan membuatnya meriah dan mewah, dan pastinya Suratmin itu tidak bisa menyaingi kita dalam acara nanti.”“Undang saja Suratmin dan Susi ke acara kita, Mas, biar sekali-kali mereka bisa makan enak di rumah kita, kapan lagi coba bisa merasakan dan makan gratis nggak bayar sedikit pun,” celetuk Siska masih bisa menyombongkan dirinya.“Kamu benar juga, Sayang, belum tentu juga dia buat acara aqiqah, beli kambing satu ekor saja mungkin ngutang sana sini, atau nggak ada acara begituan, uang dari mana juga kecuali dia main pesugihan atau mencuri, orang kalau lagi butuh uang dengan jalan pintas bisa menggunakan dua cara itu saja yang lebih cepat,” lanjutnya lagi.“Ya itu kalau orang lain, tetapi sangat berbeda dengan saudaramu itu. Mereka itu biar miskin pantang berbuat seperti itu, Mas!”“
“Loh kenapa memangnya Man, itu wajar kok lagian Surti ini kan sangat telaten ngurus anak, kamu lihat saja dua anak gadisnya semuanya gemuk-gemuk nggak kurus kering,” timpa Bude Asri membela Surti.“Kalian kan orang kaya masa uang segitu nggak punya sih, katanya tajir melintir malu dong nggak bisa gaji pengasuh segitu,” lanjutnya lagi.“Iya Man, anggap saja kamu sedekah lah sama keluarga, kata orang bersedekahlah kepada yang terdekat dulu seperti saudara atau keluarga baru ke orang lain,” cearamah Pakde. Karso dengan penuh percaya diri.“Iya Pakde, aku juga pernah dengar malahan kata Pak Uztad bersedekahlah kepada yang terdekat dulu jika saudara atau keluargamu memang betul-betul membutuhkan pertolongaan, tetapi kalau keluarga Pakde kan mampu mencari nafkah sendiri, penampilan kalian saja seperti orang kaya, walaupun KW tetap saja dibeli pakai uang,” jelas Suratman tak mau kalah.Seketika raut wajah Pakde Karso terlihat kesal dan tidak ingin lagi berdebat dengan Suratman. Dia tahu kala
Pakde Karso terkejut melihat Surti yang berpenampilan seperti itu.“Bu, cepat bawa anakmu bersihkan itu wajahnya, Bapak jadi takut lihatnya,” ucap Pakde karso melihat wajah Surti yang menyeramkan.“Surti nggak mau Pak, biar saja begini, aku malu Pak kalau aku cuci wajahku, ntar wajah asliku kelihatan jelas, toh,” sahutnya kesal.“Nggak apa-apa toh daripada menyeramkan begitu, ya wajar saja Suratman takut lihat kamu,”protes Pakde Karso.“Jadi beli makan nggak nih?” desak Suratman yang mulai jengah.“Memang berapa sih kalau beli nasi bungkus?” tanya Bude Asri ikut bersuara.“Kasih saja tiga puluh tibu, cukup itu,” sahut Pakde Karso.“Surti lalu mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna ungu tetapi sudah sedikit pudar dan memberikannya kepda Pakde Karso.“Ini Pak uangnya,” ucap Surti memberikan uang lecek itu.“Ini Man, cukup-cukupin yang penting bisa makan.”Suratman lalu mengambilnya dan sedkit bingung dengan penampakan uang kertas itu yang berubah warna dan sudah lecek.“Ini uan
“Lama banget tuh orang sudah dua kali dia tambah makannya, sedangkan bapaknya malah irit makan, keterlaluan banget jadi orang!” “Bu, berapa semuanya?”“Sudah selesai Mas, totalnya semua tiga puluh ribu,”ucap Ibu pemilik warung itu.“Loh Bu kok mahal banget di situ tertulis lima belas ribu saja, kok malah tiga puluh ribu?”“Ibu mau membohongi saya ya?”“Jangang begitu dong Bu, kalau mau cari rezeki itu yang halal, jangaan asal menaikkan harga tidak sesuai dengan di spanduk itu!” jelasnya panjang lebar.“Eh, Mas, tadi sampean itu makan nasi dua porsi otomatis bayarnya double dong!” sungut Ibu pemilik warung itu.“Mana buktiknya piring saya cuma satu, gelas juga satu, kalau dua piring dan gelasnya juga dua dong, lagian tadi saya bilang nambah nasi, sama lauk dan sayurnya juga sedikit, nggak banyak kayak tadi,” belanya yang tidak mau kalah.“Ya nggak bisa gitu dong Mas, sampean jangan buat saya kesal ya, bayar sekarang tiga puluh ribu nggak ada tawar menawar, jangan buat saya marah ya,
“Bagaimana betulkan apa yang saya bilang, sekarang lebih baik kamu bayar saja tidak baik mengambil rezeki orang lain dengan paksa.”“Kamu sendiri saja jika diposisinya tadi ngotot harus membayar dua porsi karena rugi begitu juga dengan yang kamu lakukan sama Bu Ningsih,” jelasnya lagi.“Tuh dengar, bayar,” ucap salah satu dari mereka.“Dasar Suratmin, sudah membuat aku malu dengan ceramah yang sok jadi ustaz ini, awas kamu Suratmin!” “Kamu dengan saudara kembarmu itu sama saja sok banget jadi orang, yang satu memang kaya tetapi pelitnya minta ampun sedangkan yang ini miskin tetapi sok kaya, sok bijak,” gerutu Dodi dalam hati.“Sudah jangan banyak pikir, pakai acara melamun lagi!” hardik salah satu pelanggan.“Iya ini bayar, aku nggak lari kok!” bentak Dodi sembari mengeluarkan dompet dari saku celana belakang.Dan betapa terkejutnya mereka di sana karena uang di dompetnya hanya ada satu lembar uang kertas berwarna cokelat.Dodi mengambilnya dan memberikan uang itu dengan percaya dir
“Kamu ingat nggak dulu waktu kita masih kecil, kita selalu sama-sama, makan bareng, tidur bareng, bahkan sekolah kita selalu bareng.”“Kamu ingat waktu kamu dapat nilai sepuluh dalam pelajaran matematika, dan aku mendapatkan nilai seratus, tetapi karena aku takut kamu dimarahi oleh Bapak, aku tukar nilai kita dan aku tidak keberatan jika nilai kita tertukar dan aku yang mendapatkan amarah dari Bapak,” ucapnya mengenang masa lalu.“Iya, kamu memang dimarahi sama Bapak, tetapi Ibu tetap membela kamu, karena dia tahu kalau kamu menukarnya untukku, iya kan?”“Kamu dari dulu hanya cari muka, Min, minta dipuji, dihormati, dan sampai sekarang, jiwa sosialmu terlalu tinggi dan itu membuat aku tidak suka, apa sih maumu, Min?”“Aku selalu kalah di depanmu, di mata Bapak dan Ibu, bahkan di mata dunia!”“Kamu selalu menjadi nomor satu dalam segala hal, ya akui kamu sangat pintar dalam segala hal, bahkan kamu rela menjadi babu hanya untuk kebahagianku!”“Akan tetapi, maaf Min, aku tidak mau berte
Namun, di dalam mobil pikirannya kembali menyerang dengan ingatan masa lalu saat mereka berdua masih kecil.Bayangan saudara kembarnya yang selalu ada untuknya, selalu berkorban untuknya dan selalu ada untuk dirinya tidak dapat dipungkiri.Tanpa sengaja orang yang sering menghujat saudaranya sendiri bisa menitikkan air mata sesaat.“Apa ini?” Air mata dariku sendiri?” Suratman memegang pipinya yang sudah basah dengan air mata.“Kamu benar Min, kamu memang benar!”“Kamu selalu menolong jika aku ada dalam kesulitan , atau bahaya sekalipun kamu akan pasang badan, kamu memang malaikat untukku.”“Akan tetapi aku juga membencimu karena kamu yang selalu dipuja, kamu lebih pintar dari aku bahkan ibu sangat peduli dengan kamu!”“Ya aku sadar kalau aku nakal waktu kecil, itu hanya supaya Ibu mau melihat dan memarahiku!”“Namun, tidak, Ibu malah hanya menasihati dengan beberapa kalimat saja setelah itu cuek lagi, tetapi saat kamu berbuat salah ibu selalu memarahimu dengan tegas.”“Mungkin orang