Sementara itu di rumah sakit ...“Lama banget suamimu beli makan, beli di mana sih?” tanya Pakde Karso sedikit kesal sembari memperhatikan jam tangannya.“Sabar toh Pakde, namanya juga hidup di kota pasti jalanan macet,” bela Siska tersenyum.“Eh, Siska kota ini bukan Jakarta yang macet sepanjang jalan kenanga tetapi ini Balikpapan, kota kecil, masa lama banget beli makannya, atau jangan-jangan dia nongkrong lagi sama teman-temannya,” celetuk Mbak Surti ikutan marah lantaran wajahnya tak semenarik lagi karena semua make up nya sudah luntur terkikis oleh air.“Mbak Surti, aku baru lihat lagi loh wajah aslimu tanpa make up, pantas saja Mbak ngotot nggak mau membersihkannya,” ucap Siska sedikit menahan tawa melihat penampakan wajah asli sepupunya itu.“Ini juga gara-gara kamu nggak mau meminjamkan alat make up, pelit amat sih sama saudara!”bentaknya cemberut.“Ya mau bagaimana lagi Mbak, tas ku kan nggak sengaja terbawa sama suamiku,” kilahnya.“Alah, alasan melulu bilang saja nggak bol
“Apa, sebanyak itu?” Siska sangat terkejut dengan kedua mata membulat ketika tahu berapa uang yang dipinjam dari rentenir itu.“Dan kalian baru mengatakannya sekarang, dan Pakde suruh Siska bayar semua hutang-hutang itu?” tanya Siska geram.“Makanya kami datang ke sini untuk bisa bekerja apa saja yang penting kami bisa bayar hutang, karena kalau tidak ...” sedikit menjeda kalimatnya.“Kalau tidak kenapa,Pakde?” tanyanya lagi.“Ya itu ... Dodi akan dijebloskan ke penjara sama orang itu, jadi tolong kami, Nduk!”“Hanya kamu yang bisa menolong kami!”“Sabar Pakde semua ini adalah ujian, semoga setelah kejadian ini Pakde, terutama Mas Dodi tidak usah ikut-ikutan investasi kalau belum pasti asal usulnya,” ucap Siska kesal.“Iya Nduk, Pakde sudah kasih tahu Dodi untuk tidak sembarangan percaya sama orang,” sahutnya dengan memelas.“Terus bagaimana, Pakde?” tanya Siska yang bingung untuk membantunya dari mana.“Maksud kami datang ke sini sebenarnya adalah ... mau meminjam uang kamu dulu, set
“Iya Mas!”“Eh salah ... iya Man!” ucapnya malu-malu.“Mbak Surti kenapa, kok maku-malu gitu, memang kenapa wajahnya?”“A-aku malu Man, soalnya aku nggak pakai make up, kelihatan banget jeleknya,nucapnya merendah.“Memang iya sih ... eh maksudnya nggak apa-apa Mbak malah kelihatan cantik natural gitu,” pujinya membuat Surti bahagia.“Yang betul Man, kamu suka dengan wajahku seperti ini? Kamu nggak malu mempunyai keluarga yang wajahnya seperti ini?” tanyanya meyakinkan apa yang dia dengar barusan.“Iya, Mbak, mau bagaimana lagi dari sana sudah begitu, syukuri saja apa yang sudah di kasih sama kita, nggak udah dipermak, iya kalau ada uang bisa operasi plastik, kalau nggak ada ngapain coba, bisa-bisa kena penyakit kulit loh, cari aman saja,” jelas Suratman bijak.Mendengar perkataan Suratman, Surti kembali merengut sehingga lebih terlihat lebih seram dari yang sebelumnya.“Kenapa kamu melihatku seperti itu, wajahku seram begitu?” tanyanya ketus.“Iya sih Mbak,” jawab Suratman pelan.“Ap
“Iya, memang kenapa, Pakde?” tanya Suratman yang terkejut melihat ekspresi mereka bertiga.“Ngapain berhenti kerja, kan sayang? Posisi jabatan Siska itu bagus sesuai dengan kingerjanya, dan jika dia berhenti lalu masuk kembali otomatis kan sangat berbeda,” jawab Pakde Karso dengan nada sedikit meninggi.“Lah, ngapain kerja toh Pakde, ada aku suaminya yang selalu memenuhi kebutuhannya, lebih baik Siska hanya perhatian sama anak kami saja,” kilah Suratman yang masih tetap ingin istrinya berhenti bekerja.“Man, zaman sekarang itu susah cari kerja dan sekarang kamu sia-siakan kesempatan yang ada, kalau menurut Bude jangan toh berhenti, kan ada kita-kita yang akan menjaga anak kalian, iya kan?” Bude Asri ikut membela suaminya agar Siska tetap bekerja.Suratman tidak memedulikan mereka yang berbicara, dia lebih fokus kepada istrinya saja.“Bagaimana Sayang, kamu mau kan? Bukannya itu yang kamu mau selama ini?”“Dengan begitu kamu bisa setiap hari melihat tumbuh kembangnya anak kita, tidak
“Hahaha ... pinjam uang ... hahaha ... mau melunasinya ... mimpi apa aku semalam, Sayang?” tawa Suratman tak bisa terbendung lagi.Mereka semua terdiam dan menunduk tidak bisa membela dirinya, karena apa yang dikatakan Siska benar adanya.“Mas ... Mas!” Siska menarik pakaian suaminya dan memberi kode agar berhenti tertawa.“Oh, iya ... iya, maaf Pakde, nggak sengaja!”“Terus berapa yang kalian mau pinjam satu, dua juta, tiga juta atau lima juta, kalau hanya segitu aku bisa kasih, berapa nomor rekening Pakde, biar aku transfer sekarang,” jelasnya sembari mengutak -atik ponselnya.Pakde Karso lalu dengan senang hati memberikan nomor rekeningnya kepada Suratman.Dirinya pun mengetik diaplikasi tersebut dan menekan nominal yang diinginkan. “Berapa yang Pakde butuh kan?” tanyanya lagi tanpa melihat ekspresi wajah Pakde Karso yang bahagia.“Nggak jelas banget ini, Mas Ratman, katanya benci kok maunya dia memberikan pinjaman atau jangan-jangan dia pikir satu juta padahal kan satu milyar, ah
“Kamu mengusir kami, Man?” tanya Pakde dengan amarah.“Maaf Pakde, bukannya tidak sopan, kalian membicarakan masalah ini di saat Siska baru saja melahirkan, seharusnya ini adalah hari yang membahagiakan tetapi malah kami mendapat berita seperti ini.”“Kalian harus paham juga kalau seorang Ibu yang baru melahirlan itu jiwa dan hatinya harus rileks, tenang dan bahagia. Aku nggak mau istriku memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti ini!”“Siska tidak bisa seperti dulu yang bisa membantu kalian setiap saat, dia punya keluarga, dia harus mengurus keluarganya sendiri, lagian bukan Siska yang menafkahi kalian!”“Siska hanya membantu jika memang kalian sangat-sangat membutuhkan, tetapi sekarang waktunya kalian mandiri, jangan selalu mengharapkan tangan orang lain.”“Pakde tahu, saudara kembarku saja dari sekolah sampai kami menikah dan sama-sama punya anak, tidak pernah sepatah katapun dari mulutnya untuk meminta bantuan sekecil apa pun, dia tidak pernah menyusahkan aku sebagai saudara
“Aku ... aku nggak mau lah kalau Suratmin menjadi satpam di rumah, nanti kalau ada temanku yang lihat wajah kita sama malu lah aku, punya saudara miskin seperti dia,” jawabnya cemberut.“Ya Allah, Mas, bukan maunya dia juga kali menjadi miskin, dan siapa tahu suatu hari nanti mereka juga kaya seperti kita!”“Kita kan nggak tahu Mas, masa dia mau miskin terus, nggak boleh gitu sama saudara, dia sangat berbeda dengan keluargaku, Mas!”“Kok, kamu sekarang membela mereka sih, kamu nggak lagi sakit, kan?”ejek Suratman menatap tajam ke arah istrinya.“Kamu sadar nggak sih, selama ini kita secara tidak langsung telah menzalimi saudaramu sendiri?” tanya Siska yang mulai. “Apa maksudmu, Sayang?” Suratman pura-pura tidak terlalu menghiraukan perkataan istrinya. Kedua matanya kembali tertuju ke arah benda layar canggih itu di depannya.“Bukannya selama ini kita selalu yang menyusahkan mereka, selalu minta makan dengan mereka, bahkan kita tidak pernah bersedekah kepada mereka?”“Apakah mungkin k
“Nggak ... nggak ada Sayang, kamu salah dengar kali, memang aku sebut apa tadi?” tanyanya pura-pura tidak tahu.“Itu tadi apaan, aku dengar sendiri Mas, kalau kamu bilang pulang ke rumah Ommu, maksudnya apa coba?” tanyanya kembali.“Suratman lalu menaruh kembali bayi mereka di box bayi itu, setelah itu menyibukkan dirinya untuk berbenah.“Mas, ada apa, kamu terlihat gugup seperti ini, atau ada yang kamu sembunyikan juga Mas, dari aku?” “Kenapa sih kalau suami itu menuntut istrinya harus bersikap jujur, nggak boleh berbohong dan marah-marah, sedangkan giliran suami yang tidak jujur saja hanya senyam-senyum nggak jelas gitu!”“Mas, kita bukan anak kecil lagi yang suka main petak umpet begini, ayuk dong, Mas!”“Atau begini saja mulai hari ini, detik ini juga kita putuskan untuk saling terbuka, tidak ada rahasia-rahasiaan lagi, bangun kemistri diantara kita, Mas!”“Sekarang kita sudah punya anak, dan aku perlu semangat, dukungan dari orang-orang sekitarku, terutama kamu, Mas, sebagai su