“Iya, memang kenapa, Pakde?” tanya Suratman yang terkejut melihat ekspresi mereka bertiga.“Ngapain berhenti kerja, kan sayang? Posisi jabatan Siska itu bagus sesuai dengan kingerjanya, dan jika dia berhenti lalu masuk kembali otomatis kan sangat berbeda,” jawab Pakde Karso dengan nada sedikit meninggi.“Lah, ngapain kerja toh Pakde, ada aku suaminya yang selalu memenuhi kebutuhannya, lebih baik Siska hanya perhatian sama anak kami saja,” kilah Suratman yang masih tetap ingin istrinya berhenti bekerja.“Man, zaman sekarang itu susah cari kerja dan sekarang kamu sia-siakan kesempatan yang ada, kalau menurut Bude jangan toh berhenti, kan ada kita-kita yang akan menjaga anak kalian, iya kan?” Bude Asri ikut membela suaminya agar Siska tetap bekerja.Suratman tidak memedulikan mereka yang berbicara, dia lebih fokus kepada istrinya saja.“Bagaimana Sayang, kamu mau kan? Bukannya itu yang kamu mau selama ini?”“Dengan begitu kamu bisa setiap hari melihat tumbuh kembangnya anak kita, tidak
“Hahaha ... pinjam uang ... hahaha ... mau melunasinya ... mimpi apa aku semalam, Sayang?” tawa Suratman tak bisa terbendung lagi.Mereka semua terdiam dan menunduk tidak bisa membela dirinya, karena apa yang dikatakan Siska benar adanya.“Mas ... Mas!” Siska menarik pakaian suaminya dan memberi kode agar berhenti tertawa.“Oh, iya ... iya, maaf Pakde, nggak sengaja!”“Terus berapa yang kalian mau pinjam satu, dua juta, tiga juta atau lima juta, kalau hanya segitu aku bisa kasih, berapa nomor rekening Pakde, biar aku transfer sekarang,” jelasnya sembari mengutak -atik ponselnya.Pakde Karso lalu dengan senang hati memberikan nomor rekeningnya kepada Suratman.Dirinya pun mengetik diaplikasi tersebut dan menekan nominal yang diinginkan. “Berapa yang Pakde butuh kan?” tanyanya lagi tanpa melihat ekspresi wajah Pakde Karso yang bahagia.“Nggak jelas banget ini, Mas Ratman, katanya benci kok maunya dia memberikan pinjaman atau jangan-jangan dia pikir satu juta padahal kan satu milyar, ah
“Kamu mengusir kami, Man?” tanya Pakde dengan amarah.“Maaf Pakde, bukannya tidak sopan, kalian membicarakan masalah ini di saat Siska baru saja melahirkan, seharusnya ini adalah hari yang membahagiakan tetapi malah kami mendapat berita seperti ini.”“Kalian harus paham juga kalau seorang Ibu yang baru melahirlan itu jiwa dan hatinya harus rileks, tenang dan bahagia. Aku nggak mau istriku memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti ini!”“Siska tidak bisa seperti dulu yang bisa membantu kalian setiap saat, dia punya keluarga, dia harus mengurus keluarganya sendiri, lagian bukan Siska yang menafkahi kalian!”“Siska hanya membantu jika memang kalian sangat-sangat membutuhkan, tetapi sekarang waktunya kalian mandiri, jangan selalu mengharapkan tangan orang lain.”“Pakde tahu, saudara kembarku saja dari sekolah sampai kami menikah dan sama-sama punya anak, tidak pernah sepatah katapun dari mulutnya untuk meminta bantuan sekecil apa pun, dia tidak pernah menyusahkan aku sebagai saudara
“Aku ... aku nggak mau lah kalau Suratmin menjadi satpam di rumah, nanti kalau ada temanku yang lihat wajah kita sama malu lah aku, punya saudara miskin seperti dia,” jawabnya cemberut.“Ya Allah, Mas, bukan maunya dia juga kali menjadi miskin, dan siapa tahu suatu hari nanti mereka juga kaya seperti kita!”“Kita kan nggak tahu Mas, masa dia mau miskin terus, nggak boleh gitu sama saudara, dia sangat berbeda dengan keluargaku, Mas!”“Kok, kamu sekarang membela mereka sih, kamu nggak lagi sakit, kan?”ejek Suratman menatap tajam ke arah istrinya.“Kamu sadar nggak sih, selama ini kita secara tidak langsung telah menzalimi saudaramu sendiri?” tanya Siska yang mulai. “Apa maksudmu, Sayang?” Suratman pura-pura tidak terlalu menghiraukan perkataan istrinya. Kedua matanya kembali tertuju ke arah benda layar canggih itu di depannya.“Bukannya selama ini kita selalu yang menyusahkan mereka, selalu minta makan dengan mereka, bahkan kita tidak pernah bersedekah kepada mereka?”“Apakah mungkin k
“Nggak ... nggak ada Sayang, kamu salah dengar kali, memang aku sebut apa tadi?” tanyanya pura-pura tidak tahu.“Itu tadi apaan, aku dengar sendiri Mas, kalau kamu bilang pulang ke rumah Ommu, maksudnya apa coba?” tanyanya kembali.“Suratman lalu menaruh kembali bayi mereka di box bayi itu, setelah itu menyibukkan dirinya untuk berbenah.“Mas, ada apa, kamu terlihat gugup seperti ini, atau ada yang kamu sembunyikan juga Mas, dari aku?” “Kenapa sih kalau suami itu menuntut istrinya harus bersikap jujur, nggak boleh berbohong dan marah-marah, sedangkan giliran suami yang tidak jujur saja hanya senyam-senyum nggak jelas gitu!”“Mas, kita bukan anak kecil lagi yang suka main petak umpet begini, ayuk dong, Mas!”“Atau begini saja mulai hari ini, detik ini juga kita putuskan untuk saling terbuka, tidak ada rahasia-rahasiaan lagi, bangun kemistri diantara kita, Mas!”“Sekarang kita sudah punya anak, dan aku perlu semangat, dukungan dari orang-orang sekitarku, terutama kamu, Mas, sebagai su
“Astagfirullahaladzim, kamu kalau ngomong nggak ada remnya itu mulut, ya enggak lah, aku ini masih waras, itu namanya musyrik!” Suratmin berdecak kesal dengan tingkah laku saudaranya itu yang belum bisa berubah.“Terus dapat uang dari mana kamu bisa beli kambing?” tanyanya menyelidik.“Yang jelas pantang dalam hidupku untuk melakkukan cara yang kotor apalagi tidak halal, kamu tahu sendiri bagaimana perjuanganku untuk bisa membantumu mengejar impianmu!”“Kuharap kamu ingat itu, Man!”“Jadi kamu sekarang main perhitungan sama aku, kamu nggak ihklas membantu aku, itu maksudmu, Min?” tanyanya dengan sedikit emosi.“Man, aku memang ihklas membantu kamu tetapi bukan berati kamu selalu mengatakan hal-hal yang kasar kepadaku!”“Aku memang selama ini diam bukan berati aku lemah, tidak bisa melawan, tetapi untuk apa aku bertengkar dengan saudaraku sendiri?”“Aku nggak tahu kapan kamu kan bisa mengubah jalan pikirmu, tetapi aku yakin suatu hari nanti kamu bisa mengerti artinya hidup sesungguhny
[Iya, bagaimana? Kok lama banget sih, apa saja kerja kamu, ini sudah dua hari, Bambang!][Ya, maaf, Bos, soalnya saya harus menyertakan bukti agar apa yang saya cari memang benar dan betul-betul sudah beres, di jamin Bos akan puas dengan kerja saya][Oke, sekarang berita apa yang kamu dapatkan semoga tidak mengecewakan saya][Iya, Bos dijamin seratus persen, siap!][Begini Bos, apa yang Bos takutkan ternyata benar, rumah yang Pakde Karso tempati selama ini memang sudah beralih nama dan sudah di jual sama mereka satu tahun yang lalu][Apa kamu bilang?, Tunggu dulu, jangan bicara dulu, biar istri saya ikut mendengarkan kelakuan Pakdenya yang selalu dia hormati itu][B-baik, Bos]Suratman masuk kembali ke rumah memanggil-mangil istrinya dengan wajah kesal.“Sayang!” Sayang!” teriakannya.“Loh, kamu belum berangkat, Mas?”“Ada apa lagi, kok wajahnya manyun gitu?” tanya Siska penasaran.“Kamu mau tahu kan, apa yang dilakukan sama Pakdemu yang gendeng itu sama rumah almarhum bapakmu, kan?”
“Terima kasih Mbok!”***Suratman segera naik ke mobil kesayangannya dan masih memikirkan masalah Pakdhe Karso.“Jo?” panggil Suratman saat di pos jaga.“Iya, ada Bos?”“Kerahkan anak buahmu ya, jangan sampai ada yang masuk ke rumah ini, walaupun dia mau bertemu dengan Ibu, bilang saja tidak terima tamu!”“Saya mau ke rumah sakit sebentar mau mengambil akta lahir anak saya, tolong kamu juga rumah ini, jangan ada yang ingin menerobos masuk ke dalam, ingat itu!” perintah Suratman kepada anak buahnya.“Siap, Bos!” “Oke, terima kasih!”Akhirnya Suratman pergi melajukan kendaraannya setelah memberi perintah kepada anak buahnya.Butuh setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Selama di perjalanan Suratman tidak tenang pikirannya terlebih lagi masalah tentang Pakde Karso.Sudah dua hari ini Suratman tidak mendengar kabar dari mereka, dia pun penasaran, sebelum melihat langsung bagaimana keadaan kontrakannya yang sengaja dipakai sementara oleh mereka.“Aku ingin tahu apa yang dilakukan denga