[Iya, bagaimana? Kok lama banget sih, apa saja kerja kamu, ini sudah dua hari, Bambang!][Ya, maaf, Bos, soalnya saya harus menyertakan bukti agar apa yang saya cari memang benar dan betul-betul sudah beres, di jamin Bos akan puas dengan kerja saya][Oke, sekarang berita apa yang kamu dapatkan semoga tidak mengecewakan saya][Iya, Bos dijamin seratus persen, siap!][Begini Bos, apa yang Bos takutkan ternyata benar, rumah yang Pakde Karso tempati selama ini memang sudah beralih nama dan sudah di jual sama mereka satu tahun yang lalu][Apa kamu bilang?, Tunggu dulu, jangan bicara dulu, biar istri saya ikut mendengarkan kelakuan Pakdenya yang selalu dia hormati itu][B-baik, Bos]Suratman masuk kembali ke rumah memanggil-mangil istrinya dengan wajah kesal.“Sayang!” Sayang!” teriakannya.“Loh, kamu belum berangkat, Mas?”“Ada apa lagi, kok wajahnya manyun gitu?” tanya Siska penasaran.“Kamu mau tahu kan, apa yang dilakukan sama Pakdemu yang gendeng itu sama rumah almarhum bapakmu, kan?”
“Terima kasih Mbok!”***Suratman segera naik ke mobil kesayangannya dan masih memikirkan masalah Pakdhe Karso.“Jo?” panggil Suratman saat di pos jaga.“Iya, ada Bos?”“Kerahkan anak buahmu ya, jangan sampai ada yang masuk ke rumah ini, walaupun dia mau bertemu dengan Ibu, bilang saja tidak terima tamu!”“Saya mau ke rumah sakit sebentar mau mengambil akta lahir anak saya, tolong kamu juga rumah ini, jangan ada yang ingin menerobos masuk ke dalam, ingat itu!” perintah Suratman kepada anak buahnya.“Siap, Bos!” “Oke, terima kasih!”Akhirnya Suratman pergi melajukan kendaraannya setelah memberi perintah kepada anak buahnya.Butuh setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Selama di perjalanan Suratman tidak tenang pikirannya terlebih lagi masalah tentang Pakde Karso.Sudah dua hari ini Suratman tidak mendengar kabar dari mereka, dia pun penasaran, sebelum melihat langsung bagaimana keadaan kontrakannya yang sengaja dipakai sementara oleh mereka.“Aku ingin tahu apa yang dilakukan denga
“Memang kenapa Bule, mereka ada buat ulah lagi?” tanya Suratman bingung.“Ah, Pakdemu itu memang kebangetan, semuanya sok kaya banget, omongannya itu loh!”“Kalau ditanya pasti bilangnya saya ini sebenarnya orang kaya cuma kepepet tinggal di sini!”“Memang betul ya mereka orang kaya?” tanya Bule Mimin penasaran.“Ya nggak lah, Bule, kaya dari mana, kerjaannya cuma makan tidur doang, kaki dan tangannya itu malas untuk digerakkan, tetapi kalau tangannya untuk meminta pasti mereka ada di garis terdepan,” ledek Suratman tersenyum sinis.“Katanya dia punya rumah di Surabaya lebih besar dari rumahmu di sini, cuma sayang rumahnya sudah di jual untuk biaya berobat istrinya, terus buat investasi ternyata ditipu, lalu uangnya di rampok pula, miris banget deh!”“Katanya juga anaknya si Dodi itu difitnah dikerjaannya sehingga dia harus membayar ganti rugi, makanya dia mau nggak mau meminta bantuan kamu, karena sudah habis semuanya dan mau ngutang lagi takut nggak bisa bayar.” “Sebenarnya malu,
Suratman memperhatikan postur tubuh Suratmin yang memang lebih besar dan berotot, tangan yang hitam legam dan banyak urat yang keluar menandakan Suratmin bekerja keras sepanjang hari.Suratman memegang pundak Suratmin, dan terasa keras dan kokoh seperti batu.Suratman mengenang masa lalu saat dirinya pun di bonceng saat naik sepeda menyelusuri jalanan terjal dan sambil bernyanyi riang.Kenangan demi kenangan muncul di benak pikirannya, saat Suratmin selalu membantunya dalam keadaan apa pun, tanpa terasa kedua matanya pun mulai berembun.Suratman masih bisa mencium bau keringat dari Suratmin yang tidak pernah dia lupakan dan masih sama dan mengingatkannya kembali kepada kenangan itu yang membuat Suratmin mendapatkan siksaan dari temannya gara-gara ulah jahil Suratman.“Man!” Mas Ratman!” panggilnya.“Sudah sampai ya?”“Iya tuh, mobilmu sudah nangkring, hayo kamu melamun ya?”“Pasti ingat waktu aku bonceng naik sepeda, kan?” ledeknya tersenyum.“Sok tahu kamu!”“Ya sudah hati-hati di ja
“Pokoknya saya mau bertemu dengan Mbak Lulu, soalnya dengan dia saya memberikan semua berkasnya!”“Masa nama anak saya begini dan ini sudah jadi lagi, malu dong!”“Anak saya itu cantik, imut-imut, kulitnya putih, hidungnya mancung , kedua matanya bulat seperti telur, masa namanya Wahyu Bakti Husada, tertukar kali dengan nama anak sampean, iya kan, ayo mengaku!”“Sampean nggak cocok pakai nama begituan, sudah miskin belagu, kenapa sih orang miskin itu harus sombong untungnya apa coba!” Suratman tidak terima lantaran nama anaknya tidak sesuai dengan keinginannya, dia pun ingin memperkarakan masalah ini dan menuntut rumah sakit dengan tuntutan pelayanan yang tidak memuaskan.Untuk menghindari kekacauan, baik Suratman dan pria itu di bawa ke tempat lain di dalam ruangan lain.Pihak humas rumah sakit sampai-sampai turun tangan karena ulah Suratman yang ingin menyebarkan masalah ini menjadi viral di media sosial.Bapak tua itu menghentikan aksinya, dan mengatakan sebelum mencari tahu siapa
“Sudah Bos, teleponnya?” tanya Parjo ingin mengambil ponselnya dari Suratman.“Sudah, kenapa?”“Itu Bos punya saya,” jawabnya sambil menunjuk ponsel miliknya di tangan Suratman.“Ini!” Suratman memberikan ponsel kepadanya dan berlalu pergi meninggalkan Parjo.Saat ingin masuk ke ruangan tadi dia berpapasan dengan pria yang dikatakan miskin itu, tetapi lebih terkejut lagi karena yang diajak bertemu dan berbicara dengannya Suratman sangat mengenalnya.Dia adalah salah satu nasabah di banknya dan terkenal sebagai istri seorang pengusaha properti.“Loh Bu Delia kan?” tanyanya terkejut saat melihat mereka berdua akrab.“Pak Suratman ya, apa kabar Pak? Sudah lahiran juga ya ternyata?” tanyanya dengan ramah.“I-iya Bu, dan Bu Delia sudah melahirkan juga ya, sampai lupa kalau usia kandungan Bu Delia dan istri saya hampir sama beda dua minggu saja, duluan Bu Delia,” jelasnya sedikit kaku tetapi sok akrab.“Oh ya Pak Ratman, belum kenal dengan suami saya kan, katanya mau kenalan sama suami say
Pak Aryan menghela napas panjang dan membuang kasar napasnya, dia melipat tangannya di dada, sembari memperhatikan wajah Suratman yang terlihat panik.“Begini Pak Ratman, saya hanya ingin mengingatkan Bapak, seperti yang saya bilang tadi sebelum menyimpulkan sesuatu hendaknya diteliti dulu, untung saja Pak Ratman tidak memviralkan masalah ini di sosial media, coba kalau sudah Bapak harus mengklarifikasinya atau tidak paling masuk bui karena sudah mencemarkan nama baik apalagi rumah sakit sebesar ini, dengan minta maaf tidak akan menyelesaikan masalah kalau sudah masuk laporannya ke pihak kepolisian.“Namun, saya tidak akan memberikan hukuman apa pun, anggaplah ini suatu pelajaran untuk kita semua, namanya juga manusia ada khilafnya,” jelas Pak Aryan dengan ramah.“Jadi saya nggak dikasih hukuman sama Pak Aryan?” tanyanya untuk meyakinkan.“Nggak lah Pak, yang penting Pak Ratman kan sudah mau mengakui kesalahannya, jadi tidak perlu ada hukuman lagi lah,” jelas Pak Aryan tersenyum.“Wah
“Lihat itu Mas, kelakuan saudaramu itu kalau masalah rumah pasti pergi menghindar, lama-lama kalau aku stres bisa-bisa aku kasih tahu Pak RT masalah ini biar semua orang tahu kelakuan saudaramu, nggak ada akhlaknya sama sekali!”“Menghina sesukanya, bilang kita orang miskin pula, seharusnya mereka yang malu, ini malah kita yang mengemis minta rumah kita sendiri!”“Lihat saja Mas, kalau dia selalu begitu sifatnya sama kamu, saudaranya sendiri nggak bakalan hidupnya berkah, makanya keluarganya Siska itu selalu merongrong dia.”“Aku curiga dulu mas Ratman mau menikahi mbak Siska karena dia kaya kan?” selidik Susi cemberut.“Sudahlah, Dek, nggak usah dibahas lagi, biarkan sampai di mana dia mau mengembalikan rumah kita itu.”“Doakan saja semoga dia menyadari apa yang dilakukannya mudah-mudahan Masmu ini bisa membelikan rumah yang lebih bagus dari itu.”“Jika berjodoh rumah itu akan kembali kepada kita,” jelas Suratmin santai.“Ah, sudahlah, lebih aku mau masak sebentar, minta tolong Mas,