Suratman memperhatikan postur tubuh Suratmin yang memang lebih besar dan berotot, tangan yang hitam legam dan banyak urat yang keluar menandakan Suratmin bekerja keras sepanjang hari.Suratman memegang pundak Suratmin, dan terasa keras dan kokoh seperti batu.Suratman mengenang masa lalu saat dirinya pun di bonceng saat naik sepeda menyelusuri jalanan terjal dan sambil bernyanyi riang.Kenangan demi kenangan muncul di benak pikirannya, saat Suratmin selalu membantunya dalam keadaan apa pun, tanpa terasa kedua matanya pun mulai berembun.Suratman masih bisa mencium bau keringat dari Suratmin yang tidak pernah dia lupakan dan masih sama dan mengingatkannya kembali kepada kenangan itu yang membuat Suratmin mendapatkan siksaan dari temannya gara-gara ulah jahil Suratman.“Man!” Mas Ratman!” panggilnya.“Sudah sampai ya?”“Iya tuh, mobilmu sudah nangkring, hayo kamu melamun ya?”“Pasti ingat waktu aku bonceng naik sepeda, kan?” ledeknya tersenyum.“Sok tahu kamu!”“Ya sudah hati-hati di ja
“Pokoknya saya mau bertemu dengan Mbak Lulu, soalnya dengan dia saya memberikan semua berkasnya!”“Masa nama anak saya begini dan ini sudah jadi lagi, malu dong!”“Anak saya itu cantik, imut-imut, kulitnya putih, hidungnya mancung , kedua matanya bulat seperti telur, masa namanya Wahyu Bakti Husada, tertukar kali dengan nama anak sampean, iya kan, ayo mengaku!”“Sampean nggak cocok pakai nama begituan, sudah miskin belagu, kenapa sih orang miskin itu harus sombong untungnya apa coba!” Suratman tidak terima lantaran nama anaknya tidak sesuai dengan keinginannya, dia pun ingin memperkarakan masalah ini dan menuntut rumah sakit dengan tuntutan pelayanan yang tidak memuaskan.Untuk menghindari kekacauan, baik Suratman dan pria itu di bawa ke tempat lain di dalam ruangan lain.Pihak humas rumah sakit sampai-sampai turun tangan karena ulah Suratman yang ingin menyebarkan masalah ini menjadi viral di media sosial.Bapak tua itu menghentikan aksinya, dan mengatakan sebelum mencari tahu siapa
“Sudah Bos, teleponnya?” tanya Parjo ingin mengambil ponselnya dari Suratman.“Sudah, kenapa?”“Itu Bos punya saya,” jawabnya sambil menunjuk ponsel miliknya di tangan Suratman.“Ini!” Suratman memberikan ponsel kepadanya dan berlalu pergi meninggalkan Parjo.Saat ingin masuk ke ruangan tadi dia berpapasan dengan pria yang dikatakan miskin itu, tetapi lebih terkejut lagi karena yang diajak bertemu dan berbicara dengannya Suratman sangat mengenalnya.Dia adalah salah satu nasabah di banknya dan terkenal sebagai istri seorang pengusaha properti.“Loh Bu Delia kan?” tanyanya terkejut saat melihat mereka berdua akrab.“Pak Suratman ya, apa kabar Pak? Sudah lahiran juga ya ternyata?” tanyanya dengan ramah.“I-iya Bu, dan Bu Delia sudah melahirkan juga ya, sampai lupa kalau usia kandungan Bu Delia dan istri saya hampir sama beda dua minggu saja, duluan Bu Delia,” jelasnya sedikit kaku tetapi sok akrab.“Oh ya Pak Ratman, belum kenal dengan suami saya kan, katanya mau kenalan sama suami say
Pak Aryan menghela napas panjang dan membuang kasar napasnya, dia melipat tangannya di dada, sembari memperhatikan wajah Suratman yang terlihat panik.“Begini Pak Ratman, saya hanya ingin mengingatkan Bapak, seperti yang saya bilang tadi sebelum menyimpulkan sesuatu hendaknya diteliti dulu, untung saja Pak Ratman tidak memviralkan masalah ini di sosial media, coba kalau sudah Bapak harus mengklarifikasinya atau tidak paling masuk bui karena sudah mencemarkan nama baik apalagi rumah sakit sebesar ini, dengan minta maaf tidak akan menyelesaikan masalah kalau sudah masuk laporannya ke pihak kepolisian.“Namun, saya tidak akan memberikan hukuman apa pun, anggaplah ini suatu pelajaran untuk kita semua, namanya juga manusia ada khilafnya,” jelas Pak Aryan dengan ramah.“Jadi saya nggak dikasih hukuman sama Pak Aryan?” tanyanya untuk meyakinkan.“Nggak lah Pak, yang penting Pak Ratman kan sudah mau mengakui kesalahannya, jadi tidak perlu ada hukuman lagi lah,” jelas Pak Aryan tersenyum.“Wah
“Lihat itu Mas, kelakuan saudaramu itu kalau masalah rumah pasti pergi menghindar, lama-lama kalau aku stres bisa-bisa aku kasih tahu Pak RT masalah ini biar semua orang tahu kelakuan saudaramu, nggak ada akhlaknya sama sekali!”“Menghina sesukanya, bilang kita orang miskin pula, seharusnya mereka yang malu, ini malah kita yang mengemis minta rumah kita sendiri!”“Lihat saja Mas, kalau dia selalu begitu sifatnya sama kamu, saudaranya sendiri nggak bakalan hidupnya berkah, makanya keluarganya Siska itu selalu merongrong dia.”“Aku curiga dulu mas Ratman mau menikahi mbak Siska karena dia kaya kan?” selidik Susi cemberut.“Sudahlah, Dek, nggak usah dibahas lagi, biarkan sampai di mana dia mau mengembalikan rumah kita itu.”“Doakan saja semoga dia menyadari apa yang dilakukannya mudah-mudahan Masmu ini bisa membelikan rumah yang lebih bagus dari itu.”“Jika berjodoh rumah itu akan kembali kepada kita,” jelas Suratmin santai.“Ah, sudahlah, lebih aku mau masak sebentar, minta tolong Mas,
“Aduh Sus, jangan pelit-pelit dong, makanan sebanyak ini kok nggak dibagi-bagi sama tetangga, daripada nanti basi sayangkan?” Bude Asri kembali menyahut.“Eh Bu Asri, sampean ini loh, nggak malu apa ngomong minta dibungkus di depan kami, mbok ya sadar sedikit kenapa, ini tamunya Susi dan Suratman belum datang, teman kerjanya Suratmin saja baru sebagian, nanti kalau sudah selesai baru bisa dibagi-bagikan, Susi juga ngerti nggak usah diajari,” bela Bu Ningsih sedikit kesal dengan tingkah laku mereka.“Duh tetangga pada ikut campur saja, rempong banget,” gerutunya ikutan kesal.“Sudah-sudah, makan saja dulu sepuasnya, kita lama-lama dulu di sini, biar kalau lapar bisa ambil lagi, nanti kalau sudah nggak banyak tamu kita pulang dan sekalian minta bungkus, gampang kan?” usul Pakde Karso berbisik.“Kamu benar juga, Pak, ya sudah kita ambil sepuasnya saja kapan lagi coba bisa makan enak,” ucap Bude Asri semringah.Mereka pun mengambil banyak makanan dan nggak tanggung-tanggung sehingga menja
“Iya, Mas, biar bagaimana pun juga dia tetap saudara kamu, bahkan saudara kembarmu, loh!”“Lagian kalau aku lihat kamu sangat ingin makan makanan di sana, iya kan? Siska menyemangati dirinya untuk pergi ke sana. “Ya sudah aku akan pergi sebentar saja ke sana, kamu di rumah saja dan nanti aku bawakan makanan dari sana,” ucapnya bersemangat.“Iya, salam buat mereka, kalau aku nggak bisa datang,” ucapnya lagi.“Beres.”Setelah merasa yakin dia pun pergi ke kamar dan segera berganti pakaian.“Aku harus tampil terbaik, biar orang memandangku, apalagi Suratmin mengundang keluarga benalu itu, pasti mereka buat malu saja di sana,” gerutunya sembari mencari pakaian yang cocok dipakai untuk pergi ke rumah Suratmin.Setelah dianggap oke, dia pun mengambil selembar amplop putih dan ingin memasukkan jumlah uang ke dalamnya.“Bagusnya aku kasih berapa ya? Lima ratus ribu kebanyakan kali, atau dua ratus ribu saja standar lah,” ucapnya sembari memasukkan dua lembar uang kertas berwarna merah itu.N
“Bisa-bisanya mereka bertanya denganku seperti itu, sok kenal sok dekat,” batinnya berkata.“Awas saja nanti buat ulah sama aku, tak babat habis sampean,” gerutunya dalam hati.“Oh maaf nggak ada loh aku menyindir kalian, memang begitu ya?” tanyanya polos.“Ya enggak lah, kata siapa kita berbuat seperti itu, hanya saja sekarang kami memang butuh pekerjaan, makanya mengungsi dulu ke sini siapa tahu ada rezekinya anak-anak jika kami tinggal di sini, cari suasana baru gitu,” kilah Budhe Asri, sekilas menatap tajam ke arah Dodi.“Ini si Dodi, mulutnya harus dirukiyah dulu ini bagusnya, jadi nggak asal ngomong. Kayak nggak ada saringannya?” cercanya dalam hati dengan geram.“Oh ya Sus, kamu kok bisa sih menikah dengan Suratmin bukan dengan Suratman, kalau dilihat-lihat Suratman itu lebih ganteng loh dari pada Suratmin?” celetuk Mbak Surti mengalihkan pembicaraan ke lain.“Ya namanya jodoh, Mbak,” jawabnya singkat.“Iya juga sih, cuma sayangnya miskin sih, kalau aku nggak mau lah cari sua