"Apa aku menanyakannya lagi? Bagaimana kalau aku di usir? Setidaknya kau mencoba Joan! Coba,"Joan berbicara pada dirinya sendiri, mengambil kaos polos berwarna hijau tua yang ada di lemarinya lalu keluar untuk kembali mengetuk kamar Kiana.
"Kiana … bolehkah kita berbicara? Aku butuh kepastian darimu," saat mencoba membuka pintu kamar itu kembali, ternyata sudah tak terkunci. Entah gadis itu lupa menguncinya atau memang sengaja."Ah, tak di kunci ternyata. Kiana aku masuk …,"saat memasuki kamar itu, Joan tak menemui siapapun. Namun terdengar suara Kiana yang tengah bersenandung di dalam kamar mandi."Sedang mandi rupanya, aku tunggu saja,"sembari menunggu Kiana, Joan mengelilingi kamar itu melihat apa saja yang gadis itu bawa dari rumahnya. Mulai dari make up, pakaian, hingga beberapa popok Jona pun tersedia di kamar itu."gadis ini sangat siapa siaga sekali, tak heran aku menyukainya,"Joan terkekeh kecil melihat itu, barang-barKiana akan menjelaskan semuanya pada Sena, setidaknya jika keberadaan Jona benar-benar ketahuan. Kiana bisa menjadikan gadis itu sebagai saksi jika Jona tidak lahir dari perbuatan kotor dirinya atau pun joan.Sena: baiklah aku akan menunggu di sana.Setelah 10 menit, Kiana akhirnya datang memakai Hoodie oversize dengan kacamata hitam dan topi. Walaupun tak terlalu terkenal, terkadang ada beberapa paparazi dari pihak media yang mengambil gambar dirinya tanpa izin. "Kau sebenarnya ada dimana? Dirumah tapi menolak keluar untukku? Atau kau tak ingin kita datang ke pesta bersama?"Sena langsung mencerca banyak pertanyaan pada Kiana, gadis itu bahkan belum sempat duduk.Sebelum menjawab pertanyaan dari Sena, Kiana memperhatikan sekitarnya. Pembicaraan mereka jangan sampai ada yang mengetahui, rahasia yang sebenarnya tak harus di ketahui oleh banyak orang. Namun karena keadaan, Kiana harus jujur pada beberapa orang tentang itu.Kiana menarik nafas dalam-dalam lalu menatap Sena dengan tajam."
"Siapa yang awalnya mau merawat Jona?"tanya Sena penasaran, hal yang mereka ghibahkan kali ini benar-benar membuatnya bersemangat."Joan, bahkan ia berhenti meminum alkohol dan ke club karena bayi kecil itu. Sungguh ajaib, kan?"jawab Kiana sembari membuat beberapa sketsa baju yang mungkin cocok untuk membuat foto keluarga nanti."Pak, nanti di depan sana ada toko bahan kue. Berhenti sebentar ya?"pinta Kiana masih serius menggambar itu di iPad miliknya, di tasnya selalu ada barang itu untuk mengisi kegabutannya di tengah keramaian."Loh, mau mampir lagi? Mau beli apa kamu di toko kue?"tanya Sena keheranan sembari memandang keluar jendela mobil, tampak beberapa kendaraan yang terjebak macet karena lampu merah rusak."Ini mama titip mau di belikan bahan kue, jika tidak ia terus saja mengancam ingin pulang terlebih dahulu,"jelas Kiana dengan bibir manyun.Sena tidak paham dengan perkataan Kiana, apa salahnya jika wani
"Ah, berhenti membicarakan hal seperti ini. Aku jadi jijik,"ucap Sena dengan ketus, kembali memainkan ponselnya."Sena, Sena … dilihat-lihat kau sama saja dengan Joan," ucap Kiana dengan suara berbisik, keras kepala Sena sama seperti Joan. gadis itu tak mau kalah sama sekali, ia harus tetap ada di atas."Mengapa aku terus saja di kirimkan orang-orang dengan duplikat seperti Joan?" Kiana menghela nafas panjang lalu menatap keluar jendela, suasana yang selalu sama setiap harinya. Bunyi mesin kendaraan dan beberapa orang-orang yang menawarkan cemilan ataupun koran yang sudah tak bernilai untuk zaman sekarang, semuanya sudah ada dalam satu alat yaitu ponsel. sangat di sayangkan waktu berlalu begitu cepat, banyak yang berubah tanpa sebab. dunia semakin tuan dan lelah melayani para manusia-manusia yang tak tahu diri.Sesampainya di rumah Joan, Kiana segera mengetuk pintu rumah dengan rasa lelah. Pasalnya barang-barang yang di ambil Leon sangatlah banyak, Kiana merasa banyak barang yang tak
"Ah, tidak mungkin. Sepertinya itu karena Joan lebih dekat dengan Jona jadi terlihat mirip, darah Jona saja O sedangkan Joan golongan darahnya AB jelaslah itu mematahkan semua argumen jika Joan adalah ayah biologisnya,"tegas Kiana, semuanya sudah jelas sebelum Jona masuk rumah sakit. Kiana sudah menebak jika bayi itu memang benar-benar bukan darah daging Joan, karena senakal-nakalnya Joan. Ia tak akan mau menyentuh wanita secara sembarangan, apalagi sampai menghamili wanita asing."dilihat-lihat Jona sedikit mirip dengan wajahmu juga,"ucap Sena dengan enteng."huh, Sena! berhenti berkata seperti itu, Jona bukanlah bagian dari keturunan keluargaku ataupun Joan, berhenti ya?"pinta Kiana."Sudah ada akte kelahiran dan kartu keluarganya?"tanya Sena sembari mengelus-elus lembut pipi chubby Jona."Belumlah! Mungkin Joan akan membuatnya saat Jona sudah berusia 1 tahun,"ucap Kiana sembari merapihkan beberapa pakaian dan popok Jona yang berantakan di atas meja.Mata sena menyipit mendengar uca
Merasa muak terus saja di goda oleh Joan, Kiana langsung menatap Joan dengan tatapan tajam. Tangan kanannya lalu memegang rahang tegas lelaki tampan itu." Dengar aku baik-baik Joan, aku tidak marah atas apapun padamu. Tolong berhenti," Kiana lalu bangkit dari posisinya pergi dari ruangan itu dengan langkah tergesa-gesa. "mengapa tanganmu terasa dingin Kiana? kau baik-baik saja,kan?" teriak Joan berbalik menatap punggung Kiana yang mulai menghilang."Kak Joan, minta tolong ambil Jona dulu. Aku mau kejar Kiana,"ucap sena segera memberikan Jona pada Joan, mereka para gadis pasti bisa membicarakan itu. sekaligus Sena sebagai jembatan untuk Joan agar mengetahui mengapa gadis itu.Tok! Tok! "Kiana … ini aku Sena, buka pintunya dong. Aku datang kesini tidak untuk melihat pertengkaran mu dengan Joan,"gerutu Sena dengan ketus membuat Kiana tersadar."bodoh sekali! mengapa aku mengikut campurkan masalah ini dengan Sena,"Kiana merasa bodoh, berulangkali memukul jidatnya.Kiana akhirnya membuka
"Aman …," Kiana menghela nafas lega berhasil menghindari Joan dengan mudah, rasanya sangat tenang.Hampir 30 menit Kiana berada di ruangan itu, Joan sengaja menunggu gadis itu di depan pintu dengan pakaian yang sudah rapih. Hanya saja ia tidak tahu cara memasang dasi, Joan sengaja tak meminta bantuan Dania agar bisa menjadikan itu sebagai alasan untuk meminta bantuan dari Kiana.Saat kunci pintu mulai terdengar di putar, Joan dengan cepat menerobos masuk keruangan itu, masih ingin menanyakan hal-hal yang mengganjal pikirannya. ia sudah frustasi memikirkan dimana letak kesalahannya sampai-sampai Kiana memberikan jarak dengan dirinya."Jo-an!" Belum sempat Kiana berucap Joan sudah menutup mulutnya dengan satu tangan, Mengunci satu tangan gadis itu dengan mudah.Kiana segera menutup matanya saat Joan mulai mendekati wajahnya mengambil ancang-ancang untuk menciumnya, entah mungkin disitulah first kissnya hilang atau tidak."Kau sangat berubah Kiana, membuat hatiku porak-poranda,"ucap Joan
Sena menggelang pelan."Ah, tidak mau. Aku tidak akan cocok memakai itu," terlalu sayang jika gaun itu di tukar, mereka berdua sudah rapih. Takut terjadi sesuatu pada masing-masing gaun itu jika mereka saling bertukar."Sudah siap?"suara Joan terdengar dari luar, lelaki tampan itu sepertinya sudah tidak sabar. Lagi pula jam sudah menunjukkan pukul 06.00 mereka harus segera bergegas karena jarak rumah Alen cukup jauh."Sudah Joan! Masuk saja,"teriak Sena dengan bersemangat, tidak tahu saja Kiana yang panik setengah mati."Sena!" Kiana ingin mencubit pinggang Sena namun dengan gesit gadis itu menghindar."Wah gadis-gadis ini cantik sekali,"ucap Joan dengan senyum miring, menatap ke arah Kiana dengan tatapan kagum."Apalagi yang memakai blazer itu,"celetuk Joan membuat Kiana menunduk malu, ia mencoba menahan perasaan senangnya. perasaan senang bukan main yang baru kali ini lagi Kiana rasakan."Ciee … bol
"Baiklah, silahkan keluar gadis-gadis," Joan menunduk menatap keduanya yang kebingungan dengan sikap lelaki tampan itu."Biar aku membantumu Kiana,"Sena kembali melirik mereka yang tampak mesra, sedangkan dirinya sungguh kesusahan dengan gaun berat ini."Ah, te-terima kasih Joan … beruntung memilikimu,"ucap Kiana dengan terbata-bata."Memilikiku? Namun belum sepenuhnya,"goda Joan dengan tatapan sayu, mengangkat sedikit kepalanya lalu menelan saliva membuat jakunnya naik turun."Maksudku memilikimu sebagai sahabat."Sena mengedarkan pandangannya di parkiran yang luas itu, matanya lalu tak sengaja melihat seorang lelaki yang tak asing di matanya."Aku duluan kiana, ada Jeremy di sana! Aku akan menjadi pasangan untuknya,"Sena berlari kegirangan saat mendapati Jeremy datang seorang diri, ini saatnya untuk mengambil hati lelaki yang cukup tampan itu dengan tubuhnya. Jeremy memang tampan hanya saja auranya kurang bersinar seperti Joan dan Alen, karena Jeremy lahir dari seorang ayah yang berw