Renata POV
Jantungku sudah dag dig dug…..
Suamiku melepas mukenaku kemudian ia melipat dengan rapi dan meletakkan diatas nakas tepatnya.
“Kita lanjutin ya, Sayang………”
Kudengar ia berdoa lirih sembari mencium dan meniup ubun-ubunku. Mungkin banyak pasangan yang sudah nggak sabar keburu tancap gas. Memang Mas Gavrielle juga begitu tapi dulu. Aku bersyukur setidaknya ia lebih tau adab belakangan ini.
“Mas……… “
“I Love You, Ren. Sejak dulu sampai nanti kita menua, jangan kamu ragukan aku dan kesetiaaanku. Aku bukan pria bejat yang akan melukaimu lagi. Believe me, Sayang.” Ia mengecup keningku dengan lembut.
Samar-samar ingatanku kembali pada peristiwa sewaktu Mas Gavrielle dulu menolongku sekaligus melakukan hal tak senonoh padaku. Perlahan ingatan itu menghilang di kepala tergantikan dengan wajahnya saat menghujaniku
Renata POVKuikat rambut tinggi dan kupoleskan lipstick tipis. Tak lupa maskara juga eyeliner.“Kenapa kita nggak pakai pakaian yang couple saja, Ren.” Mas Gavrielle menuangkan Jus Jeruk ke gelasku berikutnya menyodoriku sepiring Capcay.Ia sampai menjil** sendok bekas ia makan.”Emang enak banget apa Mas. Ngapain sampai begitu?” Ia justru tersenyum mengejek.“Kalau kurang makan saja punyaku. Mas lapar banget apa? Aku tadi sudah masak Rendang juga kok!” Lagi-lagi ia menggeleng pelan.“Kamu akan tahu nanti, sebaiknya kamu kenyangkan perutmu Sayang. Kalau nggak kenyang aku akan memaksamu supaya makan banyak.”Apa lagi trik suamiku ini. Mas Gavrielle belakangan jadi aneh juga lebih agresif. Apa aku yang terlalu bodoh tidak bisa membaca gelagat dan perangai suamiku.Kuturuti keinginan suamiku mengenyangkan perutku. Kami bergegas keluar basement. Ada
Jantungku hampir copot waktu beberapa bodyguard Papa Syaron merangsek masuk ke dalam ruangan.“Kamu pecundang Gavrielle Baskoro!”Mr. Matsuyama mengambil samurai yang ada di tembok.Tiba-tiba saja suamiku sudah menodongkan glock ke kepala Mr. Matsuyama.“Tuan rumah sudah seharusnya menjamu dengan baik tamunya, Tuan. Bukankah begitu?”Suamiku memperlihatkan jari telunjuknya yang tiba-tiba saja melepuh.“Ini yang Tuan maksud menjamu tamu dengan baik? How can! Anda terlalu menyepelekan wajah lugu kami, Tuan.”Mr. Matsuyama hendak menghunus samurai itu, namun bodyguard kepercayaannya menepis tangannya.“Tuan!”“Kita pergi Ren. Saya memang tak setangguh bodyguard Anda Tuan. Tapi bukan berarti saya tak bisa membaca niat buruk Anda. Saya tidak kebal racun, buktinya jari telunjuk saya melepuh, dalam waktu 2x 24 jam ka
Ponselku berdering saat lewat tengah malam. Nomor asing terpampang. Kugeser layarnya dan kutinggalkan ruang rawat suamiku. Dua perawat sedang minum teh di ruang tamu. Aku kurang nyaman sebtulnya kalau ada dua perawat pria yang menetap dirumah ini. Entahlah, namun tidak mungkin juga kalau perawat yang membantuku adalah wanita. Aku lebih tidak rela.“Selamat malam. Dengan siapa?”[Kamu masih mengenali suaraku bukan Renata?]“Nggak mungkin saya lupa, Mr. Matsuyama. Nggak perlu basa basi Tuan, apa yang Tuan inginkan dari perusahaan kami. Saya nggak menyangka Tuan begitu culas. Cih.”[Kamu ini masih saja sombong. Kamu lebih memilih suamimu sekarat selamanya, begitu?]“Ternyata memang benar, ada Udang di balik tembok, bukan di balik batu.”Buahagahaha.[Aku akan memberikan penawar racun itu asalkan kamu bersedia menjadi brand ambassador dari produk teh perusahaanku.]“Sudah saya duga, ternyata Tuan memang picik sekali.”[Kamu nggak punya sopan santun ternyata!]“Sudahlah Tuan Matsuyama, jan
“Paman Abdul! Paman?” Papa Syaron bergegas mendatangi pria yang tengah berada di kursi roda itu.Paman Abdul menganguk. Lalu mama menyusul papa ke ruang tamu.“Paman darimana bisa tahu keberadaan kami?”Papa mungkin lupa kalau dulu Meira lah yang menjemputku untuk kabur saat aku mengetahui kebenaran tentang hal buruk yang sudah dilakukan suamiku. Mungkin papa justru tidak tahu akan hal itu.“Renata.”Meira mendorong kursi roda Paman Abdul hingga mendekat padaku. Aku benar-benar tak tahu apa rencana sahabatku itu. Aku tak sanggup memikirkan banyak hal lagi, terutama masalah orang luar apalagi perusahaan. Yang kupikirkan adalah kesehatan suamiku dan keluarga besarku.Paman Abdul meraih tanganku. Dan beliau menjabat tanganku, aku tertegun. Memang banyak drama di keluargaku, tak kusangka ditengah keluarga besar konglo seperti keluargaku ini ternyata setiap hari kita bak jadi aktris atau aktor yan
[ Renata kapan kalian kemari, oh ya Meira. Kami sudah menyiapkan akomodasi buat kalian.]Ucapan dari Joya di video call disaksikan seluruh keluarga besar kami dan Paman Abdulloh Yusuf. Akhirnya terjawab sudah apa yang papa rencanakan di belakang kami. Papa mertuaku juga mamaku tipe yang dermawan juga bukan sosok yang pendendam. Aku sangat bersyukur sekali di terima oleh mertuaku.“Kami akan berangkat lusa. Terimakasih sekali lagi, Syaron. Kami pamit.”Papa mengangguk lalu Meira mendorong kursi roda Paman Abdulloh Yousuf keluar dari ruangan.Kami menyaksikan mobil Paman Abdulloh Yousuf keluar dari halaman rumah. Aku kembali ke kamar. Pemeriksaan dari dokter Pambudi selesai, beliau pun juga pamit undur diri. Ditengah-tengah kebahagiaan akan kesadaran suamiku, hatiku masih saja kalut mengingat janjiku pada Mr. Matsuyama. Kesehatan dan nyawa suamiku yang jadi taruhannya.Aku masuk ke kamar tamu, kulihat eyang putri sedang tidur nyenyak kedua bayiku sedang tidur di box mereka masing-masin
“Renata bukan maksudku begitu lho.”Akhirnya dia buka suara juga. Sebetulnya aku sangat dongkol, gara-gara kecerobohan juga niat gilanya membahayakan nyawa. Apa nggak ada cara lain selain mengorbankan diri akhirnya merugikan sendiri dan keluarga besar. Malah pakai ngomong aneh-aneh. Rasanya ingin kujewer telinga suamiku atau kujambak rambutnya. Tapi akan sangat kurang ajar sekali aku.“Huftttttt.”“Ren, kenapa gitu sih. Monyong aja bibirmu. Aku hanya bercanda.”Sudah ngomong ngalor ngidul. Katanya hanya bercanda.“Renata. Ngomong dong, jangan diam. Aku mau ke teras depan. Mau bantu aku pakai kursi roda?”Tring.Suara bel berbunyi. Akhirnya dua perawat jaga masuk ke dalam. Biarlah mereka yang membantu suamiku untuk duduk di kursi roda. Kenyataan tubuh Mas Gavrielle tidak terlalu kaku, bahkan kulihat Mas Gavrielle sudah leluasa menggerakkan kaki juga anggota tubuh yang lainnya.“Buk…… silahkan.” Suara perawat mengagetkanku.“Baik terimakasih, kalian bisa istirahat. Saya dan bapak akan j
Acara yang berbuntut drama. Kenapa nggak beda jauh dengan kantor sih, hebohnya!“Oke. Mas, Mbak. Bapak Ibu sekalian, boleh berfoto. Tapi ada syaratnya.”“Horeeeee” Teriak warga dengan girang. Harusnya aku bersyukur tapi euphoria itu tidak membuatku bahagia dan puas.“Apaan syaratnya atuh Bu Renata?”Keponakan Mang Ujang kepo sekali. Menyebalkan!“Maaf ya, Bapak Ibu. Suami saya sedang dalam kondisi kurang sehat. Jadi saya mohon sekali, jangan menyebarkan foto kami ke media sosial yang ada. Cukup Bapak Ibu simpan saja. Bisa!”Semua saling melirik. Aku sadar permintaaanku di luar rasional, di luar nurul. Wait and see, bagaimana cerita selanjutnya.“Susah atuh Bu Renata.”Suamiku melengos waktu mendengar perkataan keponakan Mang Ujang.“Jadi bagaimana?”Mas Gavrielle sudah memegang ujung roda, aku tahu dia pasti jengkel juga. Aku tahu betul, kalau dia mungkin kehilangan rasa percaya dirinya gara-gara traial dan erornya sendiri. Lantas aku harus bagaimana? Nggak salah juga kupikir kalau ak
“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk. “Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi. “Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku. “Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?” Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas. “Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula. “Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew