Kami sarapan bersama, tak ada yang membuka percakapan entah aku, Mas Hendra bahkan Firman sendiri. Kami semua diam, larut dalam pikiran masing-masing.Hingga selesai sarapan Mas Hendra pergi setelah aku mencium punggung tangannya. Kini tinggal aku dns Firman di rumah. Firman pun bangun dari kursinya. Kemudian menghampiriku, "Mbak, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik di dalam rumah," ucapnya, lalu pergi setelah mengecup keningku.Setelah kepergian mas Hendra dan juga Firman, aku duduk bersantai di ruang tamu sambil memegang sebuah album pernikahan kami. Aku mau buka setiap lembar yang ada di sana. Memandang wajahku saat pertama menikah, di sana terlihat aku bahagia bersuamikan Mas Hendra.Namun kini pernikahan kami sudah berantakan, Mas Hendra telah berselingkuh. Begitupun juga denganku telah membagi hati pada pria lain, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri.Aku sedikit merasa bersalah, namun semuanya sudah terlanjur. Aku tak mampu membohongi perasaanku kepada Firman. Bahwa a
Aku terbelalak, mataku mengerjap berkali-kali mencari alasan."Katakan, Winda. Jam tangan siapa ini?!" sentaknya.Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, "E—em, i-itu jam tangan milik—Firman." ucapku tergagap.Mas Hendra berjalan mendekat dengan tatapan tajam dan sulit ku artikan. Dia terus menatapku lekat. Kemudian terdengar suara tawa dari mulutnya, "Hahahaha, kenapa kau tegang seperti itu, sayang?""Tentu saja, aku tau ini jam tangan milik Firman. Tapi..... Kenapa bisa ada di kamar kita?" sambungnya.Napasku memburu, mataku bergerak liar mencari alasan."Ke—kemarin Firman kemari, dia bilang ingin meminjam charger milikmu. Jadi... Aku menyuruhnya untuk mengambil sendiri, dan mungkin saja, jam tangannya terlepas." katakut, aku masih harap-harap cemas memandang Mas Hendra yang tampak sedang berpikir."Oh begitu rupanya. Yasudah nanti biar aku kembalikan.""Tidak perlu, Mas.""Kenapa tidak perlu?""E—em, maksudku. Biar aku saja yang mengembalikan jam tangan itu. Kau mandi saja. Sini," ka
Prok prok prok!"Bagus, Bagaimana rasanya bercint@ dengan istriku selama ini, Hem?" ujar Mas Hendra melirik tajam ke arah Firman dan aku.Tu buhku bergetar hebat, akhirnya aku ketahuan."Kakak, Kau—" belum sempat Firman berbicara Mas Hendra sudah menarik kerah baju Firman kemudian memukulinya.Aku meringis ketakutan melihat kakak beradik berkelahi di depanku."Kur@ng aj4r! Beraninya kau Firman!"BUGH, BUGH! Mas Hendra memukuli Firman secara terus menerus tanpa henti, membuat Firman tak dapat membela diri."Adik si@lan! Beraninya kau men!duri istriku," Mas Hendra terlihat begitu marah, wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras."Kumohon, Kak. Ceraikan Mbak Winda, biarkan dia bersamaku." pinta Firman saat dirinya tumbang di lantai.Aku duduk di tepi ranj@ng menyaksikan pergul@tan keduanya. "No, no, no! Tidak akan! Aku tidak akan pernah menceraikan Winda," tukas Mas Hendra.Firman bangkit, kemudian menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Dia memegangi perutnya yang terasa sakit. Bekas
Aku segera bangun dan turun dari ranjang."Akhh..." pekikku saat merasakan organ intimku yang terasa perih. Sekuat tenaga aku melangkahkan kaki. Rasanya tidak sabar ingin melihat kondisi Firman.Dengan langkah tertatih aku keluar dari kamar. Aku segera berjalan menuju teras. Disana, aku bisa melihat Firman yang tengah berdebat dengan Mas Hendra."Mbak Winda!" panggil Firman, dia tersenyum melihatku yang berdiam di ambang pintu. Mas Hendra langsung menoleh. Kemudian berjalan dengan cepat menghampiriku."Masuk ke dalam!" sentak suamiku itu."Tidak, Mas. Aku ingin bertemu dengan Firman." Aku menatap ke arah Firman yang sedang memandangku. Dengan wajah yang penuh luka itu dia berjalan mendekat."Stop, Jangan mendekat!" ujar Mas Hendra.Firman yang semula hendak menghampiri kami langsung berhenti di tempat."Kak, ceraikan Mbak Winda. Biarkan dia bersamaku." lirihnya. Aku menatap Firman dalam, begitupun sebaliknya."Winda milikku. Dia masih sah sebagai istriku. Dan kau—" tunjuk Mas Hendra k
"Hentikan, Jangan sakiti Winda!" suara bariton seorang pria datang, kemudian memeluk tu buhkku.Mereka semua mundur ke belakang, aku menoleh ke arah pria yang kini berusaha untuk melindungiku dari cemoohan mereka yang terus menghinaku."Jangan sakiti, Winda. Dia istriku, aku memaafkannya." ujar suamiku.Aku menoleh ke arahnya, menatapnya lekat. Apa yang sedang dia perankan disini suami yang tersakiti? Cih! Bukankah dia juga pernah menghianatiku. Kenapa seolah-olah aku yang salah. Ini sangat tidak adil."Ayo, sayang. Kita pulang."Mas Hendra berusaha membantuku untuk berdiri. Kemudian menuntunku untuk kembali ke rumah. Aku menoleh ke arah Mbak Santi dan para tetanggaku yang lain. Tatapan mereka terlihat tidak bersahabat."Dasar ipar tak tau diri.""Wanita mand*l yang tak tau di untung,"Samar-samar aku masih bisa mendengar umpatan demi umpatan dari mereka. Aku memilih untuk mengabaikannya.Setiba di dalam rumah Mas Hendra mendudukanku di sofa. Kemudian dia ikut duduk di sebelahku."Ken
"Pulanglah, Winda!" sahut seseorang di sebrang telepon.Mataku membulat sempurna dengan tangan yang menggenggam telepon. Tanganku bergetar saat suara di sebrang sana adalah suara Mas Hendra. Bagaimana bisa ponsel Firman ada padanya?"M—Mas Hendra..." lirihku. Napasku tercekat."Keluarlah dari sana, aku menunggumu di mobil." Aku berbalik badan, di sebrang jalan ada Mas Hendra yang sedang memperhatikanku dari dalam mobil, tangannya menggenggam ponsel menerima panggilan dariku.Aku segera menutup telepon, aku tak habis pikir, kenapa ponsel Firman berada di tangan Mas Hendra. Aku keluar dari sana tatapanku menunduk ke bawah. Mas Hendra menjalankan mobilnya menghampiriku."Ayo, masuk!" ujarnya saat tiba di depanku.Ingin rasanya aku pergi dari sana, namun percuma saja, Mas Hendra takkan melepaskanku.Aku mende sah pelan, kemudian masuk ke dalam mobil. Mas Hendra melajukan mobilnya dengan cepat, hingga mobil berjalan meliuk-liuk. Aku bisa merasakan dirinya tengah di landa emosi."Kenapa kau
Mbak Santi mencari Firman di kamar mandi namun tak menemukannya.Dia terlihat stres, Mbak Santi keluar dari ruangan kemudian memanggil perawat."Perawat, perawat! Cepat kemari." teriak Mbak Santi.Seorang perawat tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Santi."Ada apa, Bu?""Dimana adikku Firman?" tanya nya menatap tajam ke arah sang perawat."Pasien bernama Firman, bukankah dia belum sadar? Bagaimana mungkin dia ada di tempatnya?""Oh astaga," Mbak Santi menepuk dahinya, dia lupa memanggil Dokter, jika Firman sudah sadar."Adik saya sudah sadar, saya lupa memberi tahu dokter. Dan sekarang dia tidak ada di ruangannya selang infusnya saja sudah di cabut paksa.""Apa pasien mengatakan ingin pergi ke suatu tempat sebelumnya, Bu?" tanya sang perawat.Mbak Santi bergeming di tempat, dia teringat permintaan Firman yang ingin bertemu denganku."Ya, aku tau dimana adikku sekarang, terimakasih perawat. Saya pergi dulu." Mbak Santi pergi dari sana membawa nasi kucing yang sempat dia beli tadi.***Di j
Aku terbangun beberapa jam kemudian, aku menatap langit-langit yang bernuansa putih. Tunggu, dulu. Ini bukan kamarku! Aku melihat ke sekeliling, tempat yang terasa dingin dan asing.Aku melirik ke sampingku, ada Mas Hendra yang tengah duduk, menelungkup kan kepalanya pada sisi ranjang. Tempat yang aku tiduri saat ini.Aku menyentuh kepalanya. Sebenarnya tidak berniat untuk mengganggu tidurnya, namun aku merasa tak nyaman berada disana.Mas Hendra menggeliat kala jari tanganku menyentuh rambutnya."Engh!" Mas Hendra mengucek matanya, kemudian tersenyum melihatku."Win, kau sudah bangun?" sapanya.Aku tersenyum simpul, " Mas, kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku, aku kebingungan. Seingatku aku hanya pingsan, tapi Mas Hendra malah membawaku ke rumah sakit. Lebay sekali."Tadi kau pingsan, Win. Aku takut kau kenapa-napa, apalagi kau pingsannya sangat lama. Jadi aku membawamu kemari." ujarnya."Kalau begitu.... Ayo kita pulang, Mas!" seruku."Sekarang sudah malam, kita pulang besok saja."