Sampai di rumah sakit besar di kota, Naima segera membawa ayahnya menuju ke ruang IGD karena memang kondisinya sangat lemah. Setelah melalui pemeriksaan tahap awal, ayah Naima tetap harus dirawat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan.
Naima menyetujuinya dan segera mengurus administrasi yang dibutuhkan. Athar dan Altav sudah pergi sejak ayah Naima masuk ke ruang IGD karena Naima menolak kedua pemuda itu untuk membantunya lebih banyak lagi. "Saya sungkan," Begitu jawab Naima saat Athar menawarkan bantuannya lagi, kedua pemuda itu tak berani memaksa lalu mereka pergi setelah memastikan ayah Naima sudah mendapat perawatan. "Sudah, Kak?" tanya Bela saat melihat Naima kembali ke depan ruang IGD. Naima hanya mengangguk sebagai jawaban lalu ikut duduk di sebelah adiknya itu. Tak lama, ayah Naima dipindahkan ke ruang perawatan. Naima sengaja memilih kelas 1 agar mereka lebih leluasa menjaga ayahnya karena di kelas itu satu ruangan berisi 2 pasien saja dengan ruangan yang cukup luas. Usai dipindahkan ke kamar, Naima meminta ijin pulang ke kosannya untuk meletakkan barang-barang mereka yang kini masih teronggok di pos satpam karena tadi Naima yang menitipkannya di sana. "Jangan lama-lama, Kak," pesan Bela sebelum Naima beranjak. "Iya, kalau ada apa-apa langsung telepon Kakak. Ini kamu pegang dulu, buat jaga-jaga kalau butuh sesuatu!" pesannya sembari memberikan sejumlah uang kepada Bela. Naima sedikit tenang meninggalkan Bela, karena ayahnya tadi tertidur dan ranjang pasien di sebelahnya masih kosong. Di sana juga disediakan sofa panjang untuk Bela bisa beristirahat. Naima bergegas mengambil barang-barangnya lalu memesan grab untuk mengantarnya ke kos-kosan yang selama ini dia tempati jika tak pulang ke rumah. Hari sudah gelap saat ia tiba di kosan, sejenak ia merebahkan diri di kasurnya, dia terlalu lelah hari ini hingga tanpa sadar ia terlelap begitu saja. Entah berapa lama Naima tertidur, sampai suara ketukan di pintu kamarnya terdengar samar. "Nai ... Naima ...." Lagi, suara seseorang memanggilnya dari luar. "Naima ... Kamu di dalam 'kan?" "Iya," sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur. Naima mengerjabkan mata beberapa kali sebelum bangkit untuk membuka pintu kamarnya. "Kenapa, Rim?" tanya Naima saat ia membuka pintu dan mendapati Rima berada di depan kamarnya. "Tadi kamu dicari Mbak Rere," beritahu rekan kerja Naima tersebut. "Aku sudah bilang kalau hari ini aku cuti, kok," sahut Naima heran. "Tadi juga beliau tanya, katanya kamu mau berhenti kerja gitu. Emang bener kamu mau berhenti, Nai?" tanya Rima lagi sembari mengekor Naima masuk ke dalam kamarnya. "Iya, Rim, tapi Bu Lusi belum kasih jawaban. Kalau hari ini emang cuti, tadinya mau langsung berhenti soalnya mau pulang ke Jogja tapi Bapak malah harus dirawat di rumah sakit." jawab Naima membuat Rima terkejut. "Kamu mau balik ke Jogja?" tanya Rima memastikan. Naima mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa?" "Kami mau hidup baru di kampung saja, Rim, Kalimantan terlalu berat buat kami," jawab Naima jujur. Rima mengangguk paham, benar apa yang dikatakan Naima karena Rima pun juga merasakan beratnya hidup di Kalimantan yang apa-apa serba mahal. Sedangkan gaji sebagai pelayan restoran tak seberapa. Dering ponsel Naima mengalihkan perhatian mereka, Naima segera mengambilnya dan tertera nama Bela di sana. "Ya, Bel," jawabnya setelah menempelkan ponsel ke telinganya. "Kakak masih lama?" tanya Bela di ujung sambungan. "Maaf, Bel, tadi Kakak ketiduran. Kakak mandi dulu sebentar, ya. Bapak gak papa 'kan?" "Gak apa-apa kok, Kak, Bapak masih tidur dari tadi. Cuma tadi ada dokter yang katanya mau bicara sama Kakak," "Oh, yasudah, Kakak mandi dulu sebentar terus langsung ke sana," Naima segera mengakhiri panggilan kemudian kembali meletakkan ponselnya di meja. "Bapak kamu sakit apa, Nai?" tanya Rima yang sejak tadi memperhatikannya. "Masih belum tahu, Rim, tadi baru di rotgen tapi hasilnya belum ada hasilnya." jawab Naima lalu bangkit berdiri hendak mandi. "Aku mandi dulu ya, Rim," Rima mengangguk. Naima segera berlalu ke kamar mandi yang berada di sudut kamarnya. Tak butuh waktu lama dia sudah selesai mandi dan segera bersiap untuk berangkat ke rumah sakit lagi. "Aku antar, Nai," tawar Rima yang sejak tadi masih berada di kamar Naima. "Gak usah, Rim, aku naik ojek aja." tolak Naima sungkan. "Gak papa, biar cepet aku antar. Aku juga suntuk di kamar terus pengen jalan-jalan," bujuk Rima. Sejenak Naima berpikir lalu mengangguk setuju. Naima dan Rima sudah cukup lama saling mengenal, bisa dibilang mereka berteman baik sejak awal masuk kerja di restoran. Bahkan, Rima jugalah yang membantu Naima mencari kosan waktu itu. Keduanya segera berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai motor Rima setelah Naima mengunci pintu kamar kosnya. Hanya butuh waktu 20 menit saja mereka sudah sampai di rumah sakit. Rima ikut turun dan ingin ikut menjenguk ayah Naima, jadilah keduanya berjalan bersisian menuju kamar ayah Naima. Baru sampai ujung lorong saat hendak berbelok ke kanan, Naima bertubrukan dengan seseorang. "Auh, maaf, saya--" ucapan Naima terputus saat tatap matanya bertemu dengan orang yang bertubrukan dengannya. Seketika matanya melebar karena terkejut. "Kamu--"Di sinilah Naima, bangku taman yang tak jauh dari kamar rawat ayahnya. Setelah melihat ayahnya sebentar, dia kembali keluar untuk berbicara dengan orang yang bertubrukan dengannya tadi."Kenapa menghindar terus?" tanya lelaki itu menatap Naima yang menunduk."Maaf," lirihnya tanpa berani mengangkat wajahnya.Terdengar helaan nafas dari mulut lelaki itu, membuat Naima mengangkat wajahnya."Bang Rama ngapain di sini?" tanya Naima pada akhirnya."Jenguk teman," sahut lelaki itu pelan."Nai, kenapa menghindar terus dari Abang? Abang ada bikin salah?" ulang Rama menatap Naima sendu.Naima kembali menunduk, ada rasa bersalah yang besar dalam hatinya terlebih sejak dia memutuskan menerima tawaran Tari untuk ....Rama lelaki baik yang sudah dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Rama menyatakan perasaannya pada Naima sejak 2 bulan lalu, tetapi tidak ada jawaban apapun sampai hari ini meskipun keduanya kerap kali jalan bersama."Kalau Abang salah, tolong bilang," cecar Rama dengan suara lemb
Pagi ini dengan amat sangat terpaksa Dewa kembali ke Jakarta karena desakan dari pamannya setelah beberapa kali menghindari telepon maminya."Setelah pekerjaan di sini selesai, segera pulang ke Jakarta, Vero!" ultimatum Dewa saat kakinya sudah menginjak lantai bandara."Siap, Bos! Kami akan segera pulang ke Jakarta dengan hasil pekerjaan yang memuaskan!" sahut Vero hormat karena memang Dewa adalah atasannya selain dari teman baiknya sejak bangku sekolah menengah pertama."Julian, kamu bertugas mengawasi dia, jangan sampai terlalu nyaman di sini!" titah Dewa kepada asisten pribadinya dengan menunjuk Vero yang malah terbahak dengan ultimatim Dewa tersebut.Julian hanya mengangguk patuh setelah meletakkan koper milik Dewa di sebelah tubuhnya.Setelah memberi wejangan, Dewa segera menarik koper untuk melakukan chek-in. Setelahnya, ia membawa langkah menuju ruang tunggu keberangkatan.Saat tengah membaca bording pass miliknya, sekilas dia seperti melihat seseorang yang dia tahu. Dia menaja
Naima meremat jemarinya untuk mengurangi rasa gugup dan takut mana kala terdengar pintu terbuka dari luar. Dia gelisah, bahkan lututnya telah gemetar. Namun, dia terlanjur memilih jalan ini dan tak bisa mundur lagi. Naima segera bangkit berdiri lalu bersiap menyambut sang pemilik kamar yang dia tahu bernama Sadewa, seorang pengusaha muda yang harus dia temani malam ini."Kamu siapa?" tanya Dewa terkejut. Matanya mendelik sempurna melihat Naima berdiri tak jauh dari pintu kamar.Naima tersentak, akan tetapi dia harus segera menguasai diri dan melakukan tugasnya dengan baik karena sejumlah uang sudah dia dapatkan sebagai imbalannya.Dewa yang diambang kesadaran sebab terlalu banyak menenggak alkohol terpana begitu wajah Naima terlihat dengan jelas. Mata bulat dengan bulu mata yang begitu lentik. Hidung mancung serta bibir mungil kemerahan, membuatnya semakin lepas kendali atas gejolak yang membara dalam dirinya."Kamu siapa?" tanya Dewa lagi menatap manik hitam legam yang begitu bening
Sepeninggal Dewa, Naima menangisi dirinya. Penyesalan tentu merasuk dalam jiwanya yang terdalam, akan tetapi dia sudah menentukan pilihannya dengan mengambil jalan ini. Puas menangis, dia bergegas membersihkan diri. Dia tak mau terus larut dalam penyesalan terus menerus. Toh, semuanya sudah terjadi dan menyesal seperti apapun tidak akan merubah keadaannya apalagi mengembalikan kep3r4w4n4nnya.Usai mandi dan berganti pakaian, Naima membereskan barangnya dan bersiap meninggalkan kamar itu. Sampai dia selesai, Dewa tak kunjung kembali. Naima mengabaikan itu, toh bayaran untuk pekerjaannya semalan sudah dia terima. Namun, dia kembali terduduk di tepi ranjang. Melihat bekas merah yang menempel pada sprei mengingatkan lagi akan keputusan yang sudah dia ambil.Naima jadi enggan pergi dari kamar itu. Kamar yang menjadi saksi bisu, titik terendah dalam hidupnya.Berulang kali menghembuskan nafas besar, untuk menetralkan perasaannya. Gejolak amarah dan penyesalan tentu saja masih besar mengua
Satu jam kemudian, Naima sudah sampai di kontrakannya. Dia mendapati Bela yang sedang berkemas seluruh pakaiannya."Sudah, Bel?" tanyanya begitu masuk ke dalam rumah."Sedikit lagi, Kak," jawab Bela sembari memasukkan pakaian ke dalam tas besar."Apa orang-orang itu sudah datang?" "Belum, Kak,""Yasudah, Kakak lihat Bapak dulu, ya! Kamu lanjutkan itu," Bela mengangguk dengan titah sang kakak.Naima membawa dirinya masuk ke dalam kamar sang ayah, kamar berukuran 3x2 meter itu hanya berisi satu kasur dan satu lemari plastik yang sudah kosong isinya.Terlihat raga sang ayah terbaring tak berdaya dengan bekas luka yang membiru di hampi sekujur tubuhnya."Pak ...." sapa Naima lembut mengusap bahu ayahnya yang tengah berbaring memunggungi pintu."Nduk, Nai ...." balas sang ayah berbalik menatap Naima yang sudah duduk di tepian kasur.Naima menatap miris kondisi ayahnya. Wajah yang masih membengkak dan membiru di beberaoa sisi, bibir juga membengkak meski sudah tak separah kemarin.Semua it
Di depan pintu sudah berdiri Juragan Hamid bersama ketiga preman yang tadi datang. Juragan yang usianya lebih tua dari ayahnya itu menatap ke arah Naima dengan tatapan nyalang.Bela beringsut mundur, menyembunyikan diri di belakang tubuh kakaknya. "Mau apa Anda datang, Juragan? Bukankah semua hutang kami sudah kubayar lunas? Atau, anak buah Anda mengadu yang tidak-tidak?" todong Naima berusaha menguasai dirinya.Meski ada rasa takut, tapi Naima tak akan gentar menghadapi pria tua itu. Bukan kepada pria tua itu Naima ciut nyali, tetapi kepada anak buahnya yang bertubuh kekar. Karena bagaimana pun dia hanya seorang perempuan bertubuh kecil, yang tentu tenaganya tak sebanding dengan para pria itu. Dengan satu pria saja sudah pasti dia kalah telak, sedangkan yang dia hadapi 3 pria berbadan sangar.Juragan tua itu terkekeh pelan, perlahan melangkahkan kaki pincangnya ke dalam rumah kecil Naima. Naima dan juga Bela mundur setiap Juragan itu maju."Kau sungguh berani, Cantik!" kekeh pria tu
Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu. Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh san
Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu."Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban."Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa."Nyokap sakit," sahut Dewa singkat."Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai.Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya."Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik."Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong