Share

Pertolongan

Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu.

Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid.

Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu.

Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu.

Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan.

Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh sangar saja terkapar dibuat dua orang itu, apalagi dirinya yang hanyalah orang tua yang tak berdaya.

"Tenang dulu, Tuan-Tuan ... kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap Juragan Hamid mencoba bernegoisasi.

"Baik-baik katamu? Kenapa tidak dari tadi saja, Pak Tua?" ejek orang itu lagi sembari terkekeh.

"Sebenarnya, Tuan-Tuan ini mau apa? Kenapa menghalangi jalan saya?" tanya Juragan Hamid menatap orang-orang asing itu bergantian.

"Lepaskan dia!" titah salah satu pemuda yang mengenakan kemeja berwarna biru tua itu tegas dan terdengar dingin. Dia menunjuk Naima yang berada tak jauh di belakang Juragan Hamid.

"Dia? Dia tawanan saya, dia adalah jaminan karena tidak bisa bayar hutang," sahut Juragan Hamid tak tahu malu.

"Bohong! Saya sudah bayar lunas hutang saya pada Tua Bangka itu!" teriak Naima membuat wajah Juragan Hamid mengeras.

"Eh, Tuan, Anda ini siapa? Dan ada urusan apa dengan perempuan j4l4ng itu!"

Seketika tubuh tuanya terpental ke belakang sesaat setelah mengatakan Naima seorang j4l4ng. Ya, pelakunya adalah pemuda berkemeja biru. Dengan kaki jenjangnya, sekali ayunan saja pria tua itu terjengkang ke belakang.

Mau tak mau anak buahnya melepaskan tangan Naima untuk menolong Juragan mereka. Naima segera berlari dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu.

"B4ngs4t!" desis Juragan Hamid sembari memegangi dadanya.

"Pergilah atau kupatahkan lehermu di hadapan mereka!" hardiknya pelan tetapi tajam. Juragan Hamid mengedarkan tatapannya kepada orang-orang ramai yang menyaksikan kekalahannya.

Wajahnya merah padam, tetapi dia tak berdaya. Dia tak ada kekuatan apapun untuk melawan. Akhirnya dengan dibantu anak buahnya, dia meninggalkan tempat itu diiringi sorakan para warga.

Sepeninggal Juragan Hamid, para warga membubarkan diri.

"Kakak!" buru Bela sambil berlari membelah kerumunan warga.

Gadis yang masih duduk di bangku SMP itu menangis menyongsong sang kakak, lalu memeluknya erat.

"Bapak pingsan, Kak!" adunya dipelukan sang kakak.

"Apa, Bel?" ulang Naima karena suara Bela tak begitu terdengar jelas.

"Bapak pingsan lagi pas mau ngejar Kakak, sekarang masih di teras rumah, Kak!" lapor Bela sembari mengusap kasar air matanya.

"Kenapa?" tanya pria berkemeja biru yang berdiri tak jauh darinya. Melihat raut khawatir di wajah Naima.

"Bapak saya pingsan, Tuan," sahut Naima.

Dia paham, lalu meminta Naima segera pulang.

Naima mempercepat langkah beriringan dengan Bela, sedangkan dua pria itu mengikuti di belakangnya.

Sampai di dekat kontrakan, Naima berlari. Miris sekali, meski Naima tinggal di kawasan padat penduduk tetapi rasa empati sesamanya sepertinya sangat kurang. Terbukti, ayah Naima pingsan di luar rumah saja tidak ada yang datang menolong.

Dengan segera, dua pria itu membantu Naima mengangkat ayahnya yang tergeletak di teras untuk dibawa ke dalam rumah.

"Terimakasih banyak, Tuan," ucap Naima tulus setelah memastikan ayahnya baik-baik saja.

"Sama-sama," balas pria yang mengenakan kaos merah. Sedangkan pria yang berkemeja biru sedang mencuci tangannya yang berdarah di luar rumah.

"Sebaiknya, bawa Ayahmu ke dokter saja. Takutnya lukanya parah," saran lelaki itu.

"Iya, rencananya tadi juga begitu tetapi orang-orang itu keburu datang," jawab Naima sejujurnya.

"Oh, kalau begitu bareng kami saja bagaimana? Kebetulan kami juga akan jalan pulang ke kota," tawar pemuda berkemeja biru yang baru saja bergabung dengan mereka.

"Tidak usah, Tuan, merepotkan nanti," jawab Naima sungkan.

"Tak apa, kami hanya berdua saja. Mobil kami masih cukup untuk membawa kalian." sergah lelaki itu lagi.

"Tapi--"

Naima nampak ragu meski sebenarnya dia mau. Dia tak mungkin membawa ayahnya naik angkutan umum dalam kondisi seperti itu.

"Tidak papa, mari kami bantu," yakin lelaki berkaos merah.

Akhirnya, Naima mengangguk setuju. Toh, semakin cepat dia meninggalkan rumah itu semakin baik untuknya dan ayahnya. Naima berencana akan pulang ke kampung halaman setelah kondisi ayahnya membaik.

Sepanjang perjalanan, Naima begitu bersyukur mendapat pertolongan dari dua orang yang akhirnya dia tahu bernama Altav dan Athar, dua bersaudara yang katanya tak sengaja lewat di sana saat terjadi kericuhan akibat perbuatan Juragan Hamid padanya tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status