Prisha gegas mendekatkan teh yang masih mengepulkan uap panas.Dokter spesialis bedah itu tertegun di depan secangkir teh panas yang masih mengambang di tangan Prisha. Dua detik kemudian, ia tersenyum, lalu meraih cangkir tersebut.“Terima kasih,” katanya, sebelum menyesap teh pelan-pelan. “Istirahatlah.” Prisha bersiap memutar tubuh, hendak meninggalkan ruangan. “Mau kemana? Kamu di sini aja. Temani aku.”“Mood saya lagi jelek, Dok.”Gavin menghela napas panjang, lalu melepaskan udara dengan kasar. Ia paham, Prisha gadis yang lumayan keras kepala.“Kamu mau melanggar komitmen pernikahan?”“Saya ....” Suara Prisha mengambang. “Mohon pengertian Pak Dok. Saya masih berduka.”“Maafkan aku.” Suara Gavin lirih dan lembut. “Bisakah kamu percayakan semuanya padaku dan hanya memikirkan diriku? Jangan meresahkan hal lain lagi. Izinkan aku melindungimu dan menyelesaikan segala masalahmu.”Gelombang kesedihan kembali datang, menghantam-hantam dada Prisha. Membayangkan hidupnya sebatang kara ta
Prisha menyadari, Dokter Gavin sengaja mengalihkan topik pembicaraan mereka jika menyangkut ke Healthy Light Corporation. Gavin pun bungkam mengenai hasil penyelidikan kematian Nenek serta percobaan pembunuhan terhadap Prisha yang salah sasaran. Rencana gugatan hukum terhadap Karina selaku tersangka pelaku pembunuhan Nalini, juga tak dibahas. Gavin melarangnya secara halus untuk mengungkit-ungkit semua itu.Sepanjang perjalanan, lelaki itu juga lebih banyak diam dan tertidur. Kelelahan terpeta di wajahnya. Prisha jadi serba salah. Ia ingin terus mendesak, tapi khawatir situasinya kurang tepat. Jika dipaksakan, komunikasi mereka akan memburuk. Setan Dasim bakal punya kesempatan untuk memanas-manasi agar ikatan pernikahan hancur hingga terjadi perceraian. Prisha tidak ingin komitmen pernikahan yang dibangunnya bersama Gavin, runtuh berantakan hanya gara-gara kesalahpahaman. Hanya saja, Gavin tampaknya belum memiliki itikad baik untuk meluruskan prasangka di hati Prisha. Entah apa yan
Wajah Gavin berubah keruh. Pertanyaan Prisha betul-betul merusak mood-nya. Rasanya ia ingin sontak berdiri, menggebrak meja, lalu meninggalkan meja makan sambil membanting piring. Akan tetapi, wajah imut di depannya terlihat kepo mengharap jawaban. Gavin jadi tidak tega. Binar-binar mata zamrud Prisha terlalu indah untuk diabaikan.“Aku begini hanya padamu,” katanya lembut. “Benarkah?” Mata Prisha berbintang-bintang. “Tolong jangan ungkit lagi masa lalu. Hanya akan merusak suasana hati. Aku jadi benci pada diri sendiri karena pernah salah meletakkan hati. Maaf, bukan bermaksud memburukkan ibumu. Kamu tau bagaimana dia.”“Oh, maafkan saya,” ungkap Prisha, sungguh-sungguh merasa bersalah. “Saya janji nggak akan ngulangi lagi. Entah kenapa, tetiba saya penasaran ....”Gavin berdecih. “Dari sikapmu itu, aku tau, kamu tak lebih posesif dariku.”Prisha tak kuasa membantah. Gavin benar. Gadis itu mengedip-ngedipkan mata, menekan rasa malu. Pipinya merona merah. Lantas, ia melanjutkan makan
“Apa ini?” Prisha menunjukkan sebuah berita di ponselnya. Wajahnya tampak tegang. “Mau pencitraan lagi? Keluarga Devandra memang hipokrit!”Gavin mengernyit. Ia dan Prisha baru saja tiba di rumah setelah bekerja seharian penuh. Tubuhnya sangat letih dan pikirannya cukup terkuras hari itu. Ia sudah cukup sabar menghadapi Prisha yang sepanjang perjalanan pulang, diam saja laksana patung hidup. Gavin berusaha memaklumi, mungkin Prisha tertekan dan kelelahan. Apalagi hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Prisha cenderung bersikap dingin semenjak kematian neneknya. Gavin juga selalu membeku jika Prisha kembali mempertanyakan janjinya. Selama beberapa minggu mereka menjalani rutinitas masing-masing. Pada minggu-minggu pertama, Gavin berusaha membimbing Prisha secara langsung. Sayang sekali, tuntutan pekerjaan sebagai pemimpin perusahaan induk yang baru saja mengalami restrukturisasi, memaksanya untuk tak selalu berada di sisi istrinya. Makin lama, Gavin semakin sibuk. Kesenangannya
“Prisha!” bentak Gavin. Matanya mulai memerah. Sepasang tangannya mengepal, ketat. “Lihat diriku! Jangan lihat mereka! Apa kamu masih belum percaya kalo aku pengen lindungi kamu? Tanpa posisi CEO, aku tak leluasa menjagamu!” Prisha diam, berpikir. Sel-sel otaknya yang cerdas dan terbiasa merangkai fakta secara sistematis, seketika bekerja cepat. “Apakah ada yang mengancam Anda?”“Kamu mendorong saya sampai batas kesabaran! Prisha, jangan ngelunjak!” Gavin yang merasa terpojok, menjadi gusar. “Sampai di titik ini, Anda masih jadi boneka!” Kalimat Prisha menusuk tepat di titik tersakit Gavin. “Sejak awal kita menikah, saya hanyalah pengantin pengganti mami. Anda anggap saya boneka! Dulu saya tak berdaya. Belakangan saya mengetahui kekuatan latar belakang asli keluarga saya. Serangkaian musibah yang saya alami membuat saya mengerti, bahwa kalian, keluarga Devandra, hanya memanfaatkan saya. Kalian bahkan tak segan mencelakakan saya demi merebut saham itu! Jangan-jangan Anda juga berkom
Pada saat hendak memasuki gerbang rumah sakit, Prisha melihat spanduk yang mengumumkan acara workshop, bertempat di aula rumah sakit yang terletak di lantai lima. Temanya tentang teknologi terbaru penanganan kasus janin yang terdeteksi gagal jantung dalam kandungan. Salah satu narasumbernya adalah Dokter Salman Saladin, SpOG. Prisha baru teringat kalau hari itu para koas dan residen yang dinas di Rumah Sakit DIMS, wajib menghadiri acara tersebut. Segera dihubunginya Dokter Ariana, selaku pembimbing kliniknya. “Dok, ada workshop medis di aula rumah sakit. Saya izin menghadirinya, ya.”“Tentu saja kamu harus ikut acara itu. Aku jadi panitia. Ngomong-ngomong, berhentilah menggunakan panggilan kaku. Kita udah jadi keluarga. Panggil saja saya ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Kamu ke Gavin juga aneh. Masa’ manggil ‘Pak Dok’?” Suara Ariana terdengar lincah dan bersemangat.“Oke, Kak. Hee ... manggil Pak Dok itu udah kebiasaan.”“Aku udah di lokasi. Ohiya, Dokter Salman udah datang. Dia emang selalu tep
“Hanya perlu belajar. Guru rohisnya adalah suami dari guruku. Kalau Kak Ariana serius mengikuti komunitas hijrah yang beliau kelola, mungkin beliau bersedia merekomendasikan pernikahan Dokter Salman dengan Kak Ariana.” Prisha memberi saran dengan sungguh-sungguh. Ariana tercenung, memikirkan jalan panjang yang harus ditempuhnya. Sanggupkah dirinya? Tatkala memperhatikan Dokter Salman yang telah maju ke depan memaparkan hasil studi bandingnya di luar negeri terkait kasus janin gagal jantung dalam kandungan, debar indah menguasai dada putri pemilik industri farmasi Healthy Light itu. Ia mengangguk sendiri sambil tersenyum. Demi sosok secemerlang Dokter Salman, pengorbanannya mungkin sepadan.Workshop berlangsung sampai sore. Break tengah hari untuk makan siang dan sholat Zuhur. Pukul 17.00 WIB, acara berakhir. Teknologi baru yang diungkapkan para narasumber, membuka wawasan para ahli medis. Pihak Rumah Sakit DIMS, tertarik untuk memanfaatkan. Namun, tentu saja mereka harus lebih dulu
Gavin nyaris membanting ponsel demi melampiaskan kemarahannya. Darahnya mendidih mendengar Salman menolong istrinya. Entah sejak kapan perasaan tersebut muncul. Tak rela istrinya disentuh lelaki lain walau hanya sehelai rambut pun. Rasa kepemilikannya terhadap Prisha terlampau kuat, melebihi perasaannya dahulu terhadap Nalini.Sayang sekali dirinya tertahan oleh urusan bisnis di Singapura. Ada banyak hal yang harus dibenahi di perusahaan cabang yang telah bergabung ke perusahaan induk. Cabang Singapura yang semula memiliki manajemen sendiri—yang terlepas dari perusahaan induk--telah dibawahi kantor pusat Healthy Light pula. Gavin telah menempatkan direktur yang kompeten, sebagai pengganti Danu. Awalnya, Gavin berniat hanya sehari berada di Singapura. Pagi berangkat, sorenya pulang. Ternyata masalah perusahaan di cabang Singapura, tak sesederhana yang ia pikirkan. Mau tak mau, ia harus menginap. Mereka kudu mengadakan rapat berjam-jam selama sekian hari agar kantor cabang tersebut bi