Beberapa jam kemudian.Terbangun di pelukan dokter idola, rasanya seperti mimpi. Prisha tidak langsung bangkit. Nanar matanya, mengagumi ketampanan cantik yang kini mudah sekali dijangkaunya. Pelan-pelan, Prisha kembali terpejam, meresapi kedamaian, kesejukan, dan rasa terlindungi, yang mengalir dari tubuh suaminya.Mungkin ini yang disebut sakinah. Batin Prisha. Tak perlu dialog berjam-jam atau ribuan kata hiburan. Begini saja sudah cukup menenangkan.Mendadak ia merasa Gavin menggeliat pelan. Lalu, kehangatan menyapu keningnya. Prisha tak bisa tidak membuka mata, sebab sentuhan itu membuat tubuhnya merinding.Ia mendapati wajah Gavin begitu dekat. Mata lelaki itu terbelalak, lalu mengerjap-ngerjap, salah tingkah. "Maaf, saya ketiduran, Dok." Prisha menikam gugup, dan pura-pura tidak merasa kalau keningnya baru saja tercuri kecupan."Badanmu berat." Gavin mendorong Prisha hingga terguling ke sisinya. "Ah, udah siang. Kayaknya bentar lagi Zuhur. Saya siapin air panas dulu, ya." Deng
Gavin diam, lalu mengusap air mata. "Apakah saya boleh mengetahui kabar yang membuat Anda sedih?" Prisha bertanya dengan hati-hati. "Saya hanya terbawa perasaan." Ekspresi Gavin kembali tenang. "Oh ya, saya lihat, luka di tanganmu udah mengering. Apa masih sakit?""Udah berkurang nyerinya.""Besok kita angkat jahitannya, ya."Prisha mengangguk."Dok, masalah di antara kita udah clear, kan? Apakah Bu Karina melenyapkan bukti?" tebak Prisha, to the point. Ketidaksenangan di hatinya, tercermin dari perubahan sebutan terhadap mertua perempuan, dari "mama" menjadi "bu".Gavin tidak terkejut atau marah. Ia memandang istrinya sejenak. "Mama memecat dokter forensik yang mengautopsi jenazah Nalini. Seluruh perawat dan dokter yang berjaga di ruangan tempat Nalini dirawat inap, dipindahtugaskan ke daerah, rumah sakit tipe B. Semua bukti dihapus, termasuk rekam medis ibumu. Info hasil autopsi ke nenekmu, hanya secara lisan. Kesaksiannya lemah."Prisha seketika menyadari kebenaran ucapan nenekn
Prisha menoleh ke arah suaminya. Paras Gavin terlihat tenang. Bibir lelaki itu seperti menahan senyum. Apakah Dokter Gavin senang menerima kedatangan Dokter Ariana?Prisha ingin membuang segala pikiran negatif. Namun, ucapan nenek tahu-tahu terngiang di benak. Terasa mengganggu. "Untuk apa lagi bertahan? Ibumu sudah meninggal."Rasa malu bercampur sedih membungkus hatinya. Meski mengerti tujuan pernikahan, harga dirinya menjerit. Kenyataan Gavin tidak mendukungnya menuntut Karina, semakin membuatnya kecewa. Kedatangan Ariana, juga membangkitkan kesadaran, betapa impulsif dirinya. Namun, bukan Prisha namanya jika menyerah begitu saja. Ia memutar otak. Senyum tipis terbit di bibirnya saat menemukan jalan.Prisha menggeser tubuh, menjauhi Gavin, tatkala calon menantu baru sang ibu mertua muncul di ruang tamu. Ruangan yang luas dan mewah, jadi terasa sempit dan buruk.Dokter Ariana seorang wanita matang dan dewasa. Pembawaannya tenang dan lembut, tapi matanya berkilat cerdas. Wajahnya
Prisha berkali-kali menguap saat memasuki rumah. Jam dinding klasik di ruang tamu mewah milik Gavin, telah menunjukkan angka sepuluh malam. Biasanya Prisha tahan begadang. Namun, hari itu terlalu melelahkan. Lahir batin. Ia terus melangkah menuju kamar pribadi. Lupa izin ke suami. Langsung menutup pintu dan menguncinya, sesuai kebiasaan. Usai berganti baju dengan babby doll, Prisha merebahkan tubuh sambil melafazkan hamdalah. Begitu mencium bantal, gadis itu langsung pulas.Sementara Gavin masuk ke kamarnya sendiri pula. Seperti biasa, ia mandi air hangat sebelum tidur. Saat merendam tubuh dengan nyaman di bath tube, kenangannya terlempar ke acara mandi siang tadi di rumah Nenek Sarah. Dokter merangkap CEO DIMS Hospital itu tersenyum sendiri. Lantas, ia menoleh ke sekeliling. Tak ada yang berubah di kamar mandinya. Segala sesuatu terletak pada tempatnya. Terasa wajar.Lelaki itu bangkit, berbilas, lalu memakai kimono handuk sebelum keluar kamar mandi. Setengah melamun, ia berganti b
Gavin menyetir mobilnya sendiri. Alif disuruh ke kantor duluan. Ia ingin menikmati momen berdua Prisha, tanpa gangguan pihak lain. Mobil sport bugatti berbelok memasuki halaman sebuah salon kecantikan merangkap butik ternama. Prisha ternganga. Ia cukup update untuk mengenal brand sebuah tempat. Salon Kecantikan Shalinaz sudah bertaraf internasional. Bahkan Shalinaz Beauty Clinic telah menciptakan produk kecantikan sendiri yang mampu bersaing di pasar global. Sementara butiknya tak kalah eksklusif. Butik itu terkenal khusus mendesain busana muslim dan muslimah yang elegan, mewah, dan kontemporer.Butik milik tantenya Keyko hanya seperdelapannya. Dari bangunan Shalinaz Beauty Clinic plus butiknya yang mentereng sudah terlihat gambaran profesionalitas para pegawainya. Tak pernah terlintas dalam mimpi sekalipun, Prisha bakal menginjak tempat tersebut. Nalurinya sebagai wanita yang ingin tampil cantik pun bangkit. Terpancar dari wajahnya, rasa antusias yang berhasil mengusir kabut suram
Usai berdeham, menguasai rasa tergelitik geli, Gavin berkata serius. "Oke, mari kita upayakan kondisi ideal suami istri. Pertama-tama, saya mau komplen. Dua hari lalu, kamu ngundang saya masuk kamar, pura-pura sakit. Tau-tau memanfaatkan saya. Kira-kira itu ideal, nggak?"Prisha terbelalak. "Anda merasa dirugikan?""Sangat. Nggak adil kalo nggak gantian."Bibir mungil Prisha mengerucut lucu. Sepasang alisnya bertaut. "Keterlaluan," desisnya. "Mengapa harus dipertanyakan? Tentu saja itu ideal. Bahkan sudah seharusnya. Jangan bilang rugi. Jelas-jelas saya tau, Anda untung besar. Oh, bilang aja pengen tidur sekamar. Ish, nggak usah muter-muter." Wajah Gavin sontak merah padam. Berhubung sudah tak kuat menahan penderitaan sejak malam tadi, ia memutuskan membuang gengsi."Bagus kalo ngerti. Praktik ideal tahap pertama, pagi ini kamu gantian ke kamar saya. Saya butuh diperiksa coz tiba-tiba saya meriang.""Pak Dok sakit?" Prisha menatap tak percaya.Gavin diam. Cemberut. Prisha tak berani
Beruntung Prisha sejak kecil telah terlatih menghadapi bullying. Jika tidak, mungkin saat ini ia sudah lari sambil menangis. Atau sebaliknya, menggebrak meja sambil berteriak melampiaskan gusar. Prisha memutuskan memberi jawaban yang ia pikir paling elegan tanpa kehilangan harga diri."Salam kenal, Nek. Saya tersanjung, Anda lebih dulu tau nama saya, sedang saya sama sekali belum mengenal Anda." Gadis itu merapatkan sepasang telapak tangan di depan dada ke arah Nenek Clara. Senyumnya manis dan matanya berseri-seri penuh energi hidup. Lantas, ia menoleh pada Gavin. "Mas Gavin mestinya mengenalkan seluruh anggota keluarga Mama Karina kepada saya," ungkapnya, setengah protes.Mendengar sebutan "mas" disertai nada menyalahkan, Gavin berdeham ringan, meredakan desir di dada."Tadinya saya mau ngajak kamu mengunjungi keluarga besar Mama, sekalian ngantar undangan. Siapa sangka, semuanya nggak sabar pengen ketemu kamu," sahutnya, lembut.Karina, Nenek Clara beserta segenap keluarga, serasa t
Keluarga Karina meninggalkan rumah Zed Devandra dengan wajah masam. Maksud terselubung mereka telah tersingkap. Karina menangis kecewa karena gagal mempengaruhi putranya. "Belum satu bulan menikahi anak ular itu, kamu udah tergigit racunnya. Sampai-sampai mengabaikan ibu yang membesarkanmu bertahun-tahun!" raung Karina, begitu mertuanya meninggalkan ruangan tamu untuk beristirahat. "Mama menyuruhmu menikahinya, hanya sebagai pemanis belaka. Bukan untuk jadi istri utama!""Mama sangat serius saat memaksa saya menikahi Prisha. Mengapa berubah pikiran ketika saya betul-betul serius menikahinya?" sahut Gavin, tenang. "Itu karena Mama ditindas," sahut Karina, pilu. "Kakekmu mengancam akan memenjarakan papa dan membuat Mama jatuh miskin. Tau-tau sekarang, papamu menceraikan Mama. Mama tiada daya, kehilangan pegangan. Hanya kamu harapan Mama. Mama nggak mau kamu jadi boneka di tangan keluarga papamu!""Mama rupanya belum sadar. Sikap Mama tiada bedanya dengan kakek nenek. Nganggap saya tak