"Resepsi pernikahan kalian tinggal seminggu lagi. Persiapannya udah beres. Tempatnya fix di ballroom hotel berbintang milik rekan bisnis perusahaan kita," ungkap Nenek Diana, saat makan malam bersama Gavin dan Prisha.Sang nenek bersikeras meminta pasangan itu untuk bertahan sampai makan malam. Demi menyenangkan hati si nenek, Gavin dan Prisha terpaksa menyetujui, meski sangat letih."Waktu untuk fitting baju mepet sekali." Nenek Diana menunjukkan ekspresi cemas. "Desainer busana pengantin, memakai ukuran standar. Bajunya baru selesai malam ini. Besok pagi kalian harus segera ke butik, mencoba baju pengantin. Kalo ada yang nggak cocok, akan langsung diperbaiki penjahit profesional yang kerjanya cepat.""Maaf, Nek. Biar Prisha saja. Saya sudah beberapa hari nggak kerja. Rencananya besok mau rapat evaluasi," tolak Gavin."Kamu kemaren kan izin karena sakit." Nenek Diana meletakkan sendok, menunda suapan berikutnya. "Uruslah cuti nikah!"Gavin menggeleng. "Kerjaan saya banyak.""Kamu tin
"Waa ... ma-maaf, Dok!" Prisha cepat-cepat membuka jendela yang hanya setinggi dada. "Masuk sini, Dok!"Gavin menggeleng kuat. Seumur-umur, ia belum pernah masuk rumah lewat jendela. Sungguh memalukan jika itu terjadi."Ayoo ...." Prisha menarik tangan suaminya. "Nggak!" tolak Gavin, galak. "Bukain pintu!""Oh, i-iya, iya ...." Prisha melepaskan tangan Gavin, lalu menghambur ke luar kamar.Gavin tampak bersungut-sungut begitu dibukakan pintu. "Pak Dok tadi di taman?" Prisha bertanya pelan dan hati-hati, seperti orang takut menyenggol singa luka.Gavin tak menjawab. Masih dongkol. Tadi, sepulang dari rumah kakek, ia sudah bad mood. Rasa tertekan mendorongnya langsung ke taman belakang rumah yang menyatu dengan kolam renang. Ia duduk melamun di tepi kolam, tanpa menyalakan lampu taman. Belum setengah jam menikmati kesendirian, chat Prisha mengusik kenyamanannya. Ingin mengabaikan, tapi tidak bisa. Gadis itu seperti nyamuk nakal yang terus mendengung di telinga. Gavin serasa ingin ja
Pagi-pagi sebelum sarapan, Gavin melakukan prosedur angkat jahitan di pergelangan lengan kanan Prisha. Benang jahitan digunting dan dilepas karena luka sudah mengering. Gavin mengoleskan desinfektan di sepanjang luka yang telah menjadi garis lurus di kulit yang halus. Kasa steril dan plester, ia tempelkan sebagai sentuhan akhir perawatan luka.Sebagai dokter spesialis bedah jantung yang terbiasa menangani luka serius pascaoperasi, gerakan Gavin telaten, rapi, dan hati-hati. Padahal, yang ditanganinya saat itu hanya perawatan luka biasa. Prisha mengamati wajah serius dokter konsulennya. Delapan tahun telah berlalu, tapi Prisha menemukan hatinya masih seperti dulu. Meski Dokter Gavin tak lagi suka tersenyum. "Kamu mandangin wajah saya terus, apa nggak bosan?" tegur Gavin, dengan nada tak acuh."Saya bersyukur, impian saya terkabul, meski lewat jalan berliku."Gavin duduk tenang di sisi Prisha, usai membersihkan tangannya. "Emangnya apa impian kamu?""Pengen jadi dokter supaya bisa ber
Prisha agak gugup di forum formal tersebut. Sebelum masuk, ia melihat banyak orang bertubuh tegap, berkacamata hitam dan berjas hitam, berbaris di depan pintu. Sebagian berdiri di dalam, pada sudut-sudut ruangan, dengan penampilan serupa.Orang-orang berkacamata hitam itu jelas bukan anggota keluarga Devandra. Sikap dan gestur tubuh mereka terlalu kaku dan formil. Prisha yakin, mereka penjaga keamanan, mirip-mirip anak buah mafia di film-film thriller yang pernah diceritakan Keyko. Ingat Keyko, Prisha jadi ingat Hana dan teman-teman koasnya. Mereka tadi hadir di acara resepsi, tapi hanya sebentar karena mesti tugas dinas. Padahal, Prisha kangen dan ingin ngobrol banyak dengan sahabatnya.Aneh. Menyaksikan banyaknya penjaga, Prisha malah tegang. Rasa tak nyaman menyelimuti dirinya. Seakan-akan diintai monster ganas. Apalagi anggota keluarga dan kerabat mertua, melempar pandangan sinis bercampur iri dengki ke arahnya.Prisha tersenyum dan menyapa mereka, hangat dan ceria. Namun, balasa
Senyum Gavin lepas begitu pesawat pribadi yang ditumpanginya lepas landas. Setelah sekian jam mempertahankan wajah serius dan dingin, akhirnya ia membebaskan ekspresi, sesuai suasana hatinya.Sore itu selepas acara pelantikan yang berakhir dramatis, ia langsung menghubungi pilot pribadi, meminta penerbangan menuju satu wilayah di Pulau Kalimantan. Alasannya honeymoon. Diajaknya Prisha berangkat, tanpa mempedulikan protes seluruh keluarga."Nggak disangka, rencanamu jitu. Sesuai prediksi, Om Danu dan Om Reno memilih mundur dari perusahaan induk," ungkap Gavin pada Prisha yang duduk manis di sisinya.Terbayang olehnya reaksi keras keluarganya. Keuangan Healthy Light yang kurang stabil gara-gara manajemen korup, bertambah oleng ketika Prisha menarik dan meminta pencairan saham. Gavin menolak mencari pengganti investor. Akibatnya, Healthy Light harus menjual beberapa aset. Di antaranya rumah sakit DIMS cabang Singapura dan Malaysia. Serta beberapa pabrik farmasi.Kakek Zed tak berdaya me
Pagi-pagi sebakda Subuh, Prisha bercermin dan mengamati wajahnya dengan perasaan rendah diri tak terperi. Kalimat Dokter Gavin di masa lalu, terngiang di telinganya."Kamu kelihatan tua, tapi childish. Tidak anggun. Minus etika. Jelek, pendek, gemuk."Waktu itu, Gavin melontarkan ejekan dengan semena-mena di depan mendiang Nalini. Prisha tiba-tiba merasa sangat buruk. Gegas diteleponnya Keyko, sebab hanya anak gokil itu yang paham masalah begini. Referensinya segambreng terkait penampilan. Berbeda dengan Hana yang betul-betul blank soal kecantikan."Cie cie yang honeymoon .... Udah seminggu baru inget temen!" Begitu selesai berbalas salam, Keyko langsung meledek."Capek tau!""OMG! Sampe kecapean? Olala, idungku mimisan! Toloong ....""Astagfirullah, jangan mesum, Key! Lo gak liat IG gue? Ampe keriput kaki gegara keseringan berendam di lokasi banjir!""Tapi, kan, tugasnya berdua ama suami? Uwuu manisnya .... Kalian pasangan terviral bulan ini loh! Trending topic di IG, Tiktok, ama T
Prisha terdiam. Jari-jemarinya refleks saling meremas. Sementara Gavin bungkam dan mengetatkan rahang. Keheningan terentang di antara mereka. Sepuluh detik kemudian, Gavin memutar tubuh, lalu meninggalkan kamar tanpa mengucap sepatah kata pun lagi.Prisha tak mencegah, tak juga menyusul. Pandangannya terlempar ke panorama di luar jendela kamar hotel. Gerimis jatuh membasahi kota kecil tempatnya bermalam. Air matanya menetes serupa rinai, di luar kuasa. Ia sudah lama membiasakan diri terhadap sikap acuh tak acuh Gavin. Bahkan jauh-jauh hari ia telah menyiapkan hati jika lelaki itu belum sanggup melupakan cinta lama. Meski mereka telah sepakat menjalani aktivitas suami istri umumnya, tapi Prisha yakin, itu hanya cara Gavin untuk mengobati luka. Mungkin, pak dokter menjadikan Prisha hanya sebagai pelarian.Prisha tidak mempermasalahkan itu. Tapi ia bukan tumbal boneka tak berjiwa. Ia punya prinsip dan cita-cita. Gavin mungkin marah karena cara bicaranya terlalu lugas, to the point, d
Keyko dan Hana tiba di rumah duka, sebakda Isya. Mereka langsung berangkat dari Jakarta, begitu dapat chat dari Prisha. Berita kematian nenek Prisha, juga telah tersebar ke grup-grup koas dan sesama dokter. Termasuk pihak rumah sakit Devandra. Media sosial tak ketinggalan berita. Ucapan bela sungkawa pun membanjiri akun Prisha. Namun, tak satu pun dibaca.Prisha tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Di tengah arus perhatian banyak orang, ia justru merasa kesepian."Lo nggak sendiri, Sha. Ada kami di sini. Kami nemenin lo." Keyko mengusap bahu sahabatnya. "Gue yakin, kematian nenek nggak wajar. Gue pengen nenek diotopsi, tapi nggak tega." "Sha, kata tetangga-tetangga dekat, udah ada dokter puskesmas yang meriksa sebab kematian nenek lo. Ada kemungkinan sleep apnea. Nenek lo mayan gemuk, kan." Hana mencoba merasionalkan otak Prisha."Mami gue belum lama meninggal karena diracun. Hasil otopsinya ditutup-tutupi. Nggak lama kemudian, nenek gue nyusul mami. Nggak nutup kemungkinan nenek