Prisha membereskan rumah mendiang neneknya yang berantakan selepas acara pemakaman dan tahlilan. Hatinya kembali berdenyut perih mengingat baru sebulan yang lalu ia membereskan rumah tersebut untuk acara yang sama. Sebulan lalu, ia kehilangan ibu, sekarang kehilangan nenek yang membesarkannya sejak kecil. Mpok Nora, ibunya Hana, membantu sambil menghibur Prisha. Sementara Hana beristirahat di kamar. Rencananya mereka akan bertolak ke Jakarta begitu mobil ngadat milik ayah ibu Hana selesai diperbaiki. Dokter Reza menemani Juragan Akram ke bengkel, setelah mengantarkan Prisha, Hana, dan Mpok Nora ke rumah.Prisha pergi ke tetangga, untuk menanyakan adakah orang yang bisa dipercaya untuk menjaga dan merawat rumah neneknya. Ia bersyukur karena ternyata neneknya memiliki tetangga-tetangga baik hati. Mereka bersedia bergantian mengurus rumah almarhumah. Prisha memberikan sejumlah uang yang cukup besar sebagai balas jasa. Ia juga berjanji akan terus mengirimi biaya jasa perawatan rumah san
Sebelum Hana mencak-mencak dan lupa diri, Prisha cepat-cepat menyeretnya masuk kembali ke rumah. Gadis bermata sebulat mata boneka India itu sempat meronta-ronta. Setelah Prisha menginjak kakinya, Hana mengaduh dan baru menyerah.Pekik kesakitan Hana gara-gara perlakuan kejam sahabatnya, memancing perhatian Dokter Reza. Lelaki yang pada dasarnya mudah kasian itu, buru-buru meninggalkan fans barunya. Ia menyusul masuk.“Kamu kenapa, Han?” Wajah Reza yang tampan dan terkesan halus terpelajar, menunjukkan ekspresi cemas. Andai tak mengalami langsung perlakuannya yang menindas, Hana mungkin akan terkecoh. Maka itulah, alih-alih terpesona, Hana malah murka.“Nggak usah sok perhatian, deh! Saya tau modus Kak Dok! Heran aja. Spesialis anestesi yang katanya hebat, baik hati, dan tidak sombong, tetiba ngelakuin hal rendahan!” semprot sang dara sembari menuding-nuding muka konsulennya.Hal rendahan ... hal rendahan ... hal rendahan ...Dua kata tersebut otomatis terputar ulang di benak Reza,
Tak berani Prisha menerima telepon tengah malam tersebut. Segera ditolaknya panggilan. Selang dua detik, nada pemberitahuan pesan masuk ke aplikasi perpesanan berdenting. Pesan muncul di pop-up, berasal dari nomor asing yang barusan berkali-kali menghubunginya.[Sha, kamu di mana? Baik-baik aja, kan? Hampir satu jam saya nelpon kamu bolak-balik]Prisha tertegun sejenak. Siapa orang ini? Apakah Pak Dok? Batinnya, ragu.[Alhamdulillah pesan contreng dua biru tanda dibaca. Sha, buka blokiran nomor saya. Katanya mau jadi istri sholiha. Kok, nomor suami diblokir?]Prisha terbelalak dan menekap mulut. O, ternyata bener ini nomer Pak Dok. Pekiknya dalam hati. Dadanya mendesir membaca kata “suami”. Ia yang terbiasa menerima sikap dingin dan penolakan Gavin, jadi agak canggung dan rikuh. [Sha, saya udah di depan rumah. Tolong buka pintu]Hampir jatuh ponsel di tangan Prisha, gara-gara gemetar saking kagetnya. Tak menyangka ia kalau Gavin datang malam-malam. Sejenak ia bimbang. Hatinya belu
Prisha gegas mendekatkan teh yang masih mengepulkan uap panas.Dokter spesialis bedah itu tertegun di depan secangkir teh panas yang masih mengambang di tangan Prisha. Dua detik kemudian, ia tersenyum, lalu meraih cangkir tersebut.“Terima kasih,” katanya, sebelum menyesap teh pelan-pelan. “Istirahatlah.” Prisha bersiap memutar tubuh, hendak meninggalkan ruangan. “Mau kemana? Kamu di sini aja. Temani aku.”“Mood saya lagi jelek, Dok.”Gavin menghela napas panjang, lalu melepaskan udara dengan kasar. Ia paham, Prisha gadis yang lumayan keras kepala.“Kamu mau melanggar komitmen pernikahan?”“Saya ....” Suara Prisha mengambang. “Mohon pengertian Pak Dok. Saya masih berduka.”“Maafkan aku.” Suara Gavin lirih dan lembut. “Bisakah kamu percayakan semuanya padaku dan hanya memikirkan diriku? Jangan meresahkan hal lain lagi. Izinkan aku melindungimu dan menyelesaikan segala masalahmu.”Gelombang kesedihan kembali datang, menghantam-hantam dada Prisha. Membayangkan hidupnya sebatang kara ta
Prisha menyadari, Dokter Gavin sengaja mengalihkan topik pembicaraan mereka jika menyangkut ke Healthy Light Corporation. Gavin pun bungkam mengenai hasil penyelidikan kematian Nenek serta percobaan pembunuhan terhadap Prisha yang salah sasaran. Rencana gugatan hukum terhadap Karina selaku tersangka pelaku pembunuhan Nalini, juga tak dibahas. Gavin melarangnya secara halus untuk mengungkit-ungkit semua itu.Sepanjang perjalanan, lelaki itu juga lebih banyak diam dan tertidur. Kelelahan terpeta di wajahnya. Prisha jadi serba salah. Ia ingin terus mendesak, tapi khawatir situasinya kurang tepat. Jika dipaksakan, komunikasi mereka akan memburuk. Setan Dasim bakal punya kesempatan untuk memanas-manasi agar ikatan pernikahan hancur hingga terjadi perceraian. Prisha tidak ingin komitmen pernikahan yang dibangunnya bersama Gavin, runtuh berantakan hanya gara-gara kesalahpahaman. Hanya saja, Gavin tampaknya belum memiliki itikad baik untuk meluruskan prasangka di hati Prisha. Entah apa yan
Wajah Gavin berubah keruh. Pertanyaan Prisha betul-betul merusak mood-nya. Rasanya ia ingin sontak berdiri, menggebrak meja, lalu meninggalkan meja makan sambil membanting piring. Akan tetapi, wajah imut di depannya terlihat kepo mengharap jawaban. Gavin jadi tidak tega. Binar-binar mata zamrud Prisha terlalu indah untuk diabaikan.“Aku begini hanya padamu,” katanya lembut. “Benarkah?” Mata Prisha berbintang-bintang. “Tolong jangan ungkit lagi masa lalu. Hanya akan merusak suasana hati. Aku jadi benci pada diri sendiri karena pernah salah meletakkan hati. Maaf, bukan bermaksud memburukkan ibumu. Kamu tau bagaimana dia.”“Oh, maafkan saya,” ungkap Prisha, sungguh-sungguh merasa bersalah. “Saya janji nggak akan ngulangi lagi. Entah kenapa, tetiba saya penasaran ....”Gavin berdecih. “Dari sikapmu itu, aku tau, kamu tak lebih posesif dariku.”Prisha tak kuasa membantah. Gavin benar. Gadis itu mengedip-ngedipkan mata, menekan rasa malu. Pipinya merona merah. Lantas, ia melanjutkan makan
“Apa ini?” Prisha menunjukkan sebuah berita di ponselnya. Wajahnya tampak tegang. “Mau pencitraan lagi? Keluarga Devandra memang hipokrit!”Gavin mengernyit. Ia dan Prisha baru saja tiba di rumah setelah bekerja seharian penuh. Tubuhnya sangat letih dan pikirannya cukup terkuras hari itu. Ia sudah cukup sabar menghadapi Prisha yang sepanjang perjalanan pulang, diam saja laksana patung hidup. Gavin berusaha memaklumi, mungkin Prisha tertekan dan kelelahan. Apalagi hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Prisha cenderung bersikap dingin semenjak kematian neneknya. Gavin juga selalu membeku jika Prisha kembali mempertanyakan janjinya. Selama beberapa minggu mereka menjalani rutinitas masing-masing. Pada minggu-minggu pertama, Gavin berusaha membimbing Prisha secara langsung. Sayang sekali, tuntutan pekerjaan sebagai pemimpin perusahaan induk yang baru saja mengalami restrukturisasi, memaksanya untuk tak selalu berada di sisi istrinya. Makin lama, Gavin semakin sibuk. Kesenangannya
“Prisha!” bentak Gavin. Matanya mulai memerah. Sepasang tangannya mengepal, ketat. “Lihat diriku! Jangan lihat mereka! Apa kamu masih belum percaya kalo aku pengen lindungi kamu? Tanpa posisi CEO, aku tak leluasa menjagamu!” Prisha diam, berpikir. Sel-sel otaknya yang cerdas dan terbiasa merangkai fakta secara sistematis, seketika bekerja cepat. “Apakah ada yang mengancam Anda?”“Kamu mendorong saya sampai batas kesabaran! Prisha, jangan ngelunjak!” Gavin yang merasa terpojok, menjadi gusar. “Sampai di titik ini, Anda masih jadi boneka!” Kalimat Prisha menusuk tepat di titik tersakit Gavin. “Sejak awal kita menikah, saya hanyalah pengantin pengganti mami. Anda anggap saya boneka! Dulu saya tak berdaya. Belakangan saya mengetahui kekuatan latar belakang asli keluarga saya. Serangkaian musibah yang saya alami membuat saya mengerti, bahwa kalian, keluarga Devandra, hanya memanfaatkan saya. Kalian bahkan tak segan mencelakakan saya demi merebut saham itu! Jangan-jangan Anda juga berkom