Alana mengulas senyum puas ketika Rosaline untuk kesekian kalinya berhasil menyelesaikan misinya. Laporan Rosaline pagi ini memang sesuai dengan dugaannya. Wanita serbabisa itu telah berhasil menemukan pemilik nomor asing yang kemarin malam 'iseng' mengganggunya.Ini hanyalah masalah kecil. Dalam sekejap Rosaline berhasil menemukan pemilik nomornya. Siapa mereka yang berusaha main- main dengannya?"Itu dikirim dari ponsel yang sama dengan milik nona Mikayla. Aku rasa dia benar- benar teledor soal ini," ujar Rosaline.Alana mengangguk paham. Gadis muda itu pasti punya tujuan terselubung dengan berusaha main- main dengannya. Tapi mengapa dia begitu tidak hati- hati? Apa menurutnya, Alana sebodoh itu?Dia merubah rautnya menjadi lebih dingin, temperamennya yang mulia menguar secara alami. Alana bangkit dari kursi kebesarannya lalu menjentikkan jarinya untuk mengirim pesan pada Mikayla. Wanita dua puluh delapan tahun ini tak suka basa- basi, jadi dia akan langsung saja menuju pada intinya
"Aku punya penawarnya disini. Terlambat lima menit dan kamu akan pergi dari dunia ini," Alana berjalan santai. Pandangannya bengis terpaku pada wanita muda yang fitur wajahnya manis namun meringis dengan mata merah itu."Apa yang berusaha kamu lakukan? Arkasa dan keluarganya pasti membencimu jika tahu tindakanmu ini!" Mikayla merongrong. Nampaknya dia benar- benar tak bisa lagi menahan kekesalannya terhadap kejutan dari Alana.Alana nampak tak terpengaruh, sebaliknya dia justru berjongkok dengan jarak aman, "aku tidak peduli dengan hal itu," ucapnya acuh. Jemari rampingnya memainkan plastik yang berisi satu kapsul itu dengan seringaian menyeramkan terpampang di wajahnya. Mikayla merasakan dadanya sesak dan menggeliat panik, kini dia memohon dibawah kaki Alana. "Aku akan lakukan apapun asal mbak bersedia memberi penawar itu padaku," mohonnya. Biar bagaimanapun, sekarang ini nyawanya adalah yang terpenting. Mikayla tidak bisa mati seperti ini.Alana berdecih meskipun dia sebenarnya se
Alana telah mengacuhkan belasan panggilan Arkasa. Dia sengaja mengaktifkan mode senyap dan bersiul mengerjakan hal- hal yang memang seharusnya dia prioritaskan. Alana sangat tahu apa yang sedang terjadi dan menikmati setiap detiknya. Rosaline masuk kedalam ruangan membawa selembar kertas bertuliskan alamat rumah sakit ternama. Begitu dia menyerahkannya pada Alana, wanita dengan temperamen dingin nan memukau itu tersenyum miring. "Sebenarnya aku tak mengharapkan ini, namun ternyata terkaanku benar, ya?" Alana merapikan tas kecilnya, sudah saatnya dia kembali dan masuk lagi melengkapi drama yang Mikayla telah ciptakan sendiri. "Bu Alana perlu saya antarkan saja?" tanya Rosaline. Alana menggeleng, "tidak perlu. Aku sudah cukup sehat sekarang. Apalagi aku tengah bersemangat," ujarnya. Rosaline mengangguk hormat lalu mengantarkan Alana keluar dari ruangannya. Alana mantap melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Semua skenario yang dia rancang hari ini terasa sempurna dan sebe
Alana masih mengulum tawanya sendiri. Setelah mengunci pintu, ia melihat sekeliling dengan cermat. Mematikan lampunya sebentar dan mendeteksi apakah ada alat mencurigakan lain yang dipasang. Tak menemukan apapun, Alana menyalakan kembali lampunya dan tertawa kecil. Sungguh, melihat wajah konyol yang Mikayla suguhkan tadi membuatnya terhibur. Wanita muda itu sepertinya memang terlalu banyak mengkonsumsi drama sehingga berpikir semuanya bisa semudah itu. Sebenarnya Alana masih bisa mentolerir jika Mikayla hanya sebatas membencinya karena memiliki Arkasa. Siapapun jelas tahu tatapan macam apa yang wanita muda itu tampilkan ketika bertemu Arkasa. Itu bukan hal yang aneh menurutnya.Sayang sekali, Mikayla mulai melewati batas dan Alana bukan orang sabar yang bisa berbaik hati melewatkan hal itu. Semua harus dibayar sepadan. Meskipun masih terlalu dini, bukankah mengungkap secepat mungkin adalah jalan terbaik untuk mencegah kemungkinan lebih buruk di masa depan?Alana tak tahu apa yang A
Alana memekik kaget saat ia menemukan sahabatnya bersimbah darah di dekat tangga. Wanita itu tak bisa menyembunyikan kepanikan dan berhambur mendekati tubuh tak sadarkan diri milik sahabatnya itu. Dia berusaha menggapai kesadaran Adara. Mata itu tertutup dan kondisinya yang mengenaskan membuat Alana histeris. Untung saja tadi dia telah memanggil bantuan darurat dan sekarang orang- orang itu telah mengelilinginya. Mereka mengangkat tubuh bersimbah darah itu. Alana menggenggam tangan sahabatnya dengan histeris. Dia berada di mobil yang sama dengan Adara yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit. Di tengah tangisnya, dia baru sadar bahwa panggilan Arkasa masih tersambung. "Kami menuju Rumah Sakit Pelita. Aku takut ini akan berhubungan dengan janinnya, haruskah kita memberitahu ayah dan mama?" tanyanya gemetar. Arkasa tak kalah panik. Terutama karena dia mendengar bagaimana histerisnya Alana dan kegaduhan disekitar mereka. "Tunggu aku disana. Tetap jaga Adara!" titah Arkasa yang pa
Satu-satunya hal yang bisa Alana lakukan di depan cermin tolet adalah menangis. Dia merasakan kepedihan mendalam. Meskipun dia bersyukur sahabatnya bisa diselamatkan, Alana tak tahu apa yang bisa dia katakan nantinya ketika Adara sadar. Terlebih dia sangat tahu bagaimana selama ini Adara menyayangi janinnya itu.Sejak lama memang Adara menantikan kesempatan menjadi seorang ibu. Namun mengapa semua diambil begitu cepat?Dia mengganti pakaiannya dengan kemeja santai milik Arkasa. Sementara suaminya itu masih sibuk mengurus administrasi.Mereka memang belum memberitahu hal ini pada orang tua di rumah. Namun Alana jelas sadar bahwa ini tak akan bisa disembunyikan lebih lama lagi. Tuan Pradipta memiliki lebih dari separuh saham disini yang menjadikannya pemegang saham terbesar. Bagaimanapun, dia yakin informasi ini akan terdengar ke telinga tuan Pradipta dengan sendirinya.Setelah berusaha menetralkan emosinya, Alana keluar dari toilet dan berencana kembali menuju ruangan Adara.Menemukan
Wanita dengan kemeja kebesaran itu berhenti sejenak, tepat saat dia menemukan senyum menenangkan yang terarah padanya. Arkasa mengangkat dan melambaikan dua buah paper bag bertuliskan resto cepat saji. Alana yang tadinya penuh dengan temperamen dingin mau tak mau sedikit melunak. Dia melangkahkan kaki jenjangnya mendekat dan membiarkan sebelah lengan Arkasa merangkul pinggangnya sembari menuntun kearah kursi panjang di depan ruangan Adara dirawat."Kamu belum makan sejak tadi, aku gak mau merawat dua orang sakit sekaligus," Arkasa menyindir. Sementara Alana hanya membalasnya dengan decihan kecil. Membiarkan Arkasa kini bergerak telaten membuka bungkus makanan dan menyerahkannya. Arkasa Dean Pradipta bahkan tak lupa membawa dua cup kopi hangat untuk menemani malam jaga mereka kali ini.Baru sama- sama menelan suapan pertama masing- masing, ponsel Arkasa berdering. Lelaki itu merogoh sakunya dan mendapati satu panggilan masuk dari sang mama. Dia tak kunjung menggeser tombolnya, justru
Wajah murungnya sama sekali tak bisa disembunyikan. Alana duduk di kursi kebesarannya sembari termenung. Pagi tadi, dia dan Arkasa harus sama- sama kembali pada pekerjaan. Ada Ayah dan Mama Adara yang telah bergantian menemani Adara sekarang.Semalam, ketika mertuanya sampai rumah sakit, Alana jelas melihat raut cemas di wajah mereka. alih- alih membahas kehamilan Adara, keduanya kompak mengkhawatirkan kondisi Adara. Setidaknya Alana dan Arkasa bisa bernafas lebih ringan. Omong-omong soal wanita itu, Adara katanya sudah siuman beberapa jam yang lalu. Namun dia belum bisa diajak bicara, pandangannya masih kosong dan kondisinya belum cukup stabil.Saat- saat seperti ini Alana merasa gusar dan harus segera berada disana. Namun di satu sisi dia juga tidak sanggup melihat penderitaan sahabatnya itu. Dia hanya bisa memaksakan untuk tetap berkonsentrasi pada rapat yang dilaluinya tadi pagi.Rosaline masuk ke dalam ruangan dengan membawakan segelas teh hangat dan camilan. Alana tidak bisa sa