Bahu sempit Alana disentuh pelan, Arkasa memberinya usapan lembut sebagai penenang. Keduanya berdiri di depan pintu rumah menatap Bayu yang berdiri kaku dihadapan mereka. Setelah tiga hari Adara keluar dari rumah sakit dan tinggal di kediaman mereka, Bayu benar- benar baru berusaha menemui hari ini?Alana menghembuskan nafas dengan kasar. Lelaki dihadapannya itu benar- benar pengecut. Kemana dia selama ini saat Adara masih di rumah sakit? "Apa lagi sekarang?"Setelah tragedi hari itu, siapapun seolah melupakan dan mengubur dalam-dalam rencana pernikahan Adara dan Bayu. Bukan tanpa sebab, itu karena Bayu sendiri yang menghilang seolah tak peduli lagi pada Adara. Bayu memainkan jemarinya sendiri, Alana sangat benci keadaannya sekarang. Dimana Bayu arogan yang dulu dengan percaya diri menuduh Adara berselingkuh? Dia bahkan dengan bangga mengatakan bahwa apapun yang dia lakukan merupakan sebab dari perselingkuhan Adara. Sekarang kenapa lelaki itu justru berubah seolah dia dihakimi balik
Jalanan pagi ini cukup lenggang padahal biasanya dipenuhi hiruk pikuk kemacetan. Mungkin karena pagi tadi hujan dan matahari seolah masih malu-malu menampakkan sinarnya. Ini hari libur, dengan situasi dingin-dingin sendu begini ya memang paling asyik bergelung lagi bersama selimut. Tapi itu tidak berlaku untuk Alana. Meskipun dia sempat tergoda untuk memasak mie instan, pada akhirnya wanita itu tetap pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Dia tidak bisa membiarkan suami dan sahabat sekaligus adik iparnya itu hanya makan makanan cepat saji atau delivery. Karena ini hari libur, Alana tentu punya cukup waktu untuk memasak sepenuh hati. Selain itu, dia tentu ingin mengusahakan apapun agar situasi hati Adara terus membaik. Arkasa tadinya hendak ikut mengantar tapi dia melarangnya. Menurut Alana, lebih baik Arkasa menjaga Adara saja di rumah. Bukan apa-apa, meskipun Adara bisa melakukan apapun sendiri selama di rumah, namun dia takut saja terja
Satu buah nampan yang diatasnya berisi semangkuk bubur polos dan jus buah menanti diatas meja makan. Beberapa ketukan yang tadi tak dihiraukan membuat Arkasa jengah. Lelaki itu melirik kearah jendela, diluar mendung dan sepertinya akan segera turun hujan. Dia ingin menyusul Alana, namun tugasnya sekarang adalah memastikan adiknya menghabiskan sarapannya. Dengan cekatan ia membawa nampan ke depan pintu kamar Adara, mengetuknya sekali lagi. "Dar, ayo sarapan dulu," ujarnya dibalik pintu. Tak terdengar respon apapun. Arkasa menghela nafas, "aku masuk ya."Dia menarik kenop pintu, mendapati Adara masih bergelung dalam selimut memunggunginya. Dari punggungnya yang setengah bergetar, Arkasa tahu Adara dalam keadaan terjaga.Lelaki itu menghela nafas pelan. Diletakkannya nampan diatas meja sebelum bersandar di dekat lemari. Pandangannya lurus kearah jendela yang menampakkan rintik hujan mulai turun diluar sana."Ayo makan!"Tak ada sahutan lagi.Arkasa beringsut menuju ranjang, dia menari
Alana menutup pintu utama setelah mengantarkan sang mama mertua masuk kedalam mobil. Mertuanya itu menghabiskan waktu seharian menyiapkan makanan dan berbincang di rumahnya bersama Adara dan Arkasa juga.Membalik tubuh setelah berhasil mengunci pintu, tatapannya langsung bertemu dengan Arkasa Dean. Raut wajah Alana berubah secara perlahan. Awalnya dia masih memaksakan sebuah senyuman, namun kini berubah menajam. Dia tak terlalu memerdulikan Arkasa yang menatapnya dengan pandangan memelas. Tanpa bicara sedikitpun, Alana melenggang malas melewati tubuh besar Arkasa yang sempat mematung.Setelah beberapa langkah, dia sadar bahwa di rumah ini masih ada sahabat tersayangnya, Adara. Wanita yang juga menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Derap langkah dibelakangnya juga mengisyaratkan bahwa Alana berada diantara kakak beradik gila yang seolah memaksanya terlibat dalam drama mereka.Ah, ini memuakkan."Al.."Adara membuka suara sembari berusaha meraih pergelangan Alana. Namun dengan ge
Alana terbangun dengan pening yang menjalar di kepalanya. Rambut tebalnya tanpa sadar dia cengkram erat sembari meringis, niatnya mencoba meredam sakit, namun tentu sama sekali tak memberi pengaruh apapun.Ia melirik asbak semalam yang berisi beberapa puntung pendek. Termenung hingga pukul empat pagi sepertinya cukup membuat tubuhnya melemah. Dengan lunglai kaki jenjangnya berusaha menapak menuruni ranjang. Alana masih punya cukup tenaga untuk menjalani hari- harinya seperti biasa hari ini. Meskipun dia juga harus menyiapkan ekstra tenaga untuk berjalan tegak dan tersenyum menyembunyikan seluruh perasaan campur aduk miliknya.Pukul delapan pagi, biasanya mungkin Alana akan kelabakan karena tak ingin sampai kantor terlalu siang. Namun untuk kali ini dia menyerah akan egonya. Setelah mengabari Rosaline bahwa dirinya akan tiba di kantor agak siang, Alana berjalan keluar kamar sedikit lunglai.Destinasi pertamanya adalah dispenser air yang tak jauh dari kamarnya. "Arkasa berangkat ke Mi
"Kita sudah sampai, pak," suara Arta menyadarkan lamunan Arkasa.Lelaki yang baru memasuki usia kepala tiga itu mengalihkan pandangannya dari jendela setelah mengamati jalanan malam dengan pikiran kosong. Entah sejak kapan namun mobil yang ditumpanginya ternyata sudah berhenti tepat di depan pintu masuk hotel.Seorang lelaki bertubuh besar membuka pintunya, membiarkan Arkasa turun dengan setelan dan terlihat super menawan. Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya sementara aura dingin terus menguar kuat. Dia disambut beberapa lelaki yang menunduk sopan menyapanya, mengarahkan Arkasa untuk masuk melewati pintu utama.Arta menyerahkan kunci ruangan dengan sopan. Arkasa menerimanya dan langsung masuk kedalam kamar hotel yang akan dia tempati selama beberapa hari kedepan. Kopernya sudah ada disamping lemari. Tak banyak yang dia bawa mengingat keberangkatannya juga super mendadak. Lelaki itu melepaskan setelan mahalnya sebelum langsung membasuh diri. Tak butuh waktu lama, Arkasa keluar
Kejutan apa lagi ini?Alana merasa hidupnya sedang benar- benar dipermainkan. Dia hampir gemetar membaca beberapa buah surat yang sudah sedikit usang. Sang ibu mertua duduk dengan tenang dihadapannya seolah telah menduga keterkejutan di wajah Alana. "Mama pikir sudah seharusnya kamu tahu. Ini adalah alasan utama Arkasa tidak mau menjadi pewaris," ujar sang mertua.Alana mengernyit tak paham. Dia merasa sudah mengalami banyak hal konyol dalam hidupnya, tapi yang satu ini terasa tidak masuk akal. Kepalanya terangkat kembali, memasang raut ragu saat memandang wajah ibu mertuanya yang masih menatapnya teduh."Tapi kalian terlihat mirip," cicit Alana.Si mertua tertawa kecil, "ada yang bilang, kalau sudah tinggal bersama, lama- kelamaan juga akan terlihat mirip," balasnya santai. Alana masih menolak percaya. Bagaimana bisa? Kertas di tangannya menunjukkan surat keterangan adopsi dan hasil tes DNA. Apakah ini masuk akal?"Sebelum melahirkan Adara, mama dan ayah sempat kesulitan untuk mem
Gelap dan sunyi. Jemari lentik itu menekan saklar lampu ruangan perlahan. Tatapan Alana kosong ketika memindai huniannya yang benar- benar sepi. Alana masih menjinjing tas kerja di tangan sebelahnya, sementara satu tangan lagi kini mengangkat heels yang baru dia lepaskan.Pagi tadi Adara secara resmi meninggalkan rumah ini. Wanita itu akan memulai perjalanan barunya untuk mandiri. Langkah positif yang tentu Alana dukung demi kebaikan sahabatnya sendiri. Ini masih pukul sepuluh malam dan wanita dua puluh delapan tahun itu merasa hampa. Ini mungkin kali pertama dia tinggal di rumah ini sendirian begini?Alana melepaskan seluruh kain yang melekat pada tubuhnya kala dia memasuki kamar mandi. Berendam dengan aroma yang menenangkan menjadi pilihannya kali ini. Wanita itu dengan hati- hati masuk kedalam bath tub, membiarkan tenangnya mengisi jiwa.Ketika dia memejamkan mata, sekali lagi bayangan sayu Arkasa melintas dalam pikirnya. Bagaimana lelaki itu menatapnya sayu hari itu masih membeka