"Mas Arfan suamiku .... Maafkan aku. Selama menjadi istrimu, banyak sekali dosa yang aku perbuat padamu. Tidak ada kata selain maaf yang sebesar-besarnya. Dan ... Mas, harus tahu. Kalau aku, sangatlah menyayangi Mas Arfan. Sangat, sangat, sangat," ujarku dengan air mata yang terus keluar. Mendengar suaraku yang bergetar, Mas Arfan langsung memiringkan tubuhnya dan memelukku. Meraba wajahku yang basah. "Tari, kenapa harus menangis? Kita buat rekaman buat seru-seruan, 'kan? Kenapa kamu jadi begini?" Mas Arfan mengusap pipiku. Aku langsung mematikan ponsel, lalu memeluk tubuh suamiku. Aku kembali tersedu di dada Mas Arfan."Mentari.""Maaf, Mas. Maafkan aku," ucapku di sela isak tangisku."Kamu tidak punya salah. Jangan begini, aku bingung jadinya. Apa yang harus aku lakukan?" "Maafkan aku. Cukup dengan memaafkan aku, Mas." Aku masih terus mengulangi kata itu. Mas Arfan mengusap punggungku seraya terus mengecup pucuk kepalaku. "Aku memaafkanku. Sebesar apa pun dosamu, aku sudah mem
"Kamu punya otak apa tidak, Mentari! Sudah tahu Arfan harus bolak-balik dibawa ke rumah sakit, tapi malah kamu ajak pergi. Ini jam berapa?!" Di sinilah aku sekarang. Berdiri dengan kepala menunduk saat Mama memarahiku.Setelah kami sampai di rumah, Mama langsung menyuruh Mas Arfan untuk masuk ke kamar. Dan aku, Mama bawa ke kamarnya untuk menerima amarah ibu mertuaku itu. Bagaimana Mama tidak marah, karena kami sampai di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tadi, perjalanan kami terhambat oleh kemacetan. Alhasil, kami pulang terlambat dan itu yang menyebabkan Mama murka."Maaf, Mah. Tadi di jalan macet," ucapku seraya memilin jari-jariku. "Kamu jangan ajarin anak saya jadi pembangkang sepertimu, Mentari. Pergi dari rumah tanpa izin, pulang semaunya sendiri. Kamu pikir kamu siapa, bisa seenaknya? Ini rumahku, aku yang punya kuasa di sini!" Seraya berkacak pinggang, Mama terus mengeluarkan kemarahannya. Berulang kali aku meminta maaf, tapi sepertinya hati Mama sud
Semua orang yang tengah menikmati hidangan mereka, seketika melihat ke arahku yang berdiri seraya menunjuk dinding di mana yang mulanya fotoku sebagai pemilik restoran, kini diganti dengan foto Nadia. "Kamu! Ke mari!" panggilku pada pelayan yang baru saja selesai mengantarkan pesanan. "Di mana Nadia?!" tanyaku. Pelayanan wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk memegang nampan dengan erat. "Di mana Nadia?!" tanyaku lagi semakin emosi. Namun, wanita itu tetap bergeming."Gue di sini, Meta!" Kualihkan pandangan dari pelayan tadi ke arah wanita yang berjalan menghampiriku. Penampilannya sangat berbeda. Dia lebih rapi dengan setelan celana dan blazer bermotif kotak-kotak."Ini apa-apaan, Nad?" tunjukku pada foto dia yang tengah tersenyum bahagia."Seperti yang lo lihat. Itulah gue sekarang.""Maksud, lo?" tanyaku semakin tidak paham."Ikut ke ruangan gue, Meta. Gue tidak mau pembahasan kita mengganggu pengunjung."Aku mengikuti Nadia yang berjalan terlebih dahulu. Tidak sabar ing
“Mas, ini kenapa kamar berantakan sekali?” Mataku memindai sekeliling kamar yang begitu berantakan. Semua barang berserakan di bawah. Cermin meja rias pecah, foto-foto yang awalnya menggantung di dinding, kini memenuhi lantai dengan kondisi yang ... sangat hancur. “Mas, kamu marah sama aku karena aku pergi tidak pamit?” tanyaku. Sedangkan pria yang aku ajak bicara, dia bergeming masih membelakangiku. “Ya Allah, Mas. Maaf, aku tidak maksud buat pergi gitu aja. Tadi, Ayah telepon dan menyuruhku ke rumahnya. Aku—“ “Terus saja bersandiwara, Meta,” ucap Mas Arfan dingin. Sontak saja aku kaget dengan panggilan Mas Arfan padaku. Tubuhku terpaku, mataku membulat dengan tangan yang menutup mulut saat Mas Arfan membalikan badan. Kepala kugelengkan berulang kali hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di sana, pria yang aku takutkan dapat melihatku, nyatanya sudah benar-benar bisa melihat wujud asliku. Tidak ada lagi perban yang menutup matanya. Aku bisa melihat bulu mata lebat Ma
Aku mengembuskan napas saat pertanyaanku tidak mendapat jawaban. Mobil sudah mulai melaju, dan aku pasrah ke mana pun Mas Arfan akan membawaku pergi.Kepingan kenangan kebersamaan kami melintas di benakku seperti sebuah film. Tawa kami, canda kami, begitu lepas saat itu. Bahkan kehangatan pria yang berstatuskan suamiku begitu lekat dalam ingatanku.Namun, sekarang semuanya hilang. Jangankan ada canda tawa, bicara pun dia tak mau. Kami seperti orang asing yang tidak saling mengenal.“Mas.”“Diam,” ucapnya dingin.Aku merengut mendengar suaranya yang seperti es. Jangankan untuk menoleh, bersuara pun dia enggan.Lima belas menit perjalanan, Mas Arfan membelokkan mobil ke sebuah perumahan. Namun, aku tidak tahu tujuan dia apa hingga membawaku ke sini. Pasalnya, ini bukan perumahan yang ditinggali keluargaku.“Turun,” titah Mas Arfan.Kini mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah yang nampak bersih dan rapi. Aku turun dari mobil, melihat ke sekeliling rumah bercat warna abu-abu itu
Satu minggu bersama Mas Arfan dengan sikap barunya, membuatku hidupku layaknya di penjara. Aku dibuat tidak mengenali suamiku sendiri, karena dia yang memberi jarak. Seperti ada tirai penghalang antara aku dan suamiku. Meskipun tipis, tapi menjadi pemisah di antara kita. “Mas, kopinya,” ucapku seraya menyimpan gelas di samping laptop yang tengah ia perhatikan. Setelah matanya kembali melihat, Mas Arfan mulai aktif kembali bekerja. Hari-harinya dia habiskan di depan layar dari sepulang kerja sampai malam datang. “Istirahat dulu, ini sudah larut,” ucapku lagi saat tidak ada respon dari Mas Arfan. “Hmm.” Sudah biasa. Gumaman selalu jadi jawaban dari kebisuan Mas Arfan. Kalau sudah seperti itu, aku bisa apa? Pergi meninggalkan dia seorang diri. Aku pun membiarkan Mas Arfan dengan pekerjaannya. Memilih pergi ke ruang tv melihat acara televisi yang sama sekali tidak bisa menghiburku. Malam semakin larut hingga kurasakan hawa dingin menusuk kulitku. Kueratkan sweater agar ba
“Mas, tunggu!” Aku mengejar suamiku yang sudah hampir keluar dari pintu.Kutarik kaus bagian belakangnya hingga ia sedikit terjengkang.“Kasar.” Mas Arfan berucap seraya diakhiri decakan. Ia merapikan pakaiannya, lalu melihatku dengan tidak suka.“Maaf. Tapi ... ini harus aku kerjakan sendiri?” tanyaku seraya mengangkat kertas yang tadi dia berikan.“Iya. Teman-temanku akan datang hari ini. Jadi, jangan membuatku malu dengan tidak ada makanan sama sekali di sini. Hidangkan makanan paling enak untuk mereka. Paham?”“Tapi, Mas ....”Belum juga aku menyelesaikan ucapan, Mas Arfan langsung pergi begitu saja tanpa pamit. Jangankan berpamitan, bilang akan pergi ke mana pun juga, tidak dia katakan.Sangat menyebalkan!Aku baca kembali isi tulisan dalam kertas yang aku pegang. Isinya tetap sama, yaitu nama menu makanan yang harus aku masak hari ini.Apakah satu menu?Tidak. Semuanya ada enam menu masakan yang terbilang rumit. Butuh waktu yang lumayan lama untuk menghidangkannya. Terlebih, bah
“Tidak sopan,” desisku pelan saat melihat wanita berbaju ketat itu memeluk leher suamiku.Bukan hanya Mas Arfan yang terperanjat dengan apa yang dilakukan wanita itu, tapi juga teman-teman Mas Arfan yang langsung berhenti mengunyah dan langsung melihat ke arahku yang mengepalkan tangan dengan wajah yang memanas.“Lisa, ngapain kamu?” tanya Mas Arfan seraya melepaskan tangan wanita itu.“Ih, Mas. Aku ‘kan kangen, Mas. Sudah lama, loh kita tidak berjumpa. Mas, sih diem di rumah orang tua Mas, terus. Jadinya kita jarang ketemu,” ujar wanita itu dengan manjanya.Aku masih diam di tempat mengawasi situasi yang semakin memanas. Satu persatu teman-teman Mas Arfan menyudahi acara makannya. Mungkin mereka merasa malu sendiri melihat tingkah wanita itu yang begitu berani.Sedangkan suamiku, ia berdiri seraya menoleh ke arahku. Entah apa maksudnya, tapi wajahnya begitu merah padam.“Maaf, semuanya, ini namanya Lisa. Dia ... adik dari Almarhumah istriku.”Semuanya manggut-manggut, kecuali aku.Ha