Share

Wisteria Manor

I

Pagi itu Rita sedang menyiapkan sarapan ketika dia mendengar Azalea menggerutu di ujung lorong. Wanita itu kemudian menyerbu ruang makan layaknya miniatur tornado. Dia berjalan sempoyongan dan terpincang-pincang setelah pulang dengan kaki terkilir beberapa jam sebelumnya. Ditunjukkannya layar ponsel wanita yang sedang kesal itu kepada Rita.

Wisteria Manor. Pukul 10:15.—V

“Ternyata memang tidak ada waktu untuk istirahat,” keluh Rita.

Azalea duduk dan menyantap telur goreng dan roti panggangnya yang sudah siap di atas meja. Rita meletakkan secangkir teh mint di hadapannya dan kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Segera setelah Azalea selesai dengan sarapannya, dia mengeluhkan pesan V.

“Ah, nggak tahu deh harus gimana.”

“Saya merasakan hal yang sama—”

“Kau kehilangan jejaknya?”

“Lebih tepatnya, saya memilih untuk tidak bertindak lebih jauh.”

“Begitu? Di mana terakhir kali kau melihatnya?” tanya Azalea yang penasaran.

Paradis Hill.”

Azalea bersiul ketika mendengar nama itu.

“Seleranya memang bagus. Tapi jujur saja, tempat itu sangat membosankan.”

“Nona pernah tinggal di sana?”

“Yah, kupikir waktu itu aku masih berumur tujuh atau delapan tahun,” kata Azalea sambil mengingat-ingat kembali. “Bukan tempat yang menyenangkan.”

Azalea terdiam untuk beberapa saat. Dia memainkan ujung rambutnya dengan jarinya yang panjang dan kurus—sesuatu yang menandakan bahwa dia sedang berpikir.

“Mungkinkah,” katanya pada akhirnya, “mereka ada hubungannya dengan suatu kasus yang melibatkan para bangsawan itu? Kalau memang benar begitu, ini akan menjadi kasus yang menarik!”

Rita berusaha untuk tidak tertawa, tapi saat melihat betapa antusiasnya Azalea, dia yakin jika perasaan gadis itu sudah membaik. “Baiklah, bagaimana jika kita berangkat sekarang?”

II

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat delapan menit pagi ketika mereka melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Cuaca saat itu sedang cukup baik untuk sebuah bulan yang sering memamerkan awan kelabunya. Rita memanggil taksi dan dalam waktu empat puluh tiga menit, mereka telah sampai di Wisteria Manor. Bangunan tua yang masih berdiri dengan kokoh itu berada di luar pusat Brightcrown City—dan seperti namanya, tempat itu dipenuhi dengan pepohonan wisteria.

“Bukankah itu mobil Lady Cowley?” tanya Azalea ketika melihat sebuah Rolls Royce Phantom terparkir di halaman rumah yang luas itu.

“Saya pikir demikian,” jawab Rita sambil menimbang-nimbang.

Mereka berhenti di depan pintu dan Rita membunyikan bel. Seorang pelayan pria berambut putih dan bertubuh gempal segera membukakan pintu. Melihat siapa yang sedang berdiri menunggu di luar pintu, pelayan itu mengangguk dengan penuh hormat.

 “Lady Viscaria mengharapkan kehadiran Nona berdua, tapi perlu saya sampaikan jika saat ini Nyonya sedang menemui seorang tamu,” katanya saat menyambut kedatangan mereka berdua. “Tapi tentu saja, ruang baca sudah dipersiapkan untuk murid nomor satu Lady Viscaria beserta sahabatnya yang selalu setia menemani di setiap petualangannya.”

“Godfrey!” pekik Azalea. “Kau memang yang terbaik.”

“Suatu kehormatan dapat berjumpa kembali dengan Anda, Tuan Godfrey,” sapa Rita.

Si kepala pelayan itu tertawa. Dia kemudian mengantarkan mereka berdua menuju ruang baca yang terletak di ujung lorong sebelah kiri foyer.

Ruang baca Lady Viscaria berukuran cukup besar dengan rak-rak buku tinggi terletak hampir di setiap sisi dinding. Sebuah meja kerja dengan dua kursi berlengan berada dekat dengan jendela dan beragam lukisan-lukisan portrait menghiasi sisi dinding di atas perapian—yang salah satunya berukuran lebih besar dari yang lain. Lukisan itu adalah sebuah lukisan portrait diri seorang pemuda dengan mata terpejam dan senyum lembut yang menghiasi wajahnya. Dia terlihat sedang memeluk sesuatu yang berukuran kecil dan dibalut dengan kain putih dekat dengan dadanya. Lukisan karya Jean-Pierre Braque itu dikenal Azalea sebagai ‘Malaikat Pelindung Viscaria’.

Sebuah ketukan di pintu menarik perhatian ketiga orang yang baru saja masuk ke ruang baca. Seorang gadis yang terlihat gugup berdiri di ambang pintu, “L-Lady Viscaria mengatakan jika saya harus menyampaikan pesan beliau bahwa—bahwa Nyonya akan segera menjumpai, eh, Nona berdua. Karena itu—”

Bicaranya berhenti dan matanya menatap Godfrey, berharap untuk mendapatkan bantuan.

“Nona Azalea, Nona Rita,” kata Godfrey sambil tersenyum, “perkenalkan, Vivian—pelayan pribadi Lady Viscaria. Vivian, kedua wanita ini adalah tamu sekaligus sahabat Lady Viscaria. Nah, Vivian, adakah yang masih ingin kau sampaikan?”

Gadis yang wajahnya pucat itu mengangguk, “A-Adakah yang bisa saya lakukan untuk Nona berdua?”

“Ah,” seru Azalea sambil menahan tawa, “kami baru saja sarapan—dan minum teh!”

Rita mengangguk pada pelayan yang terlihat semakin gelisah itu.

“Tidak apa-apa, kau bisa tinggalkan kami.”

Godfrey membungkuk dan berjalan menuju pintu. Vivian segera menyingkir, membungkuk dengan kaku dan menutup pintu. Beberapa menit kemudian pintu ruang baca kembali terbuka. Kali ini bukan si pelayan yang bermandikan keringat dingin yang membuka pintu, melainkan seorang wanita paruh baya yang berjalan dengan anggun memasuki ruangan. Azalea tetap duduk di tempatnya. Sedangkan Rita yang berdiri di sampingnya segera membungkuk—memberi hormat kepada wanita itu.

“Dia yang telah membuat kalian menunggu yakin bahwa kalian berdua sudah bertemu dengan Vivian,” kata wanita paruh baya itu setelah duduk di kursi malas.

“Serius—pelayan pribadi? Nggak ada yang lebih baik?” keluh Azalea.

“Tapi dia gadis yang baik,” sanggah Rita sambil tersenyum.

Azalea memutar bola matanya dan menyandarkan punggungnya ke kursi malas.

“Nah, jadi bagaimana?” tanya si wanita paruh baya pada si anak manja yang duduk di sampingnya itu.

Azalea terlihat begitu enggan untuk menjawab pertanyaannya, tapi Rita memberi isyarat untuk segera memberi wanita paruh baya itu jawaban.

“Dengar,” kata Azalea dengan cemberut, “aku gagal, oke?”

“Begitu,” si wanita paruh baya menatapnya tajam, “ceritakan.”

Dengan ringkas, Azalea menjelaskan apa yang didengarnya di The Dorchester dan petualangannya setelah itu.

Moonlit Alley ternyata tempat yang bagus!” seru Azalea. “Frappuccino mereka enak, pelayanannya juga cepat, dan yang lebih penting mereka memikirkan tentang kebersihan—mereka pakai sarung tangan karet!”

Wanita paruh baya itu tersenyum.

“Selain itu, penjaga stan itu bukanlah anak kembar!”

“Mengapa demikian?”

“Nggak seperti katamu, wanita yang berjaga saat itu sama sekali nggak memiliki fitur-fitur wajah yang dimiliki si pemuda. Dan kau tahu, jika berpelukan dan memberikan ciuman-selamat-malam sebelum berpisah adalah apa yang biasa dilakukan anak kembar, maka aku nggak akan berkata apapun lagi.”

“Lalu, apa yang kau lakukan setelah mereka berpisah?”

“Mengikuti si pemuda,”

“Dan apa yang kau dapatkan?”

Azalea membenarkan posisi duduknya.

“Pemuda itu menemui kembarannya! Si wanita memeluknya dan bertanya, ‘Bajingan itu nggak melukaimu, kan?’. ‘Aku baik-baik saja, tapi bukan itu masalahnya. Kau bagaimana?’ tanya si pemuda. Wanita itu menundukkan kepalanya dan terdiam selama beberapa waktu. ‘Kita lari saja,’ kata si pemuda. ‘Bagaimana dengan ibu?’ balas si wanita. Mereka kembali terdiam dan si wanita mengatakan sesuatu seperti ‘Pulanglah, aku akan menemuinya.’ Aku rasa kau bisa menebak ke mana wanita itu pergi.”

“Ludwig,” tebak si wanita paruh baya.

Azalea menganggukan kepalanya.

“Tempat pertemuan mereka—atau lebih tepatnya tempat persembunyian Ludwig, adalah sebuah rumah tua di perkampungan kumuh di luar Mamonaku. Penerangannya buruk sekali, tapi karenanya aku bisa menyelinap ke samping rumah itu dan melihat seorang laki-laki berkulit gelap yang membukakan pintu beberapa saat setelah buruanku mengetuk pintu. Mereka berbicara sebentar dan dia mempersilakan si wanita masuk.

“Aku berusaha mencari cara untuk bisa masuk, atau paling nggak mencari jendela untuk bisa melihat kondisi di dalam. Aku menemukan sebuah pohon yang berada di belakang rumah. Salah satu cabangnya mengarah ke sebuah jendela di lantai dua. Aku memanjatnya dan dengan hati-hati bergerak menuju cabang pohon itu. Beruntungnya aku karena Ludwig dan si wanita ada di dalam sana. ‘Ini tidak seperti kesepakatan kita!’ bentak Ludwig. ‘Situasinya berubah,’ jawab si wanita. ‘Albert!’ teriak Ludwig. Laki-laki berkulit gelap itu masuk dan beberapa menit kemudian yang kulihat hanyalah si wanita yang di pukul habis-habisan oleh Albert. Aku benar-benar marah dan hampir melompat ketika ternyata cabang pohon itu menyerah. Aku jatuh dan mengagetkan mereka.”

“Wanita itu pasti dipindahkan ke tempat lain setelahnya,” kata si wanita paruh baya.

“Saya siap mengemban tugas untuk mencarinya—jika Nyonya Viscaria menghendaki,” kata Rita dengan penuh hormat.

Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya.

“Belum waktunya.”

“Vis, aku mengacaukannya,” kata Azalea sambil menutupi wajahnya yang merah.

“Sayang sekali,” kata Lady Viscaria sambil menghela napas, “memang benar jika ini bukan seperti yang Dia harapkan. Tapi tentu saja, penyelidikan kalian telah membuahkan hasil yang cukup membenarkan dugaan-dugaan-Nya.”

“Apa maksudmu?” tanya Azalea dengan penasaran.

“Tunggu sebentar, ada yang datang—ah seekor banteng sepertinya.”

Azalea dan Rita bertukar pandang ketika mereka mendengar sebuah suara langkah kaki yang berat dan cepat dari luar pintu.

“T-Tuan, tunggu sebentar!” teriak si pelayan muda yang kebingungan.

Pintu ruangan itu terbuka dengan paksa, seorang laki-laki berkulit gelap menyerbu masuk dan memandangi tiga wanita yang ada di dalam secara bergantian.

“Yang mana di antara kalian adalah Madame V?” dia bertanya.

Lady Viscaria mengangkat jarinya sambil tersenyum kecil.

“Oh! Tentu saja,” kata laki-laki itu. “Dengar, Madame, jangan ikut campur urusan orang lain atau Anda akan menerima akibatnya!”

“Hanya itu yang ingin Anda sampaikan?” tanya Lady Viscaria sambil menatap dalam-dalam mata merah laki-laki itu. “Bau badan Anda sungguh menyengat, segeralah keluar.”

Banteng gila itu mendekati Lady Viscaria dengan langkah-langkah lambat dan berat.

“Saya sudah biasa menghadapi orang seperti Anda, dan mereka saya bikin kapok!”

“Nama Anda Albert, bukan?” tanya Lady Viscaria dengan tenang.

“Itu benar nama saya,” laki-laki itu mulai waspada dan berjalan mundur.

“Dengar, Tuan, kita sama-sama tahu jika pekerjaan yang kita lakukan berada di luar ranah hukum,” Lady Viscaria melirik Azalea yang telah siap dengan sebuah besi di tangannya dan Rita yang mengacungkan dua pisau tanto-nya. “Dia yang sedang berbicara dihadapan Anda ini merasa jika memang sebuah perkelahian adalah apa yang Anda inginkan, maka biarlah terjadi—di sini, saat ini juga.”

Albert terlihat semakin gelisah.

“Anda tentunya paham betul siapa Madame V, bukan? Dia yang sudah berusaha cukup bersabar dengan bau badan Anda ini lebih dari mampu untuk sekedar menguliti dan menjual organ dalam Anda.”

“Demi Tuhan, kasihanilah saya, Madame V—”

“Hanya jika Anda beritahukan keberadaan Emily Jess.”

“Saya tidak mengerti—”

Lady Viscaria mengangkat tangan kirinya. Di sudut kanan mata Albert, terlihat Rita yang dengan cepat menyerbu ke arahnya. Albert melompat mundur, namun pergerakan Rita jauh lebih cepat darinya. Gagang pisau tanto-nya menghantam rahang kanan laki-laki itu hingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Dia jatuh dengan suara berdebam yang keras.

 “Kasihanilah saya! Kasihanilah saya!” teriak Albert. “Wanita yang Anda inginkan itu ada di gudang mobil-mobil bobrok di dekat dermaga Mamonaku!”

Viscaria mengangguk dan melambaikan tangannya. Albert mengerti isyarat itu dan segera berlari keluar sesigap saat dia masuk tadi.

“Uwah,” gumam Azalea, “apa-apan tadi itu?”

“Astaga, saya pikir saya harus mengotori karpet Nyonya Viscaria dengan darahnya.”

Wanita paruh baya itu tertawa.

“Untunglah kalian tidak perlu menghancurkan hatinya yang lembek itu. Albert sebenarnya tidak berbahaya, hanya bocah ingusan yang suka menggertak!”

“Tapi kenapa dia ke sini?” sergap Azalea. “Tidak, tunggu dulu, Emily Jess? Wanita yang terlibat dalam kasus keracunan tiga hari yang lalu itu?”

Lady Viscaria mengangguk.

“Jadi bagaimana?” tanya Azalea setelah mengembalikan besi yang diambilnya dari samping perapian dan kembali duduk.

Wanita paruh baya itu mengangkat jarinya sebagai isyarat untuk menunggu. Dia berdiri dan berjalan menuju meja kerja di dekat jendela. Dia sibuk menuliskan sesuatu di secarik kertas yang kemudian dilipat dan dimasukkan ke sebuah amplop.

“Nah, Rita,” panggil Lady Viscaria. “Kau tahu di mana Emily berada. Bawa dia kehadapan-Nya malam ini—dan di pintu keluar nanti, tolong berikan ini pada Vivian. Katakan padanya untuk segera menyerahkan amplop ini pada Inspektur Leblanc, bukan yang lain.”

Rita segera melaksanakan perintah Lady Viscaria dan meninggalkan ruang baca.

“Dia baru akan menceritakannya padamu, ketika gangguan yang menggelikan itu tiba-tiba muncul!” keluh Lady Viscaria.

Azalea memajukan tubuhnya. “Aku mendengarkan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status