Ada banyak restoran mewah di 5th Avenue, lingkungan kelas atas yang berada di sisi timur Brightcrown City. Salah satu restoran bintang lima yang paling sering dikunjungi warga lokal dan wisatawan di sana adalah The Dorchester. Alasan utamanya, selain tentu saja menu mewah yang ditawarkan restoran itu, adalah letak strategisnya. The Dorchester berdiri dengan kokoh dan penuh hormat di hadapan King’s Garden dan hanya berjarak kurang lebih 1,6 kilometer dari toko-toko desainer dan stasiun kereta bawah tanah East Brightcrown Tube.
Saat ini, di dalam restoran yang penuh dan ramai itu, seorang wanita yang belum lama ini menginjak usia dua puluh tiga tahun sedang mencuri dengar pembicaraan dua laki-laki berkulit putih yang duduk di meja dekat jendela—meja di depannya. Dari cara si laki-laki berbadan besar berbicara dengan bahasa tubuhnya, dia terlihat lebih menguasai suasana dan memiliki kekuasaan yang lebih dari si laki-laki bermata miring yang bertubuh lebih pendek yang duduk di depannya—yang dipanggilnya dengan sebutan Ivanovich. “Perubahan rencana,” kata si laki-laki berbadan besar yang hanya bisa dilihat punggungnya oleh si wanita.
“Jadi bagaimana?” tanya Ivanovich dengan dahi berkerut.
“Ikutlah bersamaku untuk menemui gadis itu.”
Laki-laki bermata miring itu terlihat sedikit cemas tapi segera mengangguk.
“Baiklah,” kata si laki-laki berbadan besar, “kita sebaiknya pergi.”
Dia memanggil pelayan dan meminta bon. Si wanita melakukan hal yang sama, dan beberapa saat kemudian setelah dua laki-laki itu beranjak dari duduknya, dia mengikuti mereka menuruni tangga.
Ivanovich dan rekannya berjalan dengan cukup cepat menuju pintu masuk kereta bawah tanah East Brightcrown Tube. Si wanita melebarkan jangkauan kakinya dan dengan gesit, dia melewati beberapa pejalan kaki yang memenuhi tangga menuju lantai bawah. Hanya perlu beberapa langkah berikutnya dan dia telah berada tepat di belakang Ivanovich yang sedang membeli tiket kereta. Dia meminta tiket kereta kelas satu menuju Mamonaku yang berangkat pukul dua lebih lima belas menit siang pada petugas jaga. Si wanita kemudian melakukan hal yang sama.
Setelah berada di peron, Ivanovich melihat jam tangannya dan menghela napas dengan berat, “Kita masih harus menunggu.”
“Bukan masalah,” jawab si laki-laki berbadan besar.
Dua laki-laki itu tetap berdiri di peron sambil sesekali melakukan pembicaraan ringan yang segera berubah menjadi sebuah perdebatan kecil karena Ivanovich memutuskan untuk tetap tinggal. Mendengar perubahan rencana itu, si wanita mengambil ponselnya dan segera melakukan panggilan.
“Rita, kau bisa mendengarku?” tanya si wanita.
“Dengan jelas, Nona.” Jawab suara dari seberang telepon.
“Kau bisa melihat mereka berdua?”
“Sedikit lebih jelas daripada yang bisa Nona lihat.”
“Baiklah. Sepertinya hanya Ludwig yang akan pergi. Aku akan mengikutinya.”
“Kalau begitu buruan saya adalah si mata miring.”
“Ya, aku percayakan Ivanovich padamu.”
Delapan menit kemudian kereta menuju Mamonaku tiba. Ludwig, si laki-laki berbadan besar, segera melangkah masuk—meninggalkan rekannya yang masih berdiri di peron dengan wajah tidak menyenangkannya. Si wanita berjalan melewati Ivanovich dan mendengar sesuatu yang terucap darinya, “Kita sedang diikuti!”
Kalimat yang meluncur dengan cepat itu menciutkan hati si wanita seketika itu juga. Dia sedikit gemetar ketika melangkahkan kakinya ke dalam kereta, dan tanpa sengaja matanya bertemu pandang dengan mata Ludwig yang begitu waspada. Dengan cepat si wanita segera menyamarkan keberadaannya di antara penumpang kereta dan mengambil tempat duduk yang masih kosong untuk mengatur napasnya. Setelah memastikan jika Ludwig tidak melakukan pergerakan yang dapat mengancam dirinya, si wanita mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan untuk Rita:
Berhati-hatilah. Ivanovich menyadarinya. Hubungi V jika perlu.
Kereta segera melaju setelah satu menit berlalu dan tidak ada yang mengesankan dari perjalanan mereka. Dalam tujuh menit, kereta akhirnya berhenti di stasiun kereta bawah tanah Mamonaku. Sesaat setelah pintu kereta terbuka, Ludwig segera melangkahkan kakinya dengan cepat dan hilang di kerumunan. Si wanita berusaha mengejar bayang-bayang laki-laki berbadan besar itu dan terlihat olehnya jika Ludwig telah berada di tangga keluar stasiun. Dengan susah payah, dia segera mengejarnya.
Pintu keluar stasiun itu terletak di pusat kota Mamonaku—yang merupakan kota terpadat kedua setelah Brightcrown City. Tidak jauh dari tempat si wanita berdiri, ada sebuah stan minuman dingin bernama Moonlit Alley yang sedang ramai pengunjung. Ludwig menuju tempat itu dan melambaikan tangannya. Seorang pemuda kurus dan tinggi keluar dari Moonlit Alley. Mereka berdiri di samping stan dan mulai berbincang.
Si wanita masuk ke dalam antrean dan memperhatikan Ludwig dan lawan bicaranya yang merupakan salah seorang staf Moonlit Alley. Pemuda itu berdiri dengan tidak nyaman dan terlihat sedang berusaha sekuat tenaga melawan rasa takutnya—tapi entah mengapa sebuah senyum tipis sempat terukir di wajahnya. Obrolan mereka berubah menjadi sebuah tanya jawab mengenai sesuatu, karena si pemuda beberapa kali mengangguk dan menggelengkan kepalanya. Termakan oleh rasa penasaran yang tidak lagi bisa dibendungnya, wanita itu bergerak sedikit keluar antrean untuk bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi situasi jalanan yang padat hari itu mengaburkan suara mereka berdua.
“Katakan padanya untuk segera menemuiku malam ini.” Perintah Ludwig.
“Baik,” jawab si pemuda yang sedikit menunjukkan perasan lega.
Antrean di depan wanita itu mulai berkurang dan tepat setelah Ludwig meninggalkan si pemuda, wanita itu mendapat giliran. Seorang staf wanita berambut pendek sebahu menyapanya. Sambil sesekali melirik Ludwig yang telah berjalan menjauh, si wanita segera membuat pesanan.
“Nama Anda?”
“Azalea.”
Wanita itu menuliskan nama pelanggannya yang terlihat gelisah dengan segera, “Baiklah, small cup Matcha Frappucino atas nama Azalea. Silakan.”
“Terima kasih,” kata Azalea sambil mengulurkan uang.
Di kejauhan, sebuah taksi berhenti tepat di mana Ludwig memanggilnya. Laki-laki berbadan besar itu masuk dan taksi mulai berjalan. Ada dua taksi dibelakangnya, tapi dengan segera telah memiliki penumpang.
“Sial,” gumam Azalea.
Dia berpikir sejenak dan menoleh ke Moonlit Alley yang masih ramai pengunjung. Azalea tersenyum dengan tidak percaya ketika diingatnya kembali perintah V untuk mengawasi stan itu, “Dasar, jangan bilang kalau dia telah memperkirakan kegagalanku di sini.”
Di sisi lain, Rita menghadapi petualangannya sendiri. Setelah keluar dari East Brightcrown Tube, tidak terlalu sulit baginya untuk mengikuti Ivanovich. Laki-laki itu berjalan sedikit memutar untuk mencapai King’s Garden. Dia kemudian mencari-cari bangku taman dekat pepohonan dan mulai merokok sambil memeriksa ponselnya. Beberapa menit berlalu dan tidak ada perubahan. “Waspada sekali,” pikir Rita yang mulai bosan.
Ivanovich akhirnya beranjak dari tempatnya duduk. Dia berjalan dengan cepat menuju pintu keluar dan memanggil sebuah taksi. Rita langsung saja mengekor laki-laki yang masih terlihat waspada itu, dan untungnya ada taksi lain yang berhenti untuknya.
“Ikuti taksi itu.” Perintah Rita. “Jangan sampai kehilangan jejak.”
Si supir tua tidak terlalu ingin tahu. Dia hanya menganggukkan kepalanya dan mulai mengikuti taksi di depannya. Lima belas menit berikutnya taksi Ivanovich masuk ke dalam lingkungan perumahan kelas atas—Paradis Hill.
Paradis Hill merupakan perumahan dengan satu pintu masuk dan keluar—yang terbagi menjadi dua bagian; UpHill, yang terpenjara oleh pohon-pohon pinus, dan DownHill, sisi yang mengarah ke sebuah danau.. Perumahan itu hanya memiliki delapan bangunan kuno yang saling berjauhan letaknya. Masing-masing bangunan dimiliki oleh seorang bangsawan yang terlalu aristokratis untuk tinggal berdampingan dengan masyarakat pada umumnya. Rita memutuskan untuk turun di pintu masuk sebelum taksinya menjadi pusat perhatian. Dia kemudian merapikan pakaiannya dan mulai berjalan menyusuri trotoar perumahan itu hingga tiba di sebuah pertigaan. Rita berdiri mematung dan mengawasi dua cabang jalan dan menunggu.
Tidak berselang cukup lama hingga Rita melihat taksi yang membawa Ivanovich muncul di kejauhan dari cabang jalan UpHill. Saat taksi itu melewatinya, dia tidak melihat seorangpun di kursi penumpang. Rita merasa puas dengan sebuah dugaan yang muncul dipikirannya, tapi dugaan itu segera dihapusnya saat itu juga. “Buntu, eh,” pikirnya. Dia kemudian memutuskan untuk mengakhiri petualangannya sore itu dan menghubungi V.
IPagi itu Rita sedang menyiapkan sarapan ketika dia mendengar Azalea menggerutu di ujung lorong. Wanita itu kemudian menyerbu ruang makan layaknya miniatur tornado. Dia berjalan sempoyongan dan terpincang-pincang setelah pulang dengan kaki terkilir beberapa jam sebelumnya. Ditunjukkannya layar ponsel wanita yang sedang kesal itu kepada Rita.Wisteria Manor. Pukul 10:15.—V“Ternyata memang tidak ada waktu untuk istirahat,” keluh Rita.Azalea duduk dan menyantap telur goreng dan roti panggangnya yang sudah siap di atas meja. Rita meletakkan secangkir teh mint di hadapannya dan kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Segera setelah Azalea selesai dengan sarapannya, dia mengeluhkan pesan V.“Ah, nggak tahu deh harus gimana.”“Saya merasakan hal yang sama—”“Kau kehilangan jejaknya?”“Lebih tepatnya, saya memilih untuk tidak bertindak lebih jauh.”“Begitu? Di mana terakhir kali kau melihatnya?” tanya Azalea yang penasaran.“Paradis Hill.”Azalea bersiul ketika mendengar nama itu.“Seleran
Godfrey masuk membawakan sebuah set peralatan minum teh. Dituangkannya teh Chamomile yang masih panas itu ke dalam dua cangkir berwarna keemasan. “Terima kasih, Godfrey,” puji Lady Viscaria. “Kau bisa tinggalkan tekonya di sini.” Tanpa berkata sepatah katapun, kepala pelayan itu segera memberi hormat dan meninggalkan ruangan. “Ini ada hubungannya dengan sebuah kasus yang pernah Dia tangani beberapa tahun yang lalu—yang melibatkan seorang Perdana Menteri, istrinya dan seorang wanita yang menjadi guru les anak-anak mereka,” jelas Lady Viscaria. “Indikasinya memang tipis, samar—tapi Dia yakin jika Ludwig dan komplotannya ada di balik kasus itu.” “Apa yang terjadi?” tanya Azalea dengan tidak sabar. “Pernah dengar nama Regen Whetherby? Dulu pernah menjabat sebagai seorang Perdana Menteri.” “Maksudmu si public figure yang, rumornya, memiliki kekuatan yang setara dengan kaum bangsawan itu?” “Oh, tentu jika kau lebih mengenalnya seperti itu,” gerutu Lady Viscaria. “Tentunya, tidak asin
Lady Viscaria mengambil teko teh dan menuangkan isinya ke cangkirnya yang telah kosong. Aroma teh Chamomile itu memanjakan saluran pernapasan si wanita paruh baya. “Ludwig,” ulang Azalea dingin. “Nah sekarang, apa yang kau ketahui tentang kasus keracunan yang menggemparkan itu?” Azalea mengeluarkan ponselnya dan membuka catatan yang telah dibuatnya. “Well,” ucap Azalea yang sedikit ragu. “Seperti yang kau ketahui, baru-baru ini ada kasus keracunan di sebuah coffee shop yang berada tidak jauh dari The Dorchester. Korban adalah Frederica Whetherby, anak seorang public figure ternama yang merupakan mahasiswi jurusan kedokteran yang baru saja memperoleh medali emas dalam International Microbiology, Parasitology and Immunology Competition. Tiga orang yang diduga sebagai pelaku—selain staf coffee shop itu tentu saja, adalah Emily Jess, Kay Hargreaves dan Bennett Reonardo.” “Siapa mereka?” tanya Lady Viscaria. “Kay Hargreaves adalah anak ketiga Jenderal Hargreaves—dia cukup terkenal di
Waktu berlalu—dengan cukup relatif, seperti yang pernah dikatakan oleh seorang ahli fisika. Bagi Azalea, menunggu itu membosankan—maka waktu terasa begitu lama berlalu. Di sisi lain, waktu terasa begitu cepat berlalu bagi Rita yang sedang bergumul dengan komplotan penjahat di lokasi yang telah diberitahukan Albert. Ketika malam tiba, Azalea diminta untuk menunggu di ruang baca sementara Lady Viscaria menyiapkan diri untuk menghadapi seorang tersangka pembunuhan berencana yang pernah berada di bawah perlindungannya. Malam yang sunyi dan tenang itu menjadi gaduh ketika Vivian membawa masuk dua wanita yang terlihat sangat kacau ke ruang baca. “Astaga, Rita!” pekik Azalea. Rita menggelengkan kepalanya dan melirik wanita di sampingnya—yang mengalungkan tangannya di bahu Rita karena kelelahan dan shock berat. Azalea mengerti dan langsung merangkul Emily yang hampir kehilangan kesadarannya. Dituntunnya wanita itu dan disandarkannya punggung Emily ke kursi malas. “Brandy, Vivian! Brandy!
Setelah dua hari ‘dikurung’ di Wisteria Manor untuk mengurus dan mempersiapkan berbagai hal, pada tanggal dua puluh tiga April 2024 pagi, Emily—ditemani Azalea, menyerahkan diri pada polisi dan juga membeberkan rahasia gelap sang public figure ternama. Mendengar berita tersebut, pendukung Regen Whetherby terpecah menjadi dua bagian; mereka yang mengutuk Emily Jess karena telah berkata dusta, dan mereka yang mulai ragu-ragu dengan dukungan mereka untuk si public figure. Publik mulai berdatangan dan bertingkah layaknya mayat hidup di depan gedung kepolisian Brightcrown City. Sialnya, kemarahan masyarakat Brightcrown City bukan hanya satu-satunya yang harus dihadapi para polisi. Jenderal Hargreaves murka setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Alasannya adalah pencemaran nama baik putri kesayangannya, yang selama menjadi tersangka terus merengek pada ayahnya yang ‘hebat’ untuk segera melakukan sesuatu. Bahkan pada akhirnya, sang Jenderal melampiaskan emosinya pada Regen Whetherb
I 17 April 2024 Starvale Medical Center merupakan rumah sakit yang dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas kesehatan modern yang terletak di Starfell Valley—dulunya adalah sebuah kota kecil bernama Peonia yang dibentengi pegunungan. Rumah sakit ini telah berhasil menyelamatkan ratusan—bahkan mungkin ribuan nyawa yang bukan hanya penduduk Starfell Valley saja tapi juga pasien-pasien dari berbagai macam kota lainnya. Namun, Starvale Medical Center memiliki sisi gelap yang hanya diketahui oleh para pejabat rumah sakit itu beserta beberapa dokter-dokter tertentu. Salah satu dokter yang terjebak di dalam kesialan itu adalah seorang dokter spesialis neurologi bernama Daniel Blalock. Usianya yang terbilang cukup muda untuk menjadi seorang ahli neurologi dan dedikasinya yang luar biasa di bidang tersebut berperan cukup signifikan dalam perjalanan karirnya. Sayangnya, bukan sesuatu yang baru ketika seorang dokter muda berbakat sepertinya terbelenggu oleh kemunafikan para pejabat rumah sa
Tiga minggu setelah pengakuan Emily Jess tentang perbuatannya yang telah menewaskan Frederica Whetherby dan apapun yang terjadi di masa lalu—yang menyangkut tragedi keluarga Whetherby, kedua orang tua angkat Emily datang berkunjung ke Wisteria Manor untuk berkonsultasi. Lady Viscaria menemui mereka di ruang bacanya tanpa menunjukkan minat terhadap apapun yang ditawarkan pasangan Jess itu. “Saya katakan sekali lagi, Lady Viscaria,” ucap sang suami. “Kami membesarkan Emily tidak dengan mendoktrinnya untuk melakukan balas dendam. Sungguh, dia anak yang manis dan penurut. Kami begitu menyayanginya dan benar-benar berharap agar Emily mendapatkan lingkungan dan pendidikan yang terbaik. Kami rasa—” “Tuan dan Nyonya Jess,” potong Lady Viscaria. “Dari pengalaman yang Dia miliki dalam urusan ini, siapapun dapat melakukan apapun selama mereka memiliki motif dan kesempatan untuk melakukannya. Selain itu, perlu dipahami jika trauma masa lalu Emily—yang jelas-jelas telah menyulut api balas dendam
NARASI ZAYLIE Kamis, 18 Desember 1986/10:44 Malam Sembilan tahun yang lalu aku akan sedang berbaring di bawah jembatan lengkung tua yang tidak jauh dari rel kereta karatan tempat berakhirnya orang-orang yang hobi bunuh diri. Entah apa yang mereka rasakan ketika mengetahui kereta yang melalui rel karatan itu sudah tidak dioperasikan lagi. Biasanya, akan membutuhkan tiga hingga empat hari sampai ada petugas kebersihan dengan anjing yang terus menyalak untuk datang dan memungut seonggok daging busuk dari rel karatan itu. Saat berjalan pulang, sesekali petugas kebersihan itu akan melirikku untuk memastikan apakah aku masih hidup. Aku akan melambaikan tangan dan tertawa riang untuk memberikan jawaban dari pertanyaannya. Kemudian, si pemilik wajah yang sama dengan orang-orang dengan hobi aneh itu akan menunjukkan rasa tidak puas karena melihatku masih bernyawa. Sekarang, di sinilah aku berada. Tempat ini berbentuk persegi panjang dengan satu pintu di bagian selatan yang diapit dua jendel