“Saya belum selesai bicara. Dengarkan terlebih dulu! Disebut sepersusuan itu ada syaratnya, tidak sembarangan,” tukas Ustaz Bashor agak sedikit meninggi. Semua orang kini diam menyimak, termasuk Fadel yang ikut bergabung dengan mertuanya.Semua jamaah terdiam.“Dikatakan sepersusuan itu harus memenuhi syarat, diantaranya seorang bayi telah menyusu minimal lima kali pada ibu susu (pendonor ASI), itu pun sampai kenyang. Jika memenuhi syarat tersebut maka otomatis hubungan antara bayi itu dengan anak ibu susunya menjadi mahram dan tidak boleh menikah jika mereka lawan jenis.Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra.:Bahwa Aflah, saudara Abul Qu`ais, yakni paman sepersusuannya, datang minta izin menemui Aisyah setelah turun ayat hijab. Aisyah ra. berkata: Tetapi aku tidak memberinya izin. Dan ketika Rasulullah saw. datang, aku ceritakan apa yang telah aku lakukan itu. Ternyata beliau menyuruhku untuk memberinya izin menemuiku. (Shahih Muslim No.2617)Contoh pada kasus Aflah yang ternyata sepers
Sepulang dinner Shiza merasa gelisah. Dia bangun tidur langsung teringat dengan Selina. Dia menatap foto Selina bersama dirinya yang dipajang di kamarnya. Foto itu diambil saat mereka main ke Gramedia berburu buku untuk tugas mata kuliah.Shiza merasa bersalah karena telah bersikap kekanak-kanakan dengan memblokir nomor sahabatnya. Bahkan dia telah berani menulikan pendengarannya tak ingin mendengarkan cerita sahabatnya.Amarah seringkali menyeret seseorang pada keputusan yang keliru.Dia meraih ponselnya yang diletakan di atas nakas. Lalu dia membuka blokir nomor Selina dan berusaha menghubunginya. Cemas, apa yang dirasakan Shiza saat ini karena nomor ponsel Selina tidak aktif. Dia sudah mencoba menghubunginya saat pagi hari hingga sepuluh kali lalu berlanjut siang harinya hingga lebih dari lima puluh kali. Namun tetap tak aktif. Kini giliran Selina yang memblokir nomornya, pikirnya.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Mbak, makan siang dulu!” ucap ART. “Belum lapar,” sahut
Di tempat yang berbeda Adam mengabaikan ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Sejak siang tadi Aqsa meneleponnya. Aqsa pun kembali meneleponnya saat sore hari tepat pengajian syukuran Adam selesai. Seperti halnya tadi dia tak berniat mengangkatnya melainkan langsung mematikan panggilannya dengan kesal. Tak peduli Aqsa akan marah atau tidak.“Kok gak diangkat Aa?” tanya Winda yang berada di sampingnya. Dia tentu penasaran melihatnya mematikan telepon dari seseorang. Apakah Adam tak ingin terusik oleh temannya itu karena sedang berjalan bersamanya. Winda menahan senyum. Pikirannya terlalu jauh, sangat jauh hingga ke kutub utara. Namun dia menikmati pikirannya itu. Berfantasi dengan pria yang berhasil membuatnya berdebar-debar.Adam mengantar Winda ke tempat prasmanan jamaah perempuan. Adam berusaha bersikap santai melihat Winda yang terlihat caper padanya. Dia hanya merasa iba saja, kenapa Winda sampai bisa salah masuk antrian. Apakah dia mengalami gangguan penglihatan? Seperti katarak
Acara syukuran dan pengajian berlangsung lancar hari itu meskipun Ustaz Bashor sedikit terganggu oleh hadirnya jamaah yang melontarkan pertanyaan secara tidak langsung tentang Selina. Dia bersyukur bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik. Tidak berdusta tetapi menjelaskan dengan cara yang bijak dan tetap menjaga nama baik keluarga dan pesantren.Acara selesai sampai menjelang magrib. Beberapa jamaah yang merupakan orang tua santri seringkali meluangkan waktu mereka yang cukup singkat itu untuk meluapkan rasa rindu mereka pada putra-putri mereka. Ustaz Bashor pun dengan bijak memberi mereka waktu karena dia sendiri sebagai orang tua bisa merasakan apa yang mereka rasakan.Rindu adalah penyakit dan bertemu adalah obatnya.Dua teman Selina masih berada di sana. Mereka masih betah berada di lingkungan pesantren. Terlepas dari kepentingan masing-masing. Mereka juga tak sungkan membantu Selina, membereskan bekas acara meskipun sebetulnya ada pihak panitia yang tak lain berasal
Saat istirahat makan siang, Selina pergi ke cafetaria sekolah sendirian. Biasanya ia pergi ke ke sana bersama Zahrana. Namun semenjak kepergiannya ke Bandung Zahrana belum menampakan batang hidungnya di sekolah.Mungkin ia masih ijin cuti, pikirnya. Ia berusaha mengabaikan kejadian waktu itu tetapi ternyata sukar. Ia masih mengingat bagaimana Aqsa tersenyum pada Zahrana sewaktu dinner di restoran. Rasa cemburu hinggap di hatinya tanpa harap.Cemburu pada yang semu.Namun saat yang sama ia juga teringat seseorang. Selina hampir jatuh dari tangga jika seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dan bermata elang tak menolongnya.Siapakah lelaki itu?Tanpa sadar, beberapa kali ia berpapasan dengan lelaki itu. Beberapa barang miliknya terbawa olehnya.Masih ingatkah goodie bag yang tertukar?Atau syal putih yang jatuh lalu terinjak olehnya?Lelaki yang sama tentunya, yang ternyata tunangan dr Areeta.‘Ah, itu tak penting,’ batinnya menepisnya.Selina memesan teh manis hangat dan mie bakso untuk
Sementara itu Adam disibukan kembali dengan urusan toko lampu hias. Hari itu setelah mengecek toko yang berada di beberapa titik sekitar Cianjur, ia langsung pergi ke Cisarua. Tujuannya tentu untuk menemui Aqsa.Sayang, Aqsa tak ada di rumah, ia masih berada di kantornya. Dengan emosi yang sudah mendidih di ubun-ubun kepalanya, ia menemui Aqsa.Nekad. Adam menyusul Aqsa ke kantor.Entah apa yang tengah berkecamuk di pikirannya. Ia sangat ingin memberinya pelajaran.Adam langsung menerobos pintu lift hendak naik ke lantai dua di mana Aqsa berada. Beberapa karyawan telah mengingatkannya bahwa Aqsa sedang sibuk karena kedatangan tamu. Namun Adam sudah dibutakan oleh emosi, ia abaikan peringatan mereka.“Hei, itu orang gak sopan banget! Udah dibilangin jangan masuk,” ucap salah satu karyawan.“Biarin aja, nanti dia pasti kena marah Pak Aqsa langsung,” sahut yang lainnya.“Gimana sih! Kita yang bakalan kena omel bukan orang itu. Apa kita panggil security?”“Tenang aja aku udah telepon ke as
Shiza menangkup wajahnya dengan ke dua tangannya. Ia menangis. Entah apa alasan yang membuatnya menangis. Apakah sedih karena Aqsa dipukuli ataukah sedih karena Adam bisa bersikap setega itu. Mungkin keduanya.“Za, kamu kenapa?”Aqsa heran melihat sikap adiknya yang terasa berlebihan. Seharusnya yang menangis Aqsa yang teraniaya.“Nggak, Mas,” jawabnya dengan bahu yang berguncang. Tak pandai berbohong, body language Shiza menunjukan bahwa ia bersedih bukan karena sang kakak melainkan karena sesuatu yang tak dipahami. Hanya ia sendiri yang mengerti perasaannya saat ini. Memang urusan hati itu sangat rumit. Lebih rumit ketimbang soal geometri.“Iya, Shiza, kamu kok yang nangis? Harusnya Masmu yang nangis kesakitan. Lah ini kamu,” ucap Rakha melirik padanya.Shiza buru-buru menyeka air matanya dan mendongak melihat langit-langit.“Kelilipan, perih, apa sih debu main masuk aja ke mata,” gumam Shiza membuat Rakha menatapnya heran.Sungguh tak masuk akal air mata yang mengalir deras disebab
“Mau aku antar ke dokter?” tawar Nisa.Adam hanya menggeleng pelan. Ia lalu berusaha berdiri sekuat tenaga tetapi karena merasakan sekujur tubuhnya sakit, ia malah terjatuh. Spontan Nisa membantu Adam berdiri hingga ia bisa bertumpu pada pegangan besi. Lalu ia beringsut menjauh dari Adam sembari mengeluarkan air mineral dan satu strip obat anti nyeri yang selalu ia bawa.“Minumlah!”Nisa menyodorkan air dan obat itu ke tangan Adam. Adam malah memandang Nisa dengan lekat.Apakah ia jodohnya? Batin Adam berbisik seperti itu.Mengapa dipertemukan dalam kondisi yang kurang menguntungkan baginya. Namun ia rela andaikata dihajar terus security itu apabila ia bisa bertemu dengan bidadari bercadar itu setiap hari.Merasa Adam memperhatikannya, Nisa memalingkan wajahnya. Nisa sadar Adam tengah memperhatikannya.“Aku pamit pergi,” katanya sembari melangkahkan kakinya meninggalkan Adam. Adam mendengus kesal karena ia belum sempat menanyakan siapa nama gadis itu dan mengucapkan terima kasih. Ia