Share

Tujuh

"Ini baru makan enak, kalau tadi tak ada nafsuku makan sama sekali, melihat lauk hanya di masak setengah" ucap mamak selesai makan.

Rahmi menyenggol kakiku dari bawah meja, memberi isyarat bahwa dia benar-benar ingin menjawab kata-kata mamak tapi tidak mampu di lakukannya.

"Pak, mana?" Tanya mamak pada bapak.

"Apa mak?" Tanya bapak balik.

"Nafkah" jawab mamak singkat. Bapak mengeluarkan 3 lembaran merah lalu di serahkan ke mamak.

"300.000 ribu aja pak?" Mamak menautkan alisnya.

"Alhamdulillah mak" jawab bapak.

"Cukup apalah uang segini, beli lauk pauk habislah sehari" mamak memasukkan kasar uang itu ke dalam kantung dasternya. Lalu meninggalkan kami bertiga masuk ke dalam kamar.

"Mak" panggil bapak lagi sebelum mamak menutup pintu kamarnya.

"Apa lagi?" Jawab mamak ketus.

"Ada masalah apa sama Nunung" tanya bapak.

"Tanya saja sama Imron, bapak mendengar cerita dari Imron kan?"

"Imron hanya mengatakan mamak ada masalah dengan Nunung"

"Yasudah, kalau sudah tau dari si Imron tanya saja ceritanya dengan Imron"

"Mak, Imron tak tau apa-apa, itulah kenapa bapak tanya mamak"

"Kalau bapak dapat informasi nya dari Imron, tanya saja sama Imron semuanya mulai asalnya, penyebabnya, masalahnya. Kalau dapat informasinya dari mamak baru tanya sama mamak, jadi kan bapak dapat informasi nya dari Imron, jangan tanya sama mamak lah" mamak masuk menutup pintu kamarnya.

"Bapak sabar ya, hanya kalimat itu yang dapat ku ucapkan, sedangkan Rahmi mengelus punggung bapak"

"Kakak, dan adik tahu masalahnya kah?" Tanya bapak. Lalu di sambut anggukkan kepala dariku dan Rahmi.

"Nanti malam ya pak kita cerita" jawabku.

"Pak, jadi kah?" Rahmi bertanya pada bapak menagih janji.

"Alhamdulillah jadi, siap-siap lah nanti malam habis isya' kita jalan" jawab bapak seraya meninggalkan meja makan.

Mendengar Adzan Isya' berkumandang aku dan Rahmi segera berlari berebut mengambil air wudhu, kami tidak mau kemalaman jalan bersama bapak, apalagi ini jalan pertama kami, setelah bapak lama tidak ada gawe.

"Sudah siap?" Tanya bapak yang baru saja melepas kopiah dan baju kokonya.

"Sudah pak" kami menjawab serempak.

"Mau kemana kalian?" Mamak bertanya keluar dari kamar mandi.

"Jalan sama anak-anak, mamak mau ikut kah?" Tawar bapak.

"Oh jadi uang tadi siang itu tidak utuh sepenuhnya, sisanya di jajankan untuk anak-anak, hebat sekali bapak, anak-anak itu sudah besar.

Laila banyak hasil jualannya, Rahmi pun sudah bekerja ada gajinya, mana ada pantas seorang bapak jajankan anaknya yang sudah berpenghasilan, jangan mau di jadikan kacungnya anak pak, biarkan mereka yang menjajani kita" mamak mulai mengoceh, aku dan Rahmi yang tadinya semangat untuk keluar bersama bapak, sekarang menjadi tidak bersemangat lagi karena kata-kata mamak.

"Ya Allah Ya Robby, Ya Rasulullah Muhammad ku, mak sadar dulu kalau berucap itu. Laila, Rahmi anak kita, apa salahnya kita buat senang, walaupun mereka berdua sudah berpenghasilan. Sebelum mereka menikah masih tanggung jawab kita anak dua ini, terutama tanggung jawab bapak" bapak mulai menasihati mamak.

"Ah sudahlah kalau di kasih tau perempuan tak pernah mau di turutinya aku. Pergi-pergilah kalian keluar sana, aku titip nasi goreng dan sate kambing" jawab mamak mengibaskan tangannya.

"Mak, lauk tadi kan masih ada" Rahmi menjawab.

"Ku yakin sudah tak enak itu, sudah dingin tak segar lagi". Jawab mamak sambil duduk jongkok memegangi perutnya.

"Mana uang?" Sambung Rahmi lagi.

"Pakailah uang bapakmu itu, kalian di jajankannya, kenapa aku istrinya tidak?" Mamak menjawab sambil meringis.

"Mamak sakit kah?" Tanyaku yang menyadari mamak meringis sejak bicara tadi.

"Eh taklah, ku rasa sembelitnya aku ini, mamak titip obat pencahar jugalah".

"Yasudah tunggu kami pulang" ucap bapak.

Sejak keluar dari gerbang rumah, aku, Rahmi dan bapak tak berhenti tertawa, bapak menceritakan bagaimana masa kecil kami berdua, bagaimana tulusnya mamak merawat kami dan menyayangi kami berdua.

"Pak, kalau mamak sayang sama Rahmi dan kakak seperti cerita bapak, kenapa mamak seperti itu sikapnya sekarang?" Tanya Rahmi menghentikan tawa kami bertiga.

"Mamak tetap sayanglah sama kalian berdua, bagaimanapun mamak tetap sayang sama anak-anak nya, kalau tidak sayang sudah lamanya tak di urus Laila dan Rahmi. Kalau mamak tak sayang, tak di duduknya Rahmi dan Laila"

Aku yang mendengar penjelasan bapak, mengingat sewaktu Rahmi di lahirkan mamak, mamak begitu hati-hati dalam merawat Rahmi, mamak sampai tak tidur, bahkan aku juga tidak lepas dari pantauan mamak, walaupun mamak sibuk mengurus Rahmi waktu masih bayi, aku juga tetap di urus mamak.

"Laila ingat itu tak?" Ucap bapak membuyarkan lamunanku.

"Ingat pak" jawabku tersenyum.

"Tapi pak, kenapa mamak jadi macam itu sekarang? Rahmi masih belum bisa menerima cerita masa kecilnya.

"Doakan saja semoga mamak berubah ya dengan sifat dan sikap yang tidak kita sukai" jawab bapak mengelus kepala adikku.

"Bapak mau balik bertanya, sebenarnya ada masalah apa mamak sama Nunung tadi?"

"Oh itu, hampirlah lupa kami pak, tadi itu Laila lagi duha, terus terkejut lah mamak teriak-teriak, ternyata di depan sudah ada Rahmi ngawani mamak, entah apa masalah awalnya" jelasku pada bapak.

"Terus Rahmi kenapa mamak bisa ribut?" Bapak bertanya lagi.

"Tak taulah pak, tiba-tiba mamak buka gerbang rumah kasar sekali, kebetulan Rahmi lagi nyapu halaman gerbang, terus di belakang adalah yuk Nunung nyusul mamak, yuk Nunung manggil mamak baik-baik, tapi di setan-setankan nya orang sama mamak" jawab Rahmi.

"Terus datanglah pak Imron, dari situ mamak masuk ke dalam rumah, Rahmi tarik. Pak Imron tanya ada masalah apa, mamak bilang yuk Nunung mau nyuri uang mamak" tambah Rahmi lagi.

"Tapi pak anehnya, pak Imron pergi tanpa pamit sama mamak waktu mamak bilang tau apanya kamu tentang malu Imron, jawab dulu aku" aku memperagakan ulang cara mamak berbicara.

Ket:

Gawe (Kerja)

Kacung (Budak)

Macam itu (Seperti itu)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status