Aku terjaga saat sayup terdengar seseorang memanggil namaku. "Nis, Nisa ...." Suara itu sangat dekat. Kudongakkan kepala yang menelungkup di pinggir ranjang. Mengusap muka, berharap rasa kantuk bisa hilang. Aku terkejut, tak percaya kalau ternyata suara tadi adalah Mas Irsyad yang memanggilku. Dia sudah sadar. Wajah yang tadinya pucat kini terlihat ada semburat merah, matanya sudah membuka sempurna. Meski tatapannya masih sayu. "Alhamdulillah ... Mas Irsyad sudah sadar," pekikku kemudian. Kulihat jam di pergelangan tangan kiri, pukul 03.55. Kupencet bel di dinding atas tempat tidur, memanggil dokter jaga. Meminta bantuan untuk memberikan tindakan apa selanjutnya. Dalam hitungan detik, dokter telah masuk ke ruangan. Mengecek semuanya lalu tersenyum. Menurut dokter, melihat perkembangan Mas Irsyad yang cukup bagus, pagi nanti Mas Irsyad sudah bisa dipindah ke ruang perawatan. Beliau, juga berpesan agar Mas Irsyad jangan banyak bergerak dulu. Aku mengangguk, mengiyakan kata-katany
Tepat dua minggu setelah pulang dari rumah sakit, Mas Irsyad mengkhitbahku. Seluruh keluarga dekat hadir menyaksikan acara ini, kecuali Mas Iqbal. Ia tidak bisa pulang karena menurut cerita Abah masih sibuk mengurus keberangkatannya ke Malaysia dalam waktu dekat. Acara berlangsung lancar, hanya keluarga dekat yang menghadiri. Meski dengan jamuan sederhana, tapi mereka terlihat bahagia menyaksikan kami. Apalagi saat Mas Irsyad memberiku sebuah lukisan wajahku dengan bingkai kayu warna gold yang elegan. Aku menangis membaca kata-kata yang ada di pojok bawah kanvas. Teringat cerita Abah, bahwa yang pertama kali mengetahui lukisan itu adalah Mas Iqbal, saat Mas Irsyad mengantarku ke kampus pagi itu. Mereka mungkin menganggap isakku adalah tangis bahagia. Menilai aku telah cukup menderita saat batal dikhitbah oleh Mas Ilham, dan kini saatnya aku menemukan pengganti, yaitu Mas Irsyad. Memang begitulah hidup, orang hanya menilai apa yang ada di permukaan. Tanpa tahu gejolak di dasarnya. S
Aku tak percaya kalau mampu mengucap semua itu. Entah, rasa apa yang kini ada di hati. Namun, bisa kupastikan berbeda dengan perasaanku pada Mas Iqbal. Aku hanya tak tega kebahagiaan yang baru saja menyambangi Abah dan Umi akan terenggut bila hal buruk terjadi pada Mas Irsyad. Hingga refleks semua ini terucap. Baru saja rona bahagia terpancar dari wajah mereka, tapi hanya sekejap, kini berganti duka tak terkira. Aku sesenggukan, dengan kepala di atas dada Mas Irsyad kembali kupanggil nama calon suamiku itu. Air mata tumpah, membasahi jas pengantin yang ia kenakan. Sejenak meratapi nasibku. Haruskah ini terjadi? Pengantin priaku meninggal sesaat sebelum ijab kabul terucap. Sungguh sangat tragis. Ya Allah ... hikmah apa lagi yang akan Engkau tunjukkan? Abah menekan pergelangan tangan lelaki berusia enam tahun di atasku itu. Menurut Abah, denyutnya masih terasa. Lalu, seseorang mengusulkan untuk segera melarikan Mas Irsyad ke rumah sakit. Sementara seorang lagi berkata agar se
Hari beranjak malam, suasana kini mulai sepi. Para tamu sudah pulang sejak siang tadi, hanya beberapa kerabat dekat yang masih berada di rumah joglo ini. Gaun pengantin yang kupakai telah berganti gamis katun biru. Begitu juga Mas Irsyad, kini ia mengenakkan piama. Aku berjalan menuju kamar yang telah disulap layaknya peraduan raja dan permaisuri. Paduan warna biru dan silver menjadi pilihan Mbak Ainun untuk menghias kamarku. Meski aku sudah wantiwanti untuk sesederhana mungkin. Namun, Mbak Ainun tetap bersikukuh untuk menghiasnya menjadi mewah. "Ini momen bersejarah untukmu dan Irsyad, harus spesial, Nis. Karena kelak menjadi kenangan tak terlupakan." Mbak Ainun berkilah. Aku mengalah, karena wanita yang kuanggap layaknya saudara kandung itu mendapatkan dukungan dari Abah juga Umi. Diiringi Mas Irsyad, aku memasuki kamar pengantin. Tercium harum melati di setiap helaan nafas. Tiba-tiba jantungku berdebar tak beraturan, saat perlahan Mas Irsyad menutup pintu kamar lal
Tepat seminggu setelah pernikahanku, Mas Iqbal berangkat ke Malaysia. Ia berpamitan dengan kami usai sarapan. Bagiku ini lebih baik, agar bisa leluasa menata hati. Karena berada di dekatnya membuat hatiku tak menentu. Doa dan harapan terbaik Abah sampaikan pada Mas Iqbal. Umi terlihat mengelap sudut netranya dengan ujung jari, saat dengan takzim Mas Iqbal bersalaman lalu mencium tangan Umi dan Abah. Tak lama kemudian, Mas Iqbal mendekat ke arah Mas Irsyad, dua kakak beradik itu berpelukan dengan erat. "Jangan sampai kau terpikat gadis melayu di sana, Bal ..! Kasihan Abah dan Umi, sudah sepuh, repot kalau harus punya menantu jauh ...." Mas Irsyad terkekeh sambil menepuk bahu adiknya. Mas Iqbal hanya tersenyum menanggapi gurauan sang kakak. Dia menatap netra ini, aku menunduk. Menghindar dari sorot mata teduhnya. Tak ingin berlama-lama dalam situasi ini, segera aku menyalaminya. "Hati-hati ya, semoga semuanya lancar." Meski ada beribu pesan yang ingin kusampaikan, tapi hanya itu y
“Apa yang Mas Irsyad takutkan?” “Aku ... aku ... takut akan membuatmu sengsara, Nis. Apa lagi jika kita sampai punya anak. Sedangkan tak tahu sampai kapan bisa bertahan di dunia ini. Aku tak ingin menambah beban hidupmu, Nis,” terang Mas Irsyad dengan air mata berderai. Terjawab sudah apa penyebabnya. Aku sangat mengerti dengan perasaannya. “Anak itu anugerah, Mas. Amanah dari Allah. Aku siap untuk merawat seorang diri, jika kemungkinan buruk terjadi,” “Tidak, Nis. Aku akan merasa bersalah, sudah menghadirkannya di dunia, tapi tak sanggup mendampingi tumbuh kembangnya dan menyaksikan hingga dewasa,” sanggahnya. “Iya, Mas, aku paham ... tapi, bagaimana dengan Abah dan Umi? Mereka sangat mendambakan kita memberinya cucu.” Tak ada jawaban, hanya bahu Mas Irsyad yang berguncang hebat. Aku tak mau hanya karena masalah anak, kesehatannya menjadi drop. Akhirnya, dengan lembut kukatakan tak mempermasalahkannya. Mungkin itu hanya salah satu alasan yang ia kemukakan. Efek
"Aku bukakan ya, Sayang .... Kamu itu lucu banget sih, masa buka kotak saja pakai gemetar begitu, nggak usah drama, ah!” Mas Irsyad meledekku, mungkin dikiranya aku sedang akting. Kupejamkan mata rapat-rapat, saat Mas Irsyad menyentuh tutup kotak itu. Jantungku berdetak keras sekali. "Ayo ... buka matanya ...! Taraaa ...!” pekiknya seperti ABG yang memberi kejutan pada kekasihnya.Masih dengan perasaan tak menentu, kubuka mata pelan-pelan. Sementara degup di dada makin menjadi. Dalam hati aku berdoa. Berserah diri dan mengharap Allah mengulur atau menghentikan waktu saat ini juga Apa pun yang terjadi, aku harus siap. Meski hati ini diliputi kekhawatiran luar biasa, jika Mas Irsyad mengetahui semuanya saat ini. Aku tertegun, tak percaya ketika melihat isi kotak itu. Sebuah novel romantis karya novelis idolaku. Untuk apa Mas Iqbal memintaku membukanya setelah ia pergi, kalau isinya sebuah novel? Kuteliti kotak biru itu, mengecek masih adakah sesuatu di dalamnya? Ternyata tak ada ap
Pagi menjelang siang, saat kami sampai di rumah sakit tempat Mas Irsyad rutin terapi dan memeriksakan kesehatannya. Usai kontrol, Dokter Ikhsan menyampaikan hasil pemeriksaan, anjuran juga pantangan apa saja yang harus dipatuhi. Menurut beliau, perkembangan luar biasa terjadi pada Mas Irsyad. Ia sudah melewati batas prediksi usia yang dokter sampaikan dulu. Nyatanya, keadaan Mas Irsyad malah membaik. Dari pemeriksaan tadi, sel kanker yang ada di hati Mas Irsyad telah menyusut. Dokter juga yakin, jika pola hidup dan pola makan terus dijaga serta emosi yang tetap stabil, Mas Irsyad bisa bertahan lebih lama lagi. Meski untuk sembuh total sepertinya mustahil, tapi kami yakin kuasa Allah tiada batas. Allah telah menunjukkan keajaiban itu. Dulu, Mas Irsyad divonis usianya hanya tinggal beberapa hari. Namun, setahun lebih telah berlalu, karena kuasa-Nya, dia masih bisa menikmati indahnya dunia, menghirup segarnya udara. Sesampainya di rumah, kuceritakan hasil pemeriksaan pada Abah dan Umi.