Share

Ain't A Whore

“Sergio lepaskan aku sialan!” Aku berusaha keras agar lepas dari jeratan pria bedebah gila ini, tapi tubuh dan tenaganya lebih besar dariku. 

Mata elang itu kembali menatapku seperti binatang buas yang sedang kelaparan. 

“Sekali lagi kau mengumpat, aku bersumpah akan membungkam mulutmu.”

Napasku memburu. "Baiklah, lepaskan aku… please." Muak, rasanya memohon pada pria brengsek sepertinya. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. 

“Bukankah kau sendiri yang hendak menyerahkan dirimu dengan datang ke kamar ini, Mi amor?”

Pria bedebah sialan ini benar-benar menguji kesabaranku. Lama-lama ku tonjok juga muka menyebalkannya. 

Kuhela napas lelah. “Kau pikir aku sama dengan wanita yang tadi kau bawa itu, huh?"

Bibirnya terkatup, matanya menatapku lekat. 

“Apa kau tidak pernah merasa bersalah telah merusak kehormatan seorang wanita?”

“Mereka sendirilah yang datang melemparkan tubuhnya padaku.” Ia melepaskan kungkungan tangannya. Berdiri selangkah dariku. 

Kubalas tatapannya dengan tatapan tajam. Jari-jemariku terkepal membentuk tinju. 

"Apa kamu pikir wanita itu seperti pakaian yang bisa kau pakai dan kau lepas sesukamu? Mereka terhormat dan memiliki haknya." Aku mengutip salah satu kata-kata Umar bin Khattab. 

Dia menyeringai. "Terhormat?" Dia kembali menatapku sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya." Aku tidak tahu wanita terhormat seperti apa yang kau maksud itu, Ms. Syifani. Apa seperti jalang yang dengan sukarela membuka pahanya untuk ditiduri banyak pria?"

Kuteguk kasar salivaku. "Terlepas dari apapun pekerjaan mereka, wanita punya hak untuk dihargai."

Dia terkekeh geli. "Siapa yang akan memberi hak untuk itu? Katakan padaku Nona bagaimana cara seorang laki-laki bisa menghargai seorang perempuan kalau perempuan itu sendiri tidak bisa menghargai dirinya? Mereka meliuk-liuk seperti ular kegatelan, mempertontonkan tubuh mereka untuk dinikmati. Demi segepok duit, mereka rela membuka pahanya."

Aku diam tak tahu harus berkata apa. 

”Kau tahu?” Kuangkat wajahku. menatap lurus ke arahnya yang tampak tengah sibuk memakai jam tangan.”Tidak akan ada wanita yang akan rusak, jika wanita itu pintar menjaga kehormatannya. Hanya bermodal cinta, duit, dan janji manis wanita gila itu akan melemparkan dirinya ke ranjang. Wanita layaknya pedagang dan pria adalah pembeli. Wanita menjual dan pria membeli.” Ia menoleh ke arahku, tersenyum.”Bukankah seperti itu Miss. Syifani?”

Aku menelan paksa salivaku, terbukti jaman sekarang banyak wanita yang seperti itu. Banyak di antara kaum hawa yang akan menyesalinya setelah melakukan dosa besar itu. Ada yang  menggugurkan kandungannya, membuang darah dagingnya sendiri atau menyerahkan darah dagingnya untuk dirawat oleh orang lain. Bahkan banyak di antara mereka yang rela menjadi kupu-kupu malam, menganggap dirinya sudah tidak berharga lagi, sudah tidak layak untuk dicintai lagi, dan sudah tidak pantas untuk siapa pun lagi. 

Bukankah ampunan Allah itu luas? Bagi siapa pun hambanya yang benar-benar hendak bertaubat. 

Sebahagian orang mengatakan akhir zaman, melakukan zina terang-terangan tanpa rasa malu. 

"Apa yang kau tanam itu yang akan kau tuai." Dia mengangkat sebelah alisnya. “Apa kau tidak takut apa yang kau lakukan ini akan berbalik denganmu nanti? Mungkin, bukan denganmu…tapi bagaimana dengan anggota keluargamu? Istrimu, anak perempuanmu, kakak atau adik perempuanmu? Apa kau  tidak takut mereka bakalan dinodai sebagaimana kau menodai wanita lain?”

Jakung pria itu naik turun. Apa aku sudah berhasil menamparnya dengan kata-kataku?

“Kau punya ibu,’kan? kau pa—”

“Aku tidak punya ibu.” tukasnya cepat

Entah mengapa aku melihat gurat kesedihan di kedua bola matanya. 

Mataku sontak membulat saat melihat pria itu baru saja menyelipkan pistol ke balik pinggang bagian belakangnya. 

Dia berjalan, mendekat, berhenti di depan pintu. “Apa kau akan terus berdiam diri di sana?”

Aku mendengus, mengikuti langkah kakinya ke luar kamar dan ikut berhenti tatkala dia tiba-tiba menghentikan ayunan kakinya. 

Dia menatap tajam satu per satu pria botak dalam ruangan tersebut. “Dan kalian aw—”

“Aku tahu,” selaku.”Mereka juga pasti tahu tugas mereka. Mereka bukan anak kecil yang perlu diberitahu berulang kali.”

Dia berbalik, menatapku tajam.“Siapa kau berani menyela ucapanku, huh?”

Aku mencebik kesal. ”Jika aku menjadi ibumu, apa kau tidak akan bosan jika aku terus memberimu nasihat yang sama. Sergio ibu sudah katakan berbicara baiklah kepada orang yang yang lebih tua, Sergio kau harus mengalah pada adikmu, Sergio ibu sudah katakan bla bla bla..Apa kau tidak bosan jika ibumu terus mengatakan hal yang sama?”

Oh, apa pria berwajah datar ini baru saja tersenyum? Lihatlah dia lebih manis saat salting seperti ini? Ya, walaupun ditutupi oleh sikap dinginya. 

Refleks kujauhkan wajahku saat pria itu, menunduk memajukan wajahnya. 

“Prefiero que seas mi esposa que mi madre.” Bisiknya membuatku mengernyit tak paham. 

“Apa?”

Dia kembali menegakkan tubuhnya. “Aku akan pulang terlambat.”

Terus apa hubungannya denganku? Mau kau pulang cepat ataupun lambat apa peduliku. 

Aku segera memegang pergelangan tangannya sebelum ia berhasil melangkahkan kakinya. Ia kembali membalikkan badannya seraya mengangkat sebelah alisnya.

 

“Berikan Hpku kembali. Aku sangat amat membutuhkannya.” Pintaku memohon. 

“Aku sudah membuangnya.” Ia membalikkan badan seraya mengayunkan langkahnya.

Darahku langsung mendidih begitu mendengar ucapannya. “Sialan, kau pikir siapa dirimu, hah?”

Ia berbalik— melangkah lebar seraya menarik tengukku yang sontak membuatku terbelalak. 

“Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku.” Aku melipat bibirku erat saat tatapannya menusuk ke dalam bola mataku. 

Kuhela napas lega saat ia melepaskan pegangannya pada tengkukku. 

“Setidaknya biarkan aku menghubungi Ibuku.”Tak sadar ia mataku jatuh dari pelupuk. 

Pria itu kembali menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya. 

“Biarkan aku memberitahu ibuku kalau aku baik-baik saja di sini.” Ku gigit bibirku agar tangisku  tak pecah. 

‘Walau sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Aku sangat merindukannya.' Batinku menjerit. 

“Gunakan saja telepon itu, di bawahnya ada kertas nomor ibumu.” Dia menunjuk landline dengan dagunya. 

Lagi-lagi aku melongo tidak percaya.  Apa ini zaman baheula?

Aku menatapnya tajam penuh permusuhan.” Bagaimana dengan Hpku yang sudah kau buang?”

“Aku tidak peduli!”

Ih, geramanya ingin rasanya aku meninju wajahnya hingga babak belur. Dia pikir beli Hp itu pakai daun?

"Yaaaaaaaa…. Saekkia”

Ia kembali menghentikan langkahnya. Berjalan cepat menghampiriku. 

“Sekali lagi kau berteriak aku bersumpah akan membantingmu di tempat tidur.”

Kuteguk kembali salivaku. “Se-setidaknya pinjamkan aku Hp siapa pun itu.”

Wajah tegasnya terlihat memerah.”Kau bisa gunakan telepon rumah itu atau tidak ada sama sekali.”

“Telepon rumah itu tidak bisa menunjukkan mana arah kiblat.” Aku menunjuk benda tersebut dengan jari telunjuk.”Apa kau mau menanggung dosaku, saat di akhirat nanti alasanku tidak salat adalah karena kau?”

Ia memejamkan matanya sejenak, menghela napas seraya merogoh saku celananya lalu mengeluarkan benda pipih bermerek itu. 

“Waktumu hanya lima menit!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status