Janganlah kalian berharap bertemu musuh. Namun jika kalian bertemu musuh, bertabahlah menghadapinya (HR Bukhari).***Di suatu tempat? Aku mengernyit tak paham. Rumah sakit? Mataku reflek membeliak lantas menoleh ke belakang. Pria dengan wajah sangar seperti psychopath itu tengah menatap datar ke arahku. Kutelan kasar ludahku, lekas memalingkan pandangan ke depan. Entah mengapa, menatap pria itu membuat gemuruh jantungku bertalu-talu. Apa sebenarnya aku pernah bertemu dengannya? Mengapa tatapan pria sangar itu seakan tak asing bagiku. Tanpa sadar tanganku saling menggenggam satu sama lain, menyalurkan gugup yang kian mendera hatiku. Ada apa sebenarnya, mengapa juga aku harus merasakan takut pada orang yang baru pertama kali aku temui? Tanpa sebab?Ya Allah lindungi hamba,” Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.Artinya: "Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Abu Dawud)"Apa Sergio tidak men
Kuhela napas pelan. Percuma. Pria itu hanya diam seperti patung pancora. Hingga mobil itu berbelok menuju pekarangan mansion, kami masih saja diam dalam kebisuan. Gegas, ku ayunkan kaki sesaat mobil tersebut berhenti, melangkah lebar menuju kamar. Menutup dan menguncinya seraya melangkah membaringkan diri di atas tempat tidur. Menatap plafon dengan ribuan pertanyaan. Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan pria berwajah psikopat itu?Gelap, itulah yang aku lihat, tapi kegelapan itu hanya bersifat semantara. Lampu-lampu yang bergelantungan di atasku perlahan mengeluarkan cahayanya. Mataku mengikuti arah cahaya lampu itu, menyipitkan mata, tatkala pandanganku seperti melihat bayangan seseorang. “Sergio!” Dia berbalik, senyum yang semula terbit kini redup saat pria itu menodongkan senjata ke arahku. Mataku kembali menatapnya dengan pandangan yang berkabut air mata sedangkan Sergio menatapku dengan seringaian yang menjijikkan. “A—Ap…”Dor!“Astaghfirullahaladzim
Kusibak selimut yang membungkus tubuhku seraya bergegas mencari keberadaannya, di kamarnya, kosong. Melangkah lebar menuju lantai dasar, ternyata di ruang tamu juga kosong, hanya ada beberapa bodyguard berkepala plontos yang sedang berjaga, kuayunkan kaki menuju dapur–ternyata dia ada di sana tengah menikmati sarapan paginya seakan tak ada beban apa pun yang ia rasakan. “Sergio!” Dia tak menoleh sedikitpun. “Apa kamu masih bisa sarapan di saat situasi seperti sekarang, hah?” Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan menggebu emosi. “Kau ingin aku mati karena tidak sarapan?” Tak acuhnya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Kugebrak meja membuat atensinya teralihkan padaku.”Kau tahu, gara-gara kau nama baikku jadi tercemar?""Apa kau hanya memikirkan nama baikmu?" Apa dia bilang hanya? Aku berdecih jengkel. Ingin rasanya aku meninju wajah iblisnya ini. Dengan entengnya dia mengeluarkan kalimat sialan itu. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan pernah mengalami pe
Bandara Internasional John F. Kennedy, New York Menempuh perjalanan selama sekitar 25 jam 45 menit dengan transit selama 3 jam 5 menit bukanlah hal yang tidak melelahkan, sungguh sangat lelah, tetapi hal tersebut terbayarkan saat diri ini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang mendapat julukan “Big Apple” itu. Sebuah negara markas PBB, pusat bisnis, budaya, hiburan, mode yang dikenal dengan julukan “kota tidak pernah tidur.” “Taxi!” Kulambaikan tangan pada mobil berwarna kuning yang kebetulan lewat. "Where will I take you, Miss?" Pak sopir bertanya saat aku sudah duduk di kursi penumpang belakang dan menutup pintu mobil. Kuperlihatkan layar hpku. Menunjukkan sebuah alamat. Taxi itu pun berjalan dengan kecepatan sedang, membelah Broadway menuruni lembah ke arah South Street di East River melewati pusat historis dari distrik keuangan Amerika, Manhattan. Berbelok sekitar tiga kilometer, mengambil jalan pintas, mungkin untuk meminimalisir hambatan akibat macet. Hingg
Sekuat apapun jiwamu tapi saat engkau berhadapan dengan hal yang mengguncang batimu pasti engkau akan merasakan jiwa takut itu. Pada hakikatnya rasa takut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita hanyalah manusia lemah. Perasaan tersebut sangatlah manusiawi adanya dan siapapun pasti akan merasakannya. Termasuk diriku, tangisku pecah, bulir bening terus berjatuhan hingga membasahi sekujur tubuh, berlari seorang diri dalam larutnya malam tanpa memperdulikan rasa sakit yang kian menggerogoti setiap inci diri, rasa pegal pada pergelangan kaki yang terus membawaku berlari. Berlari dan terus berlari, menjauh dari tempat para pembunuh itu. Percuma! Minta tolong pun tak ada gunanya. Tak akan ada orang yang akan mendengar jeritan minta tolong gadis ini. Satu-satunya yang dapat menolongku hanyalah Tuhanku, Allah subhanahu wa ta'ala. Aku tidak tahu harus melangkah kemana lagi. Deru napas terus memburu, pengap merayap perlahan masuk ke dalam rongga dada, terhimpit kuat hingga sesak menarik oksige
“K-kau.” Ia mengulas senyum, langkahnya terus maju tatkala langkahku mundur. Hingga punggung belakangku menabrak dinding yang membuatku tak bisa mundur lagi.Dia berdiri berjarak tiga langkah di depanku sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana kain hitamnya. Menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kutebak. "A-apa maumu." Bohong, kalau aku tidak merasakan takut. Dia kembali mengayunkan langkahnya. Ancang-ancang kuambil posisi mempertahankan diri, kedua telapak tanganku terkepal di depan mukanya. “Jangan coba-coba mendekat!”Dia tersenyum lebar, membuatku semakin ketakutan. Itu bukan senyum bahagia, tapi senyum meremehkan. Kuteguk kasar salivaku. “Tidak ada yang lucu, Tuan?”Pembunuh. Tentu saja kalimat itu hanya ku utarakan dalam hati, aku masih waras untuk tidak mengumpatinya. “Posisimu seperti anak kecil yang sedang mengajak berduel.”Anak kecil? Dengusan kasar keluar dari hidungku. Ia menunduk, mensejajarkan posisi wajahnya ke wajahku membuatku semaki
Pancaran sinar cahaya mengusik indera penglihatanku, perlahan kubuka kedua kelopak mata. Hal pertama yang kulihat adalah gorden putih yang bergoyang akibat hembusan angin. Kukerjapkan mata berulang kali lantas bangun secara perlahan, meringis sakit, memegangi kepala sebelah kanan. Mataku seketika membulat saat kesadaran membawaku kembali ke dunia fana. Serangkaian kejadian sebelumnya berputar dalam memoriku. Seringaian pria itu, tersenyum samar sebelum kegelapan menyeretku ke alam bawah sadar. Gegas, kusibak selimut yang membungkus tubuhku, menghela napas lega begitu melihat pakaian yang kukenakan masih utuh begitupun jilbab yang kemarin masih melekat indah di atas kepala. Kuamati seluruh ruangan, kamar mewah dengan nuansa serba hitam, satu patung wanita menari berada di ujung bagian sebelah kanan kasur. Menoleh ke kiri, mendapati pakaian sliding door kaca minimalis. Sangat mengagumkan, lampu keemasan yang bergelantungan tepat di atas tempat tidur beserta ceiling fan gold-nya. Hei,
Dia melenggang pergi setelah mengatakan kalimat sialan itu. Ingin rasanya ku cabik-cabik tubuh perawatannya, tapi aku masih belum mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut. Sayang nyawa. Kuayunkan kaki masuk ke sebuah ruangan dalam kamar ini. Tercengang. Mulut dan mataku sama-sama terbuka lebar. Ini pertama kalinya aku melihat kamar mandi semewah dan se-Wah ini. Dasar kampungan, terserah, karena aku memang berasal dari kampung. Kamar ini lebih tepatnya cocok digunakan sebagai kamar tidur daripada kamar untuk buang hajat. Desain kamar mandi yang mewah dengan sentuhan tema old-school glamor. Mengadopsi warna putih yang terang dengan sentuhan tirai tulle memberikan kesan klasik elegan.Penempatan sentuhan emas pada beberapa ornamen di dalam kamar mandi membuat ruangan ini terlihat semakin mewah. Untuk mempertegas kesan mewahnya si perancang kamar mandi ini juga menambahkan lampu gantung yang glamorous.Mataku mengamati sekitar, memeriksa dan memastikan tidak ada kamera tersembu