Share

Tamally Ma'ak
Tamally Ma'ak
Penulis: Ae-ri Puspita

Middle Of Night

Bandara Internasional John F. Kennedy, New York

Menempuh perjalanan selama sekitar 25 jam 45 menit dengan transit selama 3 jam 5 menit bukanlah hal yang tidak melelahkan, sungguh sangat lelah, tetapi hal tersebut terbayarkan saat diri ini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang mendapat julukan “Big Apple” itu. Sebuah negara markas PBB, pusat bisnis, budaya, hiburan, mode yang dikenal dengan julukan “kota tidak pernah tidur.”

“Taxi!” Kulambaikan tangan pada mobil berwarna kuning yang kebetulan lewat. 

"Where will I take you, Miss?" Pak sopir bertanya saat aku sudah duduk di kursi penumpang belakang dan menutup pintu mobil. 

Kuperlihatkan layar hpku. Menunjukkan sebuah alamat. 

Taxi itu pun berjalan dengan kecepatan sedang, membelah Broadway menuruni lembah ke arah South Street di East River melewati pusat historis dari distrik keuangan Amerika, Manhattan. Berbelok sekitar  tiga kilometer, mengambil jalan pintas, mungkin untuk meminimalisir hambatan akibat macet. Hingga mobil kuning  itu berhenti di salah satu penginapan yang sudah jauh hari ku pesan.

Setelah membayar uang taxi, kulangkahkan kaki masuk lobi penginapan. Balik tersenyum, menyapa ramah salah satu wanita yang bertugas sebagai receptionist. 

"May I help you, Miss?"

"Aku sudah memesan salah satu kamar dengan nomor ini. " Kuperlihatkan layar HP di depan wanita berambut blonde kuncir kuda itu. 

"Wait a minute." Tangannya dengan gesit mengutak-atik keyboard komputer sembari matanya menatap layar LCD. 

Tak berselang lama, wanita berwajah cantik itu memberikan satu kunci ruangan padaku. 

"Thank you."

"My pleasure."

Kulangkahkan kaki menuju lift, menekan tombol angka 25.

Sampai. Begitu masuk, mataku langsung menyapu seluruh penjuru ruangan. Ruangan yang kuperkirakan memiliki luas 48 meter persegi, satu kamar mandi dalam kamar serta sebuah pantry minimalis yang mencakup; beberapa piring dan gelas dan satu sofa panjang yang berada di depan televisi yang menempel di dinding. 

Teringat seseorang pernah berkata seperti ini, ''Di dunia ini tidak ada tempat yang tidak berbahaya, kemanapun kamu pergi atau melangkah pasti akan ada bahaya yang setiap saat mengintai. "

Mataku langsung menelisik setiap sudut ruangan dimulai dari atas plafon, belakang lampu tidur, depan televisi hingga kamar mandi. Mengantisipasi tidak adanya kamera tersembunyi. Tentu saja karena aku seorang wanita, apa saja bisa terjadi. Jadi, salah satu hal yang harus dilakukan adalah extra antisipasi sebelum penyesalan itu datang. 

Setelah merasa aman, aku bergerak menuju blackout curtains two panel, membukanya, mataku langsung disuguhkan pemandangan dengan gedung-gedung pencakar langit. 

Salah satunya Empire State Building. Salah satu gedung pencakar langit  tertinggi di dunia pada tahun 1931.

Dengan tinggi 102 lantai dan 1.454 kaki, mengalahkan Gedung Chrysler sejauh 400 kaki. Pada tahun 2017, Empire State Building menjadi  gedung tertinggi ke-31 di dunia. 

Blimp Parking. Bangunan ini di atapi oleh tiang tambat untuk dirigibles, yang merupakan tren terbaru dalam perjalanan udara pada tahun 1931. Namun, hanya satu balon udara yang  pernah berlabuh di Empire State Building, pada 16 September 1931, sebelum ide itu ditinggalkan karena dianggap terlalu berbahaya.

Gedung Empire State adalah tempat tragedi ketika sebuah pesawat kecil jatuh ke lantai 79 di sisi 34th Street. Pilot pesawat, dua penumpangnya, dan 11 orang di dalam gedung tewas seketika.

Jika kamu pernah menonton film Kingkong tahun 1933 pasti tidak asing dengan Empire State Building yang menjadi salah satu tempat dalam proyek film tersebut. Selain itu gedung tingkat tinggi itu juga pernah dijadikan proyek film romantis dalam Affair to Remember (dan remake-nya) dan Sleepless in Seattle . 

"Alright, aku harus kemana dulu?" Kuamati inset yang baru saja kuambil dari koper. Ada banyak kota yang ingin aku kunjungi di tempat ini. 

Sepuluh menit termenung, memikirkan hingga kuputuskan salah satu tempat yang menurutku cocok untuk  kujadikan tempat inspirasi dalam tulisanku. 

Sehabis salat magrib, kulangkah kaki keluar penginapan menuju salah satu street food. Berhenti tepat di depan Booth container Royal Halal Grill  dan memesan salah satu menu-nya; Chicken tikka over rice. 

Selanjutnya berjalan menelusuri setiap sudut perkotaan seorang diri. Mengamati gemerlapnya cahaya New York di malam hari. Muda-mudi tampak berlalu lalang ke sana kemari.

Terus berjalan hingga ke persimpangan jalan utama. Menuju kawasan West 42nd dan West 47th street. Kawasan yang  dikelilingi  Theatre District mencakup blok-blok dari timur ke barat antara Sixth Avenue dan Eighth Avenue, serta antara West 40th dan West 53rd Street dari utara ke selatan. Kawasan ini merupakan bagian sebelah barat dari distrik bisnis dan perdagangan yang disebut Midtown Manhattan.

Banyak warga New York maupun warga asing yang datang kemari hanya untuk  berbelanja. Termasuk aku, walau hanya  sekedar datang mencuci mata. Lelah, sejenak berhenti hanya untuk menghirup pasokan udara, kemudian melanjutkan perjalanan, hingga masuk melewati beberapa lorong bangunan tinggi.

Tampak sunyi. Mendongak. Jendela gedung tinggi itu sudah tertutup rapat. Apakah para penghuninya sudah terbawah mimpi? Kulihat jam pada pergelangan tanganku. Sudah ada di pertengahan malam. Pantas saja, sudah waktunya penduduk bumi mengistirahatkan tubuh mereka, tak terkecuali manusia hantu yang tidurnya kala siang hari. Termasuk dirimu Syifani, jam segini kau masih larut terjaga dalam keheningan malam. 

Ah, andaikan saja aku tidak menjomblo, mungkin saat ini aku ditemani oleh pujaan hatiku. 

Kemana perginya engkau wahai pangeran berkuda putihku? Kapan dirimu datang menjemputku? Apa kau tidak bosan bertapa terus? 

Brrrrrt! Brrrrrt! 

Astagfirullahaladzim, tersentak kaget sontak langkah kakiku terhenti saat hendak melewati satu bangunan lagi, suara nyaring itu menggema dalam larutnya malam. 

Bukankah itu suara tembakan? Dari mana asal suaranya? 

Dengan segenap keberanian, perlahan kudekati salah satu bangunan tersebut, mengintipnya, seketika membuat degup jantungku berdebar tidak karuan. 

Kuteguk kasar salivaku, di depan sana. Tampak seorang pria tak berdaya tengah diinterogasi dengan tubuh yang sudah babak belur. Kemeja putih yang ia kenakan juga berlumuran darah—berlutut di depan tiga orang pria. Aku membekap mulutku sendiri saat salah satu dari pria itu menarik pelatuk pistolnya hingga menembus ke kepala pria tersebut. 

Seluruh persedian tubuhku seketika lemas. Bagaimana tidak? Di depan mata kepalaku sendiri aku melihat aksi pembunuh itu. Demi Allah, ini adalah pengalaman paling mengerikan yang pernah terjadi selama hidupku.

Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menelpon pihak berwajib? Tak ingin bernasib sama, bergegas kugerakkan langkah kakiku. Ingin rasanya aku mengumpat kasar saat tak sengaja menginjak sebuah kaleng beer. 

Apa mereka dengar? Menoleh. Dan pria-pria bertubuh kekar itu kini menatap bengis ke arahku. 

Keringat dingin pun mulai berjatuhan. Apalagi saat salah satu darinya tersenyum smirk ke arahku. 

Oh Allah, tolong lindungi hamba. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status