Share

Nightmare

Sekuat apapun jiwamu tapi saat engkau berhadapan dengan hal yang mengguncang batimu pasti engkau akan merasakan jiwa takut itu. Pada hakikatnya rasa takut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita hanyalah manusia lemah. Perasaan tersebut sangatlah manusiawi adanya dan siapapun pasti akan merasakannya. Termasuk diriku, tangisku pecah, bulir bening terus berjatuhan hingga membasahi sekujur tubuh, berlari seorang diri dalam larutnya malam tanpa memperdulikan rasa sakit yang kian menggerogoti setiap inci diri, rasa pegal pada pergelangan kaki yang terus membawaku berlari. Berlari dan terus berlari, menjauh dari tempat para pembunuh itu.

Percuma! Minta tolong pun tak ada gunanya. Tak akan ada orang yang akan mendengar jeritan minta tolong gadis ini. Satu-satunya yang dapat menolongku hanyalah Tuhanku, Allah subhanahu wa ta'ala. Aku tidak tahu harus melangkah kemana lagi. Deru napas terus memburu, pengap merayap perlahan masuk ke dalam rongga dada, terhimpit kuat hingga sesak menarik oksigen masuk ke dalam paru-paru.

Oh, Allah, hamba mohon bantu hamba. Kalimat itulah yang terus terucap tatkala kaki ini terus terayun lebar menjauh entah kemana.

Berkelok-kelok, masuk ke salah satu lorong, gelap. Menyembunyikan diri di samping trash can, meringkuk ketakutan. Menghapus jejak air mata yang sedari tadi terus berjatuhan sembari bergumam doa;

Allażīna qāla lahumun-nāsu innan-nāsa qad jama‟ụ lakum fakhsyauhum fa zādahum īmānaw wa qālụ ḥasbunallāhu wa ni‟mal-wakīl (QS. Ali Imran ayat 173)

Artinya:

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”

Dzikir dan lantunan ayat-ayat suci terus kulantunkan, berharap agar dijauhkan dari mara bahaya ini. Suara-suara langkah kaki itu bergema masuk ke dalam gendang telinga. Kurasakan sebuah tubuh besar melangkah mendekat ke arah sini. Kubekap erat mulutku kala tangisku pecah. Tubuhku bermandikan keringat, bergetar kuat seperti tersengat aliran listrik. Perasaan lega, tatkala suara derap kaki itu kini menjauh. Hingga tak sadar ketika tubuh lemah ini luruh di atas dinginnya aspal.

Saat membuka mata hal pertama yang aku lihat adalah tempat yang pengap, sedikit gelap di beberapa sisi, hanya terdapat satu lampu yang bergelantungan–berwarna keorenan tepat di atas kepalaku. Mataku terbelalak, menyadari kini tubuhku tengah diikat dengan kuatnya, hingga bergerak pun sangat sulit. Teruslah berusaha Syifani, walau hasilnya mungkin tetap sia-sia.

“Did you sleep well?”

Sontak tubuhku berhenti bergerak. Kelopak mataku reflek tertutup kala silau lampu tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam retina. Begitu membuka mata kembali, aku langsung disuguhkan pemandangan seorang pria yang tengah duduk bersilang kaki dengan angkuhnya berjarak di depanku.

“Apa yang kau inginkan?" Entah keberanian dari mana, hingga aku berani bertanya demikian.

Di bawah alis yang tebal itu, ia menatapku licik. Tersenyum smirk, seperti pria hidung belang yang baru saja mendapatkan gadis perawan.

“WHAT DO YOU WANT FROM ME, HAH?”

Pria bedebah itu mengorek tahi telinganya. Meniupi jari kelingkingnya dengan wajah dingin dan sikap pongah ia kembali menatapku.

“Kau tahu apa kesalahan yang sudah kau perbuat, Nona?” Dia bersilang tangan.

Kuteguk kasar salivaku. "Aku tidak tahu."

Walau sekilas, tapi aku dapat melihat seulas senyum tipis dari poker face-nya.

"You look so stunning, huh. Kira-kira berapa harga untuk tubuhmu ini?"

"Taniaka sundala cilaka." Aku balas menatapnya marah.

Apa dia pikir aku sundal? Raimu.

Alis tebal itu mengkerut. Tentu saja dia tidak akan mengerti bahasa yang kupakai.

“Speak in English.”

"Why? You don't understand?" Aku tersenyum meremehkan, tentu saja. "Mukannu mabansa Bekantan. Mateno cilaka, hidupmu hanya benalu di dunia.”

“I say speak in English.” Dalam sekejap mata ia melaju ke arahku, menjambak jilbab yang kukenakan, hingga membuatku mendongak menatapnya. Wajahnya memerah seperti cabe-cabean, terlihat sangat marah. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang menerpa permukaan kulit wajahku.

Kembali kuulas senyum miring membuatnya bertambah terbakar kobaran api kemarahan.

“Apa kau sudah bosan hidup, huh?”

“Mati lebih menyenangkan daripada melihat wajah memuakkan seorang pembunuh sepertimu.”

“Jack! Ambilkan pistolku yang semalam. Perempuan sialan ini sudah sangat ingin mati rupanya."

Dari balik kegelapan itu muncul seorang pria dengan postur tubuh kekar menyerahkan sebuah pistol.

Masih dengan menjambak keras jilbabku, ia menunduk lalu berbisik,"Akan kukabulkan keinginanmu, Nona.”

Aku menutup mata erat-erat. Walau sejujurnya aku juga merasakan takut yang amat sangat. Merasakan getaran tubuhku yang ketakutan dan bulir bening yang berlomba-lomba berjatuhan. Hingga suara tembakan itu membuatku tersentak bangun.

“Astaghfirullahal adziim.” Ternyata hanya mimpi buruk. Kuamati sekitaran, sudah pagi, entah sejak kapan aku tertidur.

Bangkit berdiri, meringis, saat rasa sakit itu kembali menerjang tubuh, berjalan terseok-seok. Hingga keluar ke persimpangan jalan raya.

“Taxi!” Kulambaikan tangan pada taxi yang kebetulan lewat di daerah tersebut. Duduk di bangku penumpang belakang dan menutup pintu mobil.

“Ke mana saya akan membawa Anda, Nona?”

Aku pun segera memberi tahunya alamat tempat tinggalku. Taxi itu berjalan dengan kecepatan sedang, membelah kota yang kini sudah mulai dipadati hiruk-pikuk keramaian.

“Kita sudah sampai, Nona.” Suara Pak supir menyadarkanku dari lamunan.

Kuusap air mata yang entah sejak kapan luruh, berjatuhan seraya merogoh uang dalam tasku. Menyerahkannya lantas turun dan berjalan masuk ke dalam penginapan. Menyadarkan punggung pada pintu sebelum tubuh rapuh ini luruh kembali ke atas lantai.

Terisak, aku tidak mengerti mengapa aku bisa serapuh ini. Apa yang tengah aku tangisi?

Apa karena aku adalah saksi yang melihat pembunuhan itu atau karena mimpi buruk itu? Setelah semua kejadian semalam, apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya? Apakah aku yang akan menjadi target mereka yang selanjutnya?

Tidak, ku gelengkan kepala seraya bergegas memasukkan semua pakaian ke dalam koper, mengamati sekitar ruangan, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. Aku bukan wanita dungu yang akan berdiam diri saja saat mengetahui bahwa kini aku tengah dalam pengejaran mereka. Tempat ini sudah tidak aman lagi bagiku, sudah saatnya aku kembali dimana tempatku seharusnya. Negeri dan kampung halamanku I am coming.

Umpatan kasar keluar saat ponselku tak ada daya baterai. Menghampiri nakas dan mengisi daya baterai. Beberapa pesan langsung masuk begitu Hp tersebut menyala. Tak acuh, tanganku bergerak menuju aplikasi e-tiket. Memesan satu tiket dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan buru-buru berpakaian.

Menarik koper hendak keluar ruangan, tapi kehadiran seseorang membuat langkah kakiku terhenti di ambang pintu. Bergeming dengan mata yang membulat saat pria itu membalikkan badanya.

“Hi, bunny girl?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status