Share

Run Away

“K-kau.” 

Ia mengulas senyum, langkahnya terus maju tatkala langkahku mundur. Hingga punggung belakangku menabrak dinding yang membuatku tak bisa mundur lagi.

Dia berdiri berjarak tiga langkah di depanku sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana kain hitamnya. Menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kutebak. 

"A-apa maumu." Bohong, kalau aku tidak merasakan takut. 

Dia kembali mengayunkan langkahnya. 

Ancang-ancang kuambil posisi mempertahankan diri, kedua telapak tanganku terkepal di depan mukanya. 

“Jangan coba-coba mendekat!”

Dia tersenyum lebar, membuatku semakin ketakutan. Itu bukan senyum bahagia, tapi senyum meremehkan. 

Kuteguk kasar salivaku. “Tidak ada yang lucu, Tuan?”

Pembunuh. Tentu saja kalimat itu hanya ku utarakan dalam hati, aku masih waras untuk tidak mengumpatinya. 

“Posisimu seperti anak kecil yang sedang mengajak berduel.”

Anak kecil? Dengusan kasar keluar dari hidungku. 

Ia menunduk, mensejajarkan posisi wajahnya ke wajahku membuatku semakin waspada. 

“Kau tahu? Aku benci saat ada seseorang yang selalu mengusikku.” Aku mengernyit heran. Sejak kapan aku mengusiknya? 

Dia kembali menegakkan badannya. ”Kau hanya punya satu kesempatan untuk kabur 

dariku." Kuamati wajah tegasnya. Memastikan ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. 

“B–Benarkah?”

Ia mengulas senyuman tipis setipis tisu toilet, kembali memposisikan wajahnya ke wajahku. 

“Berlarilah sejauh mungkin, karena jika aku menangkapmu kau tidak punya kesempatan lagi untuk kabur.”

Kuteguk salivaku, takut. 

“Pergilah!”

Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung menerobos keluar dari penginapan. Berlari di atas trotoar, umpatan kasar beberapa kali masuk ke dalam gendang telingaku saat tak sengaja menabrak tubuh pejalan kaki lainnya. Berlari dan terus berlari hingga keringat dingin berlomba-lomba keluar membasahi tubuh. Sejenak berhenti untuk menghirup pasokan oksigen yang hampir habis. Menoleh ke kiri ke kanan mencari taxi, hingga di menit selanjutnya sebuah taxi berlalu di depanku. Tak pikir  panjang aku langsung memberhentikannya. 

“Take me to the Airport!”

Mobil bergerak pelan. Kuputar tubuh, melihat melalui kaca belakang mobil. Perasaan lega itulah yang kurasakan, saat melihat tak seorang pun yang mengejarku. Kusandarkan punggung pada sandaran jok mobil, napasku naik-turun, lelah. Pakaian beserta oleh-oleh dalam koper, semuanya  tertinggal, bukan lebih tepatnya kutinggalkan, nyawaku lebih penting. 

Kurogoh tas selempangku, mengambil earphone beserta Hp, membuka aplikasi musik memutar lagu K-pop, menuju aplikasi pesan. Membalas semua pesan yang masuk. 

Lalu mematikan data seluler. 

Membuka kaca jendela, tersenyum tatkala sepoi angin menerpa lapisan kulit wajah. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan bergerak beriringan dengan laju mobil yang kutumpangi. 

Setelah berjam-jam berjibaku melawan lautan kendaraan, taxi yang kutumpangi pun sampai di lokasi tujuan, tempat pertama kali kakiku menginjakkan kaki. Turun setelah membayar jasa taxi. 

Kuhirup udara sedalam-dalamnya, menghembuskannya, mengulas senyuman, goodbye New York and see you later. Sampai ketemu di saat pembunuh itu sudah tidak menatap di dunia ini lagi. Indonesia, I am coming babe. 

“Miss Syifani.” Kakiku urung untuk melangkah. 

Berbalik, mataku sontak terbelalak, beberapa pria dengan setelan jas serba hitam dan tubuh kekar, perlahan berjalan mendekat ke arahku. Mereka adalah anak buah pria pembunuh itu. Hendak berlari, tapi di depan sana muncul tiga orang lagi, di samping kiri dan kananku juga muncul dua orang. Kini, tubuhku dikelilingi oleh mereka. Pernah lihat ayam kampung yang hendak disembelih, sebelum disembelih mereka dikejar, dikepung untuk ditangkap. Seperti itulah aku saat ini. 

Degup jantungku bertalu-talu, mataku sudah berkaca-kaca karena takut. Keringat dingin berjatuhan tak terkontrol keluar dari pori-pori kulit. 

“Aku mohon biarkan aku pergi! Apa salahku pada kalian?” Aku benci diriku yang menjadi lemah seperti ini. 

Mereka memutariku. 

“Kami hanya menjalankan perintah,” balas salah satu dari mereka.

“Katakan pada Tuan kalian apa salahku? Aku bahkan tidak mengenalnya.”

“Anda bisa menanyakan itu padanya nanti, Nona,” balas salah satunya lagi. 

Aku menggeleng. “Tidak ada nanti, besok atau seterusnya, karena aku tidak akan pernah ikut dengan kalian.” 

Orang-orang yang berlalu-lalang hanya menatapku dengan berbagai ekspresi. 

“Tidak ada gunanya terus berteriak, Nona. Kami masih sabar menunggu keputusan Anda, mau ikut dengan cara baik-baik atau dengan cara dipaksa? Percayalah, kami tidak akan segan-segan melukai tubuh mulus Anda, jika cara dipaksa yang Anda inginkan.”

Air mataku mengalir deras, jatuh dari pelupuk mata merembes hingga ke pipi. Sungguh, baru kali ini aku merasakan ketakutan yang amat sangat dibandingkan saat menonton film horor. 

“Dalam hitungan ketiga, Anda sudah harus memutuskan.” Salah satu dari mereka mulai menghitung, hingga….

“Iya baiklah, aku ikut kalian.” Putusku, mengangkat kedua tangan. Membuat langkah kaki mereka terhenti. Ini adalah keputusan yang akan aku sesali seumur hidupku. 

Aku seperti seorang presiden yang dikawal oleh banyak pengawal. 

Salah satu dari mereka membukakan pintu penumpang.”Silakan!”

Dalam mobil tanganku saling meremas satu sama lain, gugup, samping kanan dan kiri, aku dihimpit oleh tubuh kekar. Sepanjang jalan, aku terus memikirkan bagaimana cara kabur dari jeratan mereka.

“Bisakah kau berhenti sebentar, aku hendak buang air besar.” 

Pria yang duduk di kursi depan penumpang itu menoleh. “Bertahanlah sebentar lagi kita akan sampai.”

“Tapi aku sudah tidak tahan lagi.” Aku menggoyang-goyangkan kedua kaki, layaknya orang yang benar-benar kebelet buang air. “Jangan salahkan aku jika kalian kena sanksi karena aku buang air disini.”

Mereka saling beradu pandang. 

“Ayolah, aku tidak akan cari mati dengan cara kabur, jumlah kalian saja banyak. Mana mungkin, aku bisa kabur.”

Tak  berselang lama, mobil tersebut berhenti di salah satu toilet umum. Aku pun buru-buru masuk ke salah satu biliknya. 

Mataku mencari-cari celah untuk kabur, tersenyum saat melihat ventilasi engsel. Menginjak penutup closet, menjinjit dan terus berusaha memutar gagang pegangannya. Cukup lama, hingga kaca engsel tersebut terbuka, berkali-kali melompat, hingga tubuhku berhasil setengah keluar sebelum semuanya ikut keluar dan jatuh terjungkal di atas rerumputan. Meringis sakit pada bagian wajah, siku, dan lutut. 

Inilah untungnya mempunyai tubuh kecil. Lubang sekecil itu pun bisa muat. 

Kabur lewat belakang, berlari hingga mencapai jalan raya. Sedikit jauh dari keramaian, terus berlari hingga titik lelah menggerogoti persendian tubuhku. Napas berat, haus dan lapar menjadi satu. Kembali menoleh ke belakang, ternyata belum ada yang menyadari kalau aku sudah berhasil kabur dan sudah sangat jauh dari jangkauan mereka. Kulambaikan tangan pada mobil hitam yang kebetulan lewat.

Mobil berhenti, aku pun ikut masuk seraya berujar terima kasih pada sang supir. 

“Where will I take you, Miss?”

Suara itu, perlahan kuputar kepalaku ke arah samping, terbelalak.

Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, hingga tubuhku terhimpit di antara pintu mobil dan tubuhnya. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa kulit wajahku. 

“Mau mencoba kabur, hm?”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status