Share

Frauded

Ini sudah 1x24 jam, mungkin lebih dari janji yang pria gila itu ucapkan, tapi hingga saat ini belum kunjung batang hidungnya tampak. Bloon-nya aku malah termakan dengan janji manisnya. Ternyata semua pria di zaman sekarang sama saja. Catat! zaman sekarang, bukan zaman dahulu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Baiklah, Syifani tahan, tahan sebentar lagi. Detik berganti menit, kesel, aku beranjak menuju pintu. Menendangnya sekuat tenaga

sambil mengeluarkan suara keras seperti suara mahasiswa yang turun ke jalan meminta keadilan kepada pemerintah.

“Buka! Aku tahu kau ada di luar.” Bomat kalau pintu ini bakal rusak ataupun roboh.

“Tepati janjimu kurang ajar…..” Tanganku dengan keras menggedor-gedor pintu bercat putih itu.

“Sergio si…”

Ucapanku menguap di udara tatkala pintu itu terbuka lebar, menampilkan wajah merah padam seorang pria.

“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak berisik?”

Kuangkat wajahku, pongah, menentangnya. “Tepati janjimu!”

Ia menatapku lamat-lamat sedangkan aku berusaha berjinjit agar menyamakan tinggi badan dengannya sambil berkacak pinggang.

“Xavier! Siapkan mobil, " teriaknya menggema.

Aku mengernyit heran, belum sempat aku menyela pria itu lebih dahulu menarik pergelangan tanganku. Keluar dan menyeret tubuhku masuk ke dalam mobil, menutup kasar pintu mobil kemudian ikut duduk di sampingku.

“Kemana kita?” Aku menoleh ke arahnya.

Pria itu diam. Wajahnya dingin sarat akan kemarahan.

“Sergio!” Pria itu masih diam.

“SERGIO KEMANA KAU AKAN MEMBAWAKU SI…”

“Bisakah kau diam!” Ia menatapku tajam. Rahang tegas yang ditumbuhi brewok itu terlihat mengeras.

Apa pria ini baru saja diputuskan kekasihnya? Mengapa dia semarah ini. Tak ada salahnya aku bertanya, bukan? Dia sendirilah yang sudah membuat janji akan melepaskanku dari jeratannya dan bukan salahku jika aku menagihnya. Janji adalah hutang saat kau berjanji itu artinya kau berhutang, dan hutang wajib dibayar.

Sepanjang jalan tak ada yang membuka suara. Aku menatap pepohonan yang menjulang tinggi, bergerak seirama seakan tengah mengikuti gerak laju kendaraan. Tak berselang lama, kendaraan yang kami tumpangi pun berhenti di salah satu rumah mewah ala kastil atau apalah namanya.

Seseorang dengan goldy outfit yang melekat di tubuh tinggi tegapnya, membukakan pintu untukku.

Aku tercengan menatap kagum rumah ala kastil si rambut panjang kuning itu.

Dari fasad luar bangunan saja sudah memiliki nuansa klasik kastil kuno. Bahkan untuk menguatkan nuansa klasiknya, dinding pada sisi bangunan luar dilapisi batuan alam dalam warna abu pucat lengkap dengan atap yang bernuansa tradisional Eropa sangat apik menghiasi sisi fasad luar. Pada fasad bangunan juga muncul struktur yang menyerupai menara sehingga memberi efek menguatkan konsep.

Begitu masuk, aku makin dibuat terkagum, ruangan tengah rumah ini didominasi sentuhan dinding white gold dengan detail ukiran klasik ala renaissance, struktur kayu dengan konstruksi tebal dan padat ukiran yang senada dan nuansa offwhite yang kuat di berbagai sudut. Aku penasaran berapa biaya yang sudah orang ini keluarkan untuk membuat bangunan megah seperti ini?

“Do you like it?”

Aku mengangguk tak sengaja. Reflek berbalik. Pria itu mengulas senyum tipis.

“No.” Aku berjalan lebar ke arahnya. Mengangkat wajah sok menantang. “Aku ingin kau menepati janjimu.”

“Sudah kutepati.”

Aku mengernyit bingung. “Where? Kapan kau menepati janjimu?”

“Right now.” Bola mata abu-abunya menatapku dingin.”Bukankah kau sangat ingin keluar dari tempat sebelumnya?”

Aku bergerak bak cacing kepanasan.”Bukan itu maksudku.” Kuhela napas panjang.”Yang kumaksud adalah…Aku ingin pergi sejauh mungkin, pergi dari tempat di mana aku tidak perlu bertemu dengan orang sepertimu lagi.”

Ia menganggukkan kepala.”Baiklah! Kau tidak perlu bertemu dengan orang sepertiku. Karena kau sudah bertemu denganku.”

Aku berdecak kesal. Berapa sebenarnya IQ pria ini? Aku semakin blingsatan.

“Bukan itu maksu—”

“Sir!” Seseorang memotong ucapanku, berjalan dengan langkah lebar ia menghampiri pria di depanku seraya membisikkan sesuatu.

Wajah dingin yang sudah dingin itu semakin dingin, matanya tajam bak elang yang siap untuk menerkam mangsanya.

“Beatrica!” Panggilnya.

Seorang wanita mudah dengan tubuh gembil berjalan tergesa-gesa. Mendekat.

“Iya, Tuan.” Ia menundukkan kepalanya.

“Tugasmu mengawasi wanita ini, pastikan dia tidak keluar kamar. Dan…pastikan dia menghabiskan seluruh makanannya.”

Rahang dan tanganku sama-sama mengeras. Mengawasi? Dia pikir aku tawanan.

Pria kurang ajar itu berbalik badan. Sebelum kaki jenjangnya berhasil melewati pintu, aku lebih dahulu berteriak hingga membuat gerakan kakinya terhenti.

“Ya…Sergio sialan, kau pikir kau siapa, hah? Siapa kau hingga berani mengurungku di rumah sialamu ini, bedebah.”

Ia berbalik badan. Melangkah lebar menuju arahku. Sepertinya aku sudah menyiram bensin ke dalam kobaran api hingga api itu semakin membesar. Lihatlah mata tajam itu seakan ingin melelapku hidup-hidup.

Ia menunduk, mensejajarkan wajahnya ke wajahku. “Sekali lagi kau mengeluarkan umpatan-umpatan kasar itu, aku sendirilah yang akan membungkam mulutmu.”

Aku balik menantang tatapannya. “Kalau begitu lakukanlah! Kau pikir aku takut, hah.”

Dia menyeringai. ”Jangan pernah menyesali ucapanmu, Nona. Karena aku ingin tahu apakah wajah dan bibirmu itu sama-sama manisnya?”

Aku menenguk paksa salivaku. Kini, aku tahu arti ‘membungkam’ yang ia maksud.

Ia kembali menegakkan badannya seraya memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana.

“Kalian!” Ia menatap lima pria kekar yang berjaga di depan pintu masuk.”Pastikan wanita ini tidak kabur atau nyawa kalian yang akan melayang.”

“Yes, Sir!” Jawab mereka serentak.

“Dan kau!” Ia menunjuk wanita mudah yang tampak ketakutan itu dengan dagunya. “Pastikan dia menghabiskan makanannya atau kau yang akan menjadi santapan Jasper yang selanjutnya?”

“Baik Tuan!” Wanita itu tampak makin ketakutan.

Keningku mengkerut, Jasper siapa dia? Apa dia algojonya si pria bedebah ini.

Wanita mudah itu membawaku ke sebuah kamar sesaat pria itu meninggalkan kediaman.

Aku mengerang frustasi. Lagi dan lagi aku harus terkungkung. Apa dia pikir aku burung dalam sangkar?

***

Malam pun tiba. Wanita ini kembali membawakan makanan. Berapa kali aku harus makan dalam sehari? Ini sudah yang keempat kalinya wanita ini membawakanku berbagai macam makanan.

“Aku mohon Nona, tolong habiskan makanannya. Tuan akan marah besar jika mengetahui aku gagal menjaga Nona.”

Ayolah, aku bukan anak kecil lagi yang perlu dijaga apalagi harus sampai diawasi.

“Tapi aku sudah kenyang, Nona.”

Mata wanita muda itu berkaca-kaca. Ia menundukkan kepalanya. ”Tolong bantu aku, Nona. Aku tidak ingin menjadi santapan Jasper yang selanjutnya.”

“Sebenarnya siapa si Jasper itu?” tanyaku penasaran. Mengapa dia sangat takut dengan si Jasper, Jasper itu.

Ia mengangkat wajahnya.”Anda beneran tidak tahu?”

Aku menggeleng.

“Dia adalah aligator yang dipelihara oleh Tuan Sergio.”

“Aligator?”

Ia menganggukkan kepalanya. “Seekor buaya. Sarangnya ada di belakang mansion ini dan dijaga ketat oleh beberapa pengawal.”

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa bisa buaya memelihara buaya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status