Share

Forbearance

Cahaya mentari bersinar terpantul menebus masuk melalui kaca bening penjara kamar ini. Berapa kali pun, aku mencoba untuk kabur, hasilnya tetap sia-sia. Kesabaranku selama berada di tempat ini benar-benar diuji. Lelah, putus asa, tapi aku tidak ingin menyerah. 

Tak ada kata menyerah dalam hidupku. 

Tempat ini seperti labirin. Sangat sulit dan tak ada celah untuk bisa kabur. Di setiap sudut ruangan terdapat ranjau pemantau, hingga 

aku tidak bisa lari melewati ranjau itu. 

Apa yang harus aku lakukan? 

Pikiranku membawaku berkelana mencari cara sedangkan mataku menatap lurus burung-burung yang berterbangan bebas di luaran sana. Berkicau seperti senandung melodi pagi yang menenangkan. Kuulas senyuman miris, kapan aku bisa bebas dari jeratan pria bedebah itu? Aku ingin kembali merasakan kebebasanku. Bebas kemana pun ku inginkan, bebas melakukan apa pun yang ku inginkan. Bukan terkungkung layaknya burung dalam sangkar dan terpenjara layaknya seorang penjahat buronan polisi. 

Kuhela napas panjang. Seseorang pernah berkata, "Dibalik kesabaran, pasti ada hikmahnya. Yakinlah hidup memang penuh rintangan, kesedihan, dan penderitaan. Tanpa semua itu, kamu tak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya."

Benar, orang yang berhasil adalah orang-orang yang bisa melewati segala ujian dalam hidupnya. 

“Selamat pagi, Nona?”

Aku membalikkan badan. Beatrica dengan telaten menyimpan makanan di atas meja. 

“Sudah waktunya Nona makan.”

Aku berjalan mendekat, duduk di single sofa. Menatap datar makanan itu. 

“Syifani!” Ia menoleh. Mengernyitkan kening. 

“Namaku Syifani, jadi berhentilah memanggilku Nona!” Kujeda ucapanku.”Berapa usiamu?”

“19 tahun, Nona.”

Aku mendengus jengkel.”Sekali lagi kau memanggilku dengan sebutan sialan itu. Aku sendirilah yang akan memanggil Jasper menemuimu.”

Wajahnya seketika terlihat pucat. Dia menunduk dalam. 

Kuhela napas pelan.”Maaf aku hanya bercanda. Sejujurnya, aku tidak suka dipanggil dengan panggilan itu.”

“Tuan Sergio akan marah jika aku tidak menuruti perintahnya.”

Apa yang sudah pria bedebah itu lakukan hingga membuat  wanita ini begitu sangat patuh atas perintahnya, mungkin di suruh makan tai pun perempuan ini akan lakukan. 

“Pria sialan itu hanya menyuruhmu mengawasi dan memberiku makan, bukan memanggilku dengan sebutan menyebalkan itu.”

“Tapi—”

“Duduklah! Kita makan bersama, aku tidak suka makan sendiri.” Kuraih  makanan yang ia simpan tadi. 

“Aku tidak pantas, No—”

“Apa kau punya Tuhan?”  Ia mengangkat wajahnya, lurus menatapku.”Aku punya. Dalam agamaku, kita semua sama. Yang membedakan masing-masing manusia dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya.” Kujeda kalimatku sejenak. ”Duduklah! aku tidak suka dibantah.”

***

Satu kata bosan, aku benar-benar bosan, duduk, berdiri, jongkok yang sedari tadi kulakuan. Setidaknya jika ingin mengurungku dia menyiapkan sesuatu yang bisa menghilangkan kejenuhanku. Pria bedebah itu pun tak pernah menampakkan wajahnya.

Kemana dia? 

Apa yang harus aku lakukan? Hanya mondar-mandir seperti orang sinting. Kepalaku menoleh, menatap tajam pintu yang masih saja tertutup rapat. Apa di luaran sana masih ada kehidupan? Atau para pengawal botak itu sudah menjadi santapan peliharaan pria sialan itu? Bomat, aku melangkah  menuju pintu tersebut, menendangnya dan berteriak lantang. 

Tak berselang lama pintu itu terbuka sedikit, menampilkan batang hidung seseorang. 

“Ada apa Nona?”

“Aku ingin bertemu dengan Tuanmu? Di mana dia? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati kebosanan di kamar ini?”

“Tuan sedang sibuk.”

Aku mencebik jengkel. ”Katakan padanya aku ingin bertemu dengannya?”

“Tuan sedang tidak bisa diganggu!”

Persetan dengan kesibukannya. Aku juga butuh melakukan sesuatu. Aku butuh Hp beserta buku-bukuku yang pria itu rampas. 

Apa yang harus aku lakukan? oh, c’mon Syifani gunakan otak cerdikmu. Ah, I know, senyum licik tersungging dari sudut bibiku. 

“Awwwww…dadaku sakit!” Aku meringis kesakitan sembari memegang dada kiriku. Tapi pengawal bedebah itu tak bergeming sedikitpun dari tempatnya, hingga napasku tersenggal-senggal barulah ia membuka lebar pintu tersebut dan menghampiriku. 

Pepatah bijak pernah berkata, "Ambil kesempatan hari ini karena hari esok tidaklah menjanjikan." Dalam artian bahwa kesempatan tak datang dua kali, aku langsung mendorong tubuh gempalnya dengan kuat dan berlari menerobos pintu kamar. Sial! Aku lupa kalau ada lima penjaga yang tengah berjaga di depan pintu masuk. Dan lihatlah para pengawal itu sekarang berlarian mengejarku. 

Napasku terengah-engah keringat dingin secara perlahan mulai bercucuran membasahi setiap inci tubuhku. Berlari dan berbelok-belok, masuk ke setiap lorong. Berapa banyak lorong yang manson ini punya, sih? Dengan mata membulat, aku mendorong salah satu pintu ruangan dan menguncinya dari dalam. Capek, tentu saja. Ternyata menyenangkan juga olahraga di malam buta seperti ini. 

Berbalik badan, seketika senyum yang semula terbit dari sudut bibirku, kini luntur tatkala melihat wajah menyebalkan pria itu—yang  tengah menatapku dengan wajah dingin penuh amarah. Waw, ternyata dia tidak sendiri, ada seorang wanita yang juga menatapku tajam sambil membungkus tubuhnya dengan selimut. Menyeringai, aku bukan anak ingusan yang tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara keduannya, menjijikkan. Cih. 

“Ow sorry, aku mengganggu kesenangan kalian.” Kuangkat ke depan kedua telapak tangan.” Silahkan dilanjutkan.” Aku kembali berbalik badan, memutar knop pintu. 

Keningku terlipat dalam saat pintu itu tidak bisa dibuka. 

“Kau pikir kau bisa keluar dengan mudah dari ruangan ini?”

Ragu, kuputar balik badanku, menghadapnya yang tengah menatapku dengan tatapan dalamnya sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya. 

“Keluarlah!” Suruhnya tanpa sedikit pun menoleh pada wanita yang masih bergelung manja di atas ranjang sana. 

“Tapi Sergio—”

“I said get out!” Nada suaranya naik beberapa oktaf sedangkan mata tajamnya masih lekat menatap ke arahku. 

Wanita berpirang itu merenggut, turun dan memunguti pakaiannya, berjalan masuk ke dalam kamar mandi. 

 

Sergio berjalan mendekat ke arahku, otomatis membuat langkahku mundur ke samping. Aku menoleh ke samping kanan saat kedua lengan pria itu kembali mengurungku. 

Kujauhkan wajahku saat pria itu mendekatkan wajahnya. Sesaat aku dapat melihat wajah tegasnya yang menegang sebelum kupalingkan wajahku ke samping. Bukan karena aku takut apalagi baper, no. Aku hanya tiba-tiba teringat kalimat 'bungkam' yang pernah dia ucapkan. Manik mataku sontak berstemu dengan manik mata abu-abunya saat dia memegang, mengangkat daguku untuk menatapnya. Kuakui dia memiliki mata yang sangat indah. 

Tak berselang dari itu, terdengar suara lembut dari wanita tadi, yang refleks membuatku menepis kasar tangannya. Wanita berpirang itu menatapku dengan sorot mata kebencian. Berdiri di samping Sergio. 

“Buka pintunya!”

Pria bedebah gila itu menahan bahuku yang hendak berlari ikut wanita berpirang itu keluar. 

Dia mengulas senyum yang menjijikkan. “Do you realize what you are doing this, Mi amor."

Kuteguk kasar salivaku saat melihat tatapan berkabutnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status