“Pulanglah dan bersiap, Fan. Kamu tak perlu berada di sini. Biar kami yang bereskan!” perintah ibu Sarah ke pada menantunya itu.“Hem, ya. Sebaiknya Mas Affan istirahat. Saya lihat, Mas terlalu lelah dan belum bisa berpikir dengan jernih.” Indah menimpali, setelah melihat reaksi Affan yang diam saja sejak dia bicara.“Ehm, ya, Bu.” Affan bangkit dari tempat duduknya dan berniat pulang ke rumahnya sendiri untuk mengikuti kemauan mertuanya itu.Namun, belum lagi Affan melangkah. Suara ibu mertua menghentikannya. “Fan, Ibu tidak minta kamu memikirkan dan memintamu memilih.”Ucapan itu tentu saja membuat Affan terkejut dan tak nyaman sekaligus. Pria yang sebelumnya sudah sempat memperlihatkan punggung ke pada dua wanita yang bersamanya tersebut, kontan membalik tubuh untuk berhadapan dengan mereka.”Maksud Ibu?” ia ingin memperjelasnya. Kenapa Affan tak diberi pilihan? Apa artinya dia harus mengiyakan kemuan mereka?“Ya, kamu pikir bisa mengembalikan uang Indah?” tanya ibu Sarah.“Bu, say
“Kenapa rumah Pak Joko sangat menyeramkan? He he. Saya dan anak –anak merasa di alam lain saat ke rumah di kampung sebelah,” tanya Pak RT.Kini mereka sudah mulai bisa berbicara santai, setelah Pak Joko mengatakan dirinya semalam berada di pesantren. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia tidak bersalah untuk saat ini.Karena bahkan, Abah Bisri tahu jika menilai orang lain itu sesuai apa yang terlihat dzahirnya. Bukan apa yang tersembunyi di dalam hati. Kita bahkan dilarang memberikan label munafik ke pada saudara kita sesama muslim.“Ehm, ya. Kiai bilang kalau rumah kami dihuni banyak jin kiriman seseorang untuk mengancam kami.” Pak Joko tersenyum miris. Dia tak tahu betul, sihir seperti apa yang sebenarnya dikaji oleh Indah.Hanya saja, sejak istri Joko keceplosan mengatakan kalau dulu Ikhwan suaminya adalah mantan Sarah, wanita itu sikapnya perlahan mulai berubah. Dan makin kentara begitu dia kehilangan suaminya. Istri Joko pikir, Indah sudah memiliki kelainan jiwa karena merasa san
"Assalamualaikum.“ Suara Abah Bisri terdengar.Melihat ada mobil yang berhenti di depan rumah, anak –anak Alif yang bermain segera ke luar untuk melihatnya.“Kakek! Kakek!” Seorang Alif berseru –seru menyambutnya.Abah Bisri tersenyum. Begitu juga Pak Joko dan Pak RT. Mereka adalah anak ustaz muda di kampung ini. Tentu saja keberadaannya adalah seperti lentera yang menyenangkan yang mereka gadang –gadang kelak bisa meneruskan apa yang telah dibangun orang tua dan keluarga besarnya yang dikenal agamis dan alim.Umi Alif yang tengah berada di kamar putranya memelankan suara bacaan Qur'an. Ketika salam itu terdengar ke dua kali, barulah ia menghentikan bacaan itu."Shodaqallahul adzim." Diletakkan kitab suci umat Islam yang itu di nakas, sebelum melangkah ke luar menyambut tamunya. Seperti dugaannya, bahwa itu adalah suara adiknya, Bisri.“Waalaikumsalam warahmatullah ....” Ibu Alif kini sudah berjalan semakin dekat ke pintu. “Kalian datang untuk memeriksa Alif?” tanya Umi.“Hem, baga
Banyak orang sudah datang ke kediaman orang tua Sarah untuk melakukan doa bersama. Namun, bolak –balik dari depan ke belakang, samping ke samping, tapi Wahono, Tomy dan ibunya tidak juga melihat Affan. Ke mana pemuda itu? Mereka memerlukan keberadaannya sebagai suami Sarah.“Ke mana dia, Bu? Itu Abah Bisri sudah datang dari tadi.” Wahono berbisik dengan kesal pada istrinya yang ada di dapur. Tentu saja agar tak terdengar oleh banyaknya ibu –ibu yang membantu di tempat itu.“Mboh, Pak. Ngambek kali dia karena aku dan Indah langsung ngomong soal bayinya!” tandas sang istri dengan nada berbisik juga. “Lagian dia itu, kenapa nggak tahu diri begitu? Nggak punya duit nggak perlu terlalu idealis bilang mau urus bayinya sendiri, omel wanita paruh baya itu.“Huft!” Wahono mengembus napas kasar. Ternyata tanpa persetujuannya, sang istri tetap meminta Affan untuk memberi izin bayinya diasuh oleh seorang wanita.Ingin kesal. Tapi mau bagaimana lagi? Ini bukan waktu yang tepat. Yang terpenting ada
“Benar ini lokasi yang Donny katakan semalam.” Maya menggumam sembari mencocokkan apa yang dilihatnya di Google Maps dengan nama jalan yang tertera di papan.Kondisi hujan sedikit menyulitkan mengenali jalan itu. Apalagi langitnya gelap dan dia perlu menyalakan lampu. Dia beruntung punya mobil yang menaunginya dari hujan, hingga tak perlu basah kuyup saat nekad.Diseka air mata yang terus jatuh dan dibiarkannya begitu saja karena sesak dan sakit yang bercokol dalam dada. Mengingat bagaimana ucapan –ucapan kasar ibunya, menyebut –menyebut betapa buruknya pria yang dia cintai. Maya ingin menunjukkan pada Affan bahwa dia berjuang sangat keras untuk mewujudkan hubungan mereka kembali.Wanita manggut –manggut. Lalu melongok ke luar memperhatikan jalan yang lumayan sempit menuju rumah Affan. “Hemh, kayaknya bisa masuk sih,” ucapnya mengira –ngira.Untung saja, mobil Maya adalah jenis mobil kecil jadi bisa masuk ke gang –gang sempit jika diperlukan.“Hehm, mencekam sekali suasana di kampung
“Tom, belum selesai juga kerjaanmu di depan?” tegur sang ibu yang melihat putranya masih bolak –balik dari dapur ke depan.“Haeh, gimana mau kelar kalau dari tadi aku ngerjainnya sendirian Bu?” keluh Tomy. Dia merasa jadi orang paling berguna sekaligus diintimidasi oleh keadaan yang terus menuntut.“Loh, si Affan belum datang? Ibu belum lihat dia juga. Bukannya tadi bapakmu bilang akan menyusulnya?” tanya ibunya heran.Jelas saja Tomy akan merasa lelah dan kesulian sendiri karena mengerjakannya tanpa ada yang membantu. Seharusnya Affan tetap datang walau pun telat. Apa jangan –jangan dia sengaja tidak datang karena ingin memperlihatkan bahwa dia protes pada apa yang wanita paruh baya itu katakan saat ada Indah tadi siang?“Sudah setua itu, harusnya gak ngambekan,” kesal mertua Affan pada lelaki yang rapuh itu. Perbuatan Affan sekarang benar –benar keterlaluan karena akan mengundang pikiran buruk warga yang sekarang sedang berkumpul di rumahnya.“Heh, gak tau Bu ah. Sudah ya, nanti gak
“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kalau Palasik yang kulihat tadi mencelakai Maya? Dan membawanya pergi?” gumamnya yang merasa keadaan sekarang ini sedang genting.Kuyang, perempuan tanpa tubuh yang melayang itu seharusya menghantui ibu melahirkan. Affan hanya terus heran kenapa Maya jadi korbannya? Apa dia baru saja melahirkan? Atau ada hal lain?Sosok hantu berwujud wanita yang bisa melepas kepala dari bagian tubuhnya dan terbang dengan organ tubuh seperti jantung, hati, usus dan ginjal yang menggantung di bawah kepalanya itu benar –benar membuatnya tak habis pikir. Kalau jadi korban palasik si siluman penghisap darah, bukankah seharusnya Sarah –lah korbannya. Affan justru mendapati sang istri meninggal dengan cara bunuh diri. Ia sampai menyangsikan mitos yang beredar tentang hantu itu. “Jadi itu tidak benar? Yah. Kalau dipikir mana ada wawancara untuk kaum palasik?”Affan menggeleng. “Ya Allah. Apa yang kupikirkan di saat seperti ini?”Affan mengacak rambut kasar karena frustas
__________Setelah tak mendapatkan apa pun, Affan akhirnya memutuskan untuk menghubungi nomor Maya. Pria itu lantas mengklik nomornya dan panggilan terhubung, ia merasa sangat lega. "Syukurlah." Bisa jadi yang dipikirkan salah. Mana ada orang yang pindah alam tapi ponselnya masih aktif? "Tak masalah jika dia tak mengangkat. Dia bisa jadi marah. Huft." Pria itu mengembus napas.Atas pemikiran itu, Affan berjalan cepat -cepat ke arah rumah ke dua orang tua Sarah. Di mana semua orang terutama laki -laki yang sudah berkumpul di sana._____________Sementara itu di rumah sakit....Ibu Maya seperti orang kelimpungan karena tak kunjung mendapatkan kabar dari putrinya. "Ini anak kenapa sih, hape gak diangkat terus?!" ucapnya di sela langkah mondar -mandir di depan ruangan di mana Angel sedang dirawat. Sejak kepergian anaknya itu, dia berupaya menghubungi Maya dan kembali menasehati. Namun, sampai sekarang sudah lebih dua jam tak juga ada kabar, hingga niatnya menasehati berubah jadi pert