"Untung mama enggak jadi pesan kue ke langganan, May. Selain masak, ternyata kamu pintar juga bikin macam-macam kue seperti ini."Mama mertua ikut menata potongan brownies dan kudapan kekinian lainnya pada piring-piring porselen yang berjajar di meja. "Enggak jago, sih, Ma. Cuma belajar dari mami saja." Belajar dari jaman SMP karena ingin menikah muda. Enggak tahunya, enam belas tahun kemudian baru berguna. Langsung mendapat pujian mertua pula. "Begini juga bisa bikin Indra betah di rumah. Kamu pintar memanjakan dia. Dulu, rumah ini hanya untuk numpang tidur saja. Sekarang jadi lebih hangat. Apalagi nanti kalau kalian sudah memiliki anak. Pasti ramai sekali." Anak? Aku meraba perut dibalik celemek ini. Masih rata hingga pernikahan ini telah berjalan selama setahun. Pertanyaan usil mulai berdatangan dari segala penjuru. 'Sudah jadi belum, May?' 'Mana, nih, hasil bulan madu?' 'Indra bisa gak, sih, nembaknya?' 'Jangan menunda-nunda. Ingat! Kamu sudah memasuki usia rawan.' Siapa
'May, dateng, ya, ke acara baby shower Riana.' Pesan WhatsApp itu kubiarkan saja tanpa mengirim balasan. Gamang antara menolak atau menghadiri. Ini adalah kehamilan Riana yang ketiga. Dua tahun lalu, aku masih datang ke acara perayaan tujuh bulanan anak ke-dua. Masih terekam di ingatan saat aku mengelus perut buncit sahabatku. Berharap segera ketularan. "Gerak-gerak, Ri." Aku takjub saat tangan ini merasakan pergerakan di permukaan perut gendut Riana. "Pas USG kemarin, katanya sih, cowok, May! Ini lagi main bola kali di dalam." Bayi ini juga sangat dinantikan, karena dua anak sebelumnya berjenis kelamin perempuan. "Mudah-mudahan, aku cepat ketularan." Usai mengusap perut wanita sepantaranku itu, aku mengusap perut sendiri. Konyol tapi sangat ingin. "Aamiin. Semoga cepat nyusul!" Harapan yang terlontar dari bibir Riana kala itu. Belum sempat mengejar ketertinggalan, aku mendengar kabar baik lagi dari teman terdekat semasa kuliah. Kadang, ada kabar gembira yang disambut suka cita
"May ...." Suara serak Mas Gun memanggil. Aku tak menyahut, malah membekap mulut ini agar tak terdengar isak yang mati-matian kutahan demi melihat benda kecil di telapak tangan kiriku. Testpack dengan strip negatif. Lima hari terlambat datang bulan, kukira akan mengakhiri sebuah penantian lama. Aku begitu percaya diri dan yakin. Namun ternyata masih diuji dengan kesabaran lebih lama lagi. Kupikir ini akan menjadi kado terindah untuk ulang tahun ketiga pernikahan kami. Namun, bercak darah usai tes urine tadi memporak-porandakan angan-angan indah. "Sayang ...." Panggilan lembut itu terdengar lagi. Lampu kamar menyala, Mas Gun kaget mendapatiku sesenggukan di atas karpet dengan punggung menyandar di ranjang. Dia langsung melompat turun memastikan keadaanku. "Kamu kenapa? Ini masih tengah malam, May. Apa kamu mimpi buruk?" Kedua bahuku dipegang olehnya. Benar. Ini seperti mimpi-mimpi buruk sebelumnya tiap kali aku melihat tanda strip satu pada alat tes kehamilan yang sering kubeli
Adakalanya seseorang mampu mengalahkan ketakutannya sendiri demi satu tujuan. Aku salah satunya. Usai memantapkan hati, aku dan Mas Gun sepakat berikhtiar dengan cara lain mengatasi gangguan kesuburan, yakni dengan operasi pengangkatan tuba falopi atau salpingektomi. Mula-mula konsultasi terlebih dahulu, meminta penjelasan manfaat dan resiko pengangkatan. Setelah yakin, aku menjalani prosedur lainnya. Dukungan keluarga dan sahabat menjadi kekuatan sendiri, hingga aku benar-benar nekad dan siap dengan segala resiko yang ada. Mas Gun setia menemani tiap-tiap proses yang kujalani sedari persiapan hingga kami berpisah di ruang operasi. Karena saat tersadar nanti, aku ingin dia yang kulihat pertama kali di sisi. Mataku perlahan terbuka, lamat-lamat memperhatikan sekeliling. Rupanya diri ini telah dipindahkan ke ruangan berbeda. Dapat kurasakan dari temperatur yang tak sedingin beberapa jam lalu. Dokter dan dua tenaga medis masih memantau kondisiku. Memeriksa detak jantung, tekanan da
"Mbak, k--kenapa Zio mirip sekali dengan--" Menutup mulut dengan jari, aku tak sanggup menyelesaikan pertanyaan itu. Mbak Denia memutar bola mata ke arah Mas Gun, sesaat pandangan mereka bertemu. Terlepas dari adanya sisa-sisa cinta atau tidak. Entah kenapa cukup menyakitkan hati. Wanita itu tampak awet cantik, tak banyak yang berubah darinya dibandingkan dengan foto prewedding mereka dulu. Mata sipit dengan lubang hidung sempit, wajah bersih tanpa flek hitam ataupun jerawat. Bibir tipis lembab tersapu lipstick merah. Sesempurna ini wanita yang pernah kamu cintai, Mas. "Denia! Bisa kamu jelaskan sama saya siapa anak ini?" Suamiku menatap lurus anak lelaki dalam rangkulan Mbak Denia. Ketidaktahuan dan kebingungan kentara di manik legamnya.Penuh damba dia mengulurkan tangan ingin menyentuh kepala Zio. Namun tertahan saat aku menunduk dan melangkah mundur membawa Chesa. "Tetap di sini, May! Kamu juga berhak tahu tentang semuanya." Mas Gun menarik pergelangan tanganku. "Kita bicar
"Boleh mama bicara?" Mertuaku menyela di pertengahan menikmati santap malam. Aku dan Mas Gun beradu pandang mencari tahu apa yang ingin dibicarakan wanita yang sangat kuhormati tersebut. Namun sama-sama menggeleng karena tak tahu. Dari helaan napas yang cukup berat untuk dihembuskan kembali, pasti ada persoalan serius yang ingin segera diutarakan. "Silakan, Ma!" Mas Gun hanya diam saja karena sudah terwakili olehku. "Apa tidak sebaiknya kalian mengadopsi anak saja. Saran dari teman-teman mama seperti itu. Buat pancingan katanya, biar kamu cepat hamil." Pelan dan hati-hati sekali ucapan Mama. Namun, begitu tajam menusuk ke dasar hati. Aku tahu beliau memiliki beban tersendiri untuk ini. Apalagi setelah kembali bergabung dengan teman-teman sosialitanya dulu. Mungkin mama pun telah bosan menjawab pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun. Andai mama bisa memahami, aku pun ingin segera memberinya cucu. Aku pun lelah menutup mata dan telinga, mengabaikan ucapan mereka-mereka yang memb
"Kamu percaya May? Ini adalah kali kedua saya masuk rumah ini." Mbak Denia menjelajah ruang tamu dengan tatapan mirisnya. "Benarkah itu, Mbak?" "Ya. Pertama dan terakhir adalah saat Mas Indra mengenalkan saya dengan Papanya. Ah, saya yakin kamu sudah tahu tentang masal lalu saya, May." Wanita anggun itu menarik napas sejenak dan mengalihkan percakapan dengan topik lain. Aku mengerti bagaimana posisinya dulu. Begitulah lingkungan kami, tak bisa sembarang bergaul dengan level satu tingkat lebih rendah. Derajat dari nominal kekayaan adalah segalanya, tak cukup hanya dengan mengagungkan cinta. Seperti sosok masa lalu yang memilih mundur. Aku pernah terlibat perasaan mendalam dengannya. Sempat mengangankan hubungan yang akan berujung indah. Namun, akhirnya harus menyerah pada keputusan Papi yang tidak bisa ditolerir lagi. Dia pun mendapat penolakan sama persis seperti yang dialami Mbak Denia. Bedanya, kami tidak nekad melangsungkan pernikahan tanpa restu. Dia berbesar hati melepaska
"Zio mau minum?" tawarku pada bocah yang sedang merakit replika mobil Transformers. "Iya." Dia mengangguk. Aku mengusap rambut lebatnya lalu beranjak ke belakang. Kakiku tertahan dan mundur satu langkah saat kudengar ada tawa di dapur sana. Dari balik dinding aku mendengar percakapan Mama juga Mbak Denia, sepertinya tengah berbincang seru. "Waktu sama kamu, Indra paling suka dimasakin apa?"Di atas kursi roda itu, kulihat Mama ikut menyiapkan sesuatu untuk dimasak sang mantan menantu. "Enggak ribet, sih, Ma. Asal tidak memiliki kandungan kolesterol dan gula darah berlebih. Makanya dulu Denia bikin daftar menu selama tiga puluh hari, biar enggak lupa sama pantangan-pantangannya." Wanita lemah lembut itu tetap meneruskan aktivitas memotong bawang. Ada yang tiba-tiba teriris di sini. Kenapa aku tidak kepikiran soal itu? Pantas saja empat tahun menikah masih sering teledor memberikan suami makanan yang sebenarnya pantang untuk dikonsumsi. Aku yang bodoh karena hanya memikirkan soal